Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berjumpa Ketut Liyer, "Balian" yang Mendunia

Kompas.com - 11/11/2012, 09:24 WIB

KOMPAS.com – Waktu menunjukan pukul delapan pagi, saat saya masuk ke dalam rumah bergaya arsitektur khas Bali tersebut. Di sebuah dinding, terpampang nomor antrean. Di beberapa sudut, walau masih pagi, sudah tampak turis-turis asing duduk menanti.

Mereka kompak menunggu seorang kakek tua. Sebagian besar turis-turis itu adalah perempuan-perempuan muda. Kakek tua yang mereka nantikan ternyata masih tidur. Namun, tak ada satupun yang protes atau minta agar sang kakek dibangunkan.

Sosok kakek itu bernama Ketut Liyer. Turis asing menyebutnya sebagai “medicine man” atau “traditional healer”, sebuah istilah untuk orang-orang yang melakukan pengobatan secara tradisional. Orang Bali menyebut profesi ini sebagai “balian”.

Ketut Liyer mendunia berkat film Hollywood berjudul “Eat, Pray, Love” yang dibintangi Julia Roberts. Film ini diangkat berdasarkan buku dengan judul yang sama mengenai kisah nyata perjalanan pencarian jati diri Elizabeth Gilbert ke tiga negara, salah satunya Indonesia.

Salah satu adegan yang terkenal adalah perjumpaan Elizabeth Gilbert dengan Ketut Liyer. Ia pun belajar meditasi dengan Ketut Liyer. Sama seperti Elizabeth Gilbert, pagi itu tujuh orang perempuan menunggu giliran berkonsultasi dengan Ketut Liyer.

“Saya mau mencoba diramal. Saya tahu tentang Ketut Liyer dari film ‘Eat, Pray, Love’. Ya, Ketut Liyer lumayan terkenal di antara perempuan-perempuan Jepang,” tutur Keiko, seorang turis asal Jepang yang ikut menunggu Ketut Liyer.

Suara pintu terbuka membuat para turis itu langsung mengarahkan ke salah satu bagian rumah, yaitu kamar Ketut Liyer. Sosok Ketut Liyer pun muncul. Sambil jalan tertatih-tatih, ia pun menuju dapur untuk sarapan. Para turis yang sudah berharap-harap, pun kembali duduk.

“Harap maklum ya, bapak saya sudah tua. Biasanya kalau pagi, dia bangun lalu mandi dan harus sarapan dulu,” kata I Nyoman Lantra, anak dari Ketut Liyer.

Saat ditanya berapa umur Ketut Liyer, Lantra tidak bisa menyebut dengan pasti. Ada kemungkinan sudah mencapai 100 tahun. “Orang Bali zaman dulu tidak biasa mencatat tanggal kelahiran dalam tahun masehi,” katanya.

Lantra sendiri seorang pelukis dan guru lukis. Darah seni lukisnya itu sepertinya menurun dari Ketut Liyer. Jangan heran, Ubud memang terkenal sebagai daerah seni yang penuh dengan seniman-seniman Bali. Pelukis, pematung, hingga pengrajin perak dan emas. Seakan berbagai macam seni ada di Ubud.

Selesai sarapan, Ketut Liyer pun siap menerima tamu. Ketika meminta waktu sejenak untuk mengobrol tanpa melakukan konsultasi ramalan, dengan ramah Ketut Liyer memenuhi permintaan saya. Ya, turis-turis yang datang ke Ketut Liyer biasanya meminta diramal.

Ketut Liyer meramal garis tangan dan wajah. Satu kali sesi ramalan dikenakan tarif sebesar Rp 250.000. Mungkin terbilang mahal untuk kantong domestik, namun tak begitu bagi turis asing. Padahal tak hanya itu kemampuannya, Ketut Liyer juga melakukan pengobatan tradisional dengan tumbuhan-tumbuhan.

“Dulu tanaman untuk obat mudah ditemukan di hutan dekat rumah. Sekarang hutannya sudah habis. Tapi Kakek tanam beberapa di rumah,” cerita Ketut Liyer.

Selama berbincang, Ketut Liyer biasa menyebut dirinya dengan “Kakek”. Ia memang terlihat begitu sepuh. Namun sorot mata ramah dan tawanya yang penuh jenaka, membuat lawan bicaranya dengan mudah merasa akrab dengan Ketut Liyer. Dengan sabar, ia melayani permintaan foto bareng maupun sesi foto dirinya sendiri

“Kakek di kamera seperti lebih muda sepuluh tahun, ya,” sahutnya sambil tertawa saat melihat foto dirinya di kamera salah satu rekan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com