Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teluk Ambon, Surga Kecil yang Dilupakan

Kompas.com - 30/09/2012, 10:14 WIB
Ary Wibowo

Penulis

SEKITAR Desember 1855 hingga Januari 1858, untuk kali pertama, Alfred Rusell Wallace, menginjakkan kakinya di tanah Ambon. Matanya menatap tajam ke tengah hamparan birunya air Teluk Ambon di pesisir Perairan Timur Indonesia. Desiran pasir yang terempas ombak laut, membuat benaknya yakin, bahwa wilayah yang kini berpenduduk sekitar 51.000 jiwa itu adalah salah satu "surga kecil" milik Nusantara.

Wallace adalah seorang Naturalis asal Inggris, yang mengusulkan ide tentang Garis Wallace, tentang pembagian flora dan fauna di Asia. Ia juga diyakini sebagai orang yang berperan penting bagi Charles Darwin untuk menerbitkan buku Origin of Species,  yang berisi proses seleksi alam yang memicu teori evolusi, karena suratnya kepada Darwin, "Surat dari Ternate".

Dalam salah satu karyanya, The Malay Archipelago, Wallace pernah melukiskan, indahnya keanekaragaman flora bawah air Teluk Ambon. "Dasar laut benar-benar tersembunyi oleh serangkaian karang, karang, dan benda laut lain dengan berbagai dimensi yang megah, beragam bentuk, dan warna yang indah. Pemandangan yang bisa dilihat selama berjam jam  dan tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan indahnya pemandangan itu,"

Pernyataan Wallace bukan tanpa alasan. Karakteristik habitat yang kaya akan sumberdaya pesisir, produktifitas perairan yang bagus, membuat perairan Teluk Ambon sebagai salah satu lingkungan terkaya di dunia. Lihat saja, keragaman lamun, mangrove, dan tingginya koral menjadikan produksi ikan sangat tinggi dan beragam di perairan dengan luas sekitar 143,5 Km2 dan panjang 30 Km tersebut.

Kontur geografis Pulau Ambon yang menyerupai huruf "U" pun semakin menambah estetika Teluk Ambon. Belum lagi dengan aneka fauna dan fauna. Walhasil, hal itulah, yang membuat Wallace berulang kali berkunjung dan sempat tinggal di Paso, sebuah daerah yang menghadap dua teluk indah di Barat dan Timur, yang menghubungkan dua daratan, Hila dan Ambonia.

Lupa

Sepenggal kisah sejarah Wallace itu, membuat benak kita seraya bertanya bagaimana kondisi Teluk Ambon saat ini. Sejatinya, Kota Ambon, diakui masih memiliki kekayaan alam luar biasa. Para Nelayan masih bisa menggantungkan hidup kepada hasil laut. Begitu juga dengan anak kecil yang riang gembira bermain di hamparan rerumputan luas penuh dengan keanekaragaman flora dan fauna Indonesia.

Setali tiga uang, keindahan itu kini harus dibarengi dengan sejumlah masalah. Salah satunya adalah sampah dan limbah di sekitar Teluk yang sangat mengkhawatirkan. Keindahan pesisir Teluk itu seakaan dilupakan, karena banyaknya sampah-sampah plastik dan limbah dari kapal yang bersandar di beberapa dermaga maupun warga sekitar. Keindahan teluk itu pun semakin berkurang.

Lihat saja, di beberapa wilayah yang hingga saat ini masih menggambarkan bahwa sampah adalah pemandangan "biasa", seperti di sungai Passo, Wairuhu (Desa Galala) dan kawasan Pasar Lama. Sangat disayangkan, jika keindahan panorama alam dan warisan sejarah bahari Kota Ambon itu dirusak segelintir pihak maupun kelompok yang tidak bertanggungjawab.

Juli lalu, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ambon, Augy Syahailatua, mengungkapkan, Teluk Ambon saat ini dalam kondisi kritis. Bahkan, LIPI sempat mengeluarkan peringatan, dengan adanya fenomena alga beracun di perairan TDA dan bertambahnya bakteri e-coli di beberapa wilayah tertentu yang berasal dari sampah rumah tangga, domestik, yang semakin membuat ketidakseimbangan ekosistem alam Perairan Teluk Ambon.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku, Benny Gaspers, mengakui, sampah memang merupakan masalah yang masih dihadapi Pemerintah Kota Ambon. Menurutnya, pihaknya saat ini terus mengupayakan agar masalah itu bisa diselesaikan dengan membuat sejumlah program dan mensosialisasikannya ke masyarakat sekitar. "Ini juga perlu kesadaran dari masyarakat untuk tidak membuang sampah ke dalam air," katanya saat ditemui Kompas.com, Sabtu (29/9/2012).

Peduli
Melihat sejumlah fakta itu, jelas, saat ini harus ada kepedulian tinggi dari pemerintah Pusat dan Daerah untuk menjaga kelestarian Teluk Ambon. Perlu ada regulasi tegas agar pola pikir membuang sampah di tempat yang ditentukan dijadikan gaya hidup. Jika masalah ini diselesaikan, potensi laut dan pesona keindahan Teluk Ambon jelas dapat dijadikan sumber daya alam yang menghasilkan devisa negara.

Sejak Abad ke-16, para penjelajah di seluruh dunia, mengakui bahwa Nusantara adalah lumbung emas bagi perdagangan mereka. Tak jarang juga, hingga saat ini ratusan pelajar maupun peneliti luar negeri masih mengunjungi Indonesia untuk  memperoleh sumber atau pun catatan sejarah kebesaran Ibu Pertiwi di telinga Eropa maupun Asia.

Indonesia dewasa ini memang penuh dengan hiruk pikuk dari jutaan intrik para politisi yang tidak tahu diri. Hal-hal yang seharusnya diperhatikan, tak jarang malah diabaikan. Hal-hal yang pernah membuat Negeri ini bangga, sering berlalu begitu saja. Padahal kalau mereka sadar, ratusan hutan, gunung, sawah, dan lautan dari Sabang hingga Merauke, merupakan harta pusaka Indonesia.

Harus ada kesadaran dan kebesaran hati, agar riwayat catatan sejarah kebesaran Nusantara itu tetap terjaga untuk warisan anak cucu Bangsa. Jangan sampai, kisah mengenai ketakjuban para penjelajah dunia saat datang ke surga kecil milik Nusantara itu, hanya tinggal kenangan semata.

"Jernihnya air memberiku salah satu pemandangan yang paling menakjubkan dan indah yang pernah aku lihat," -Russel Wallace.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com