Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Desa Wabula, Ujung Tombak Pariwisata Buton

Kompas.com - 20/12/2012, 13:02 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F

Penulis

KOMPAS.com – Ketika desa adat hanya sekadar obyek wisata, Buton berusaha mengambil langkah lebih ke depan. Desa adat pun dijadikan ujung tombak pariwisata. Setidaknya, begitu janji Bupati Buton Umar Samiun, saat mengunjungi Desa Wabula.

“Desa Wabula, saya persiapkan untuk menjadi ujung tombak pariwisata. Ibu kota akan saya pindahkan dari Pasar Wajo ke Wabula. Dari kantor Bupati ke Wabula hanya enam kilometer,” kata Umar, di hadapan masyarakat adat Desa Wabula, Jumat (30/11/2012) lalu.

Desa ini terletak terletak sekitar 28 kilometer dari Pasar Wajo, ibu kota Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Untuk mencapai desa ini bisa melalui laut maupun jalur darat. Saat ini, jalur laut bisa dilalui dengan menumpang kapal nelayan.

Sementara jalur darat, melalui jalan yang belum bagus. Jalanan tak beraspal, berkelok-kelok, dan tak landai. Kontur tanah berbatu dan curam, selintas seperti perjalanan off-road.

Namun, akses transportasi terbilang mudah sebab bisa didatangi dengan naik angkutan pedesaan yang biasa disebut pete-pete dari Pasar Wajo. Lama tempuh dari Pasar Wajo sekitar dua jam. Desa ini juga sudah dialiri listrik, walaupun untuk sinyal telepon genggam terbilang masih susah.

Setiap tahunnya, Desa Wabula memiliki acara tahunan berupa pesta adat Pidoa Anokuri. Ritual tersebut biasanya diisi dengan pembacaan doa, makan bersama, dan pertunjukkan kesenian. Semuanya sebagai simbol rasa syukur hasil panen kuri.


Desa Wabula 3
Pemuka adat menikmati hidangan di dulang (KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.)

 “Kuri itu sejenis ubi yang merupakan makanan khas Wabula. Pesta adat diadakan setiap bula tujuh kalender masehi. Selesai panen, dibuat acara rasa syukur atas hasil panen,” jelas Ahmad Emi (42), seorang tokoh adat.

Sebuah galampa atau tempat pertemuan menjadi pusat penyelenggaraan upacara. Sarana atau masyarakat adat Waluba pun memenuhi galampa yang berada di tepi pantai itu. Di tengah debur ombak tengah malam, para pemuka adat dan agama berkumpul dengan baju kebesaran mereka.

Tenun Buton warna-warni bermotif sederhana berupa kotak-kotak menghiasi tubuh. Para tetua duduk berjejer mengelilingi galampa. Tengahnya dibiarkan kosong. Sementara di sisi belakang para pemusik sudah siap dengan alat musik yang serupa dengan gong bernama tawa-tawa dan gendang.

Lalu, dulang-dulang dikeluarkan. Setelah pembacaan doa, tudung dulang pun dibuka. Di balik tudung, kuri menjadi primadonanya. Kuri seperti ubi kayu, diolah salah satunya menjadi epu-epu. Kuri diparut dan dikeringkan, lalu ditumbuk dan disiram air dan diberi parutan kelapa dan gula merah.

Selain epu-epu, di dulang juga terdapat kue bolu, wajik, dan cucur. Kue-kue manis ini mengelilingi nasi yang diletakkan di tengah. Ada pula lauk seperti telur dan buah. Porsinya lumayan besar, dengan nasi yang dibuat kerucut dan lauk yang berlimpah.

“Satu orang itu satu talam. Saat pesta adat kemarin, keluar ada 340 talam,” kata Ahmad.

Saat, Bupati Buton Umar berkunjung bersama wartawan, masyarakat Desa Wabula sengaja mengadakan replika pesta adat walau dalam bentuk lebih sederhana, sekadar untuk menunjukkan tradisi di desa ini.

Setelah selesai makan dan dulang diambil kembali, saatnya pentas tarian. Tari yang dipentaskan adalah Tari Linda yang menggambarkan asal mulanya terciptanya manusia. Kemudian Tari Mangaru dan Tari Perang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com