Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Balik Rerimbunan Bakau Balikpapan

Kompas.com - 22/12/2012, 10:03 WIB
Kontributor Balikpapan, Dani Julius

Penulis

LANGIT sejatinya biru bersih selepas ashar. Tidak ada noktah putih ataupun kelabu di sana. Namun di bawah tudung ranting dan daun bakau (Rhizophora Apiculata) ini, pada sebuah lurusan jembatan kayu ulin di sebuah hutan mangrove di Balikpapan, redup, sejuk, adem, dan terasa mistis. Terlebih bila berjalan di bawahnya seorang diri. Sepi. Hanya ditemani keciap burung yang terdengar asing suaranya dari kejauhan atau gerakan aneh di permukaan air, atau suara ‘pletak’ yang kabarnya itu suara capit kepiting.

Dan, Sochinaso (dibaca: Sohinaso), 70 tahun, mendadak melebarkan langkah kakinya di jembatan yang terbentang lurus di depannya. Ia mengejar sejumlah bayangan yang melompat lincah di antara dahan pohon bakau. Jembatan kayu ulin selebar satu meter ini berderak mengiringi langkahnya. “Itu para bekantan. Mereka melintas di depan kita,” kata Sochinaso terpesona.

Setelah lebih dari 35 tahun tak menginjakkan kaki di bumi Kalimantan, pria asal Sumatera Utara ini kembali terkesima pada eksotika hutan Kalimantan. Tiga dasawarsa lalu, ia ke Kalimantan untuk sebuah urusan negara karena negeri ini konflik dengan Malaysia.

Tetapi kini, ia kembali ke Kalimantan via Balikpapan untuk urusan menengok cucu dan menantu, sekaligus menghabiskan waktu pensiun dari serdadu.

Ketika kembali ke Kalimantan, Sochinaso kembali dibuat takjub oleh hutan. Dulu, ia mengaku, bisa menemukan pohon dengan diameter tiga kali pelukan laki-laki. Kini wajah Kalimantan sudah berubah. Kemajuan pembangunan perumahan, gedung, dan infrastruktur menyurutkan keyakinannya pada sisa hutan. Bakal tidak mudah didapati hutan bersama habitat liar di dalamnya yang bisa dinikmati.

Tetapi nostalgia menemui titik terang ketika menjejakkan kaki pada sepotong kecil hutan kecil mangrove di Balikpapan, sebuah kawasan konservasi mangrove di RT 42 Kelurahan Margomulyo Balikpapan, Kalimantan Timur. “Ini hebat. Ternyata masih ada yang seperti ini. Padahal kota ini begitu majunya,” kata Sochinaso.

Sochinaso menjadwalkan melancong ke Balikpapan selama satu bulan. Bila tidak ke mal, hiburannya ya ke pasar. Paling jauh ke pantai yang saat ini masih jadi andalan Balikpapan. Belum genap satu bulan, sang anak mengajaknya ke hutan mangrove.

Meski berbeda dengan model hutan dibanding hutan kebanyakan di tengah darat, di situ ditemukan petualangan baru yang tentu tak banyak orang yang tahu daya tarik habitat di dalamnya, mulai dari vegetasi hingga satwa liar.

Hutan mangrove RT 42 Margomulyo bikinan warga sekitar yang dinamai Kelompok Tani Tepian Lestari bekerja sama dengan Balai Lingkungan Hidup. Dibangun pada tahun 2002 dilatari terusiknya warga yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari habitat yang ada di balik rerimbun mangrove.

Kehadiran industri, kebanyakan galangan kapal, memusnahkan banyak sekali bakau dan sejenisnya. Monyet dan bekantan (Masalis larvatus) menyusut populasinya, ikan dan udang untuk dikonsumsi maupun dijual susah dipancing. Kepiting ukuran besar tak lagi mudah dijaring.

Sadar akan kehilangan salah satu mata penghidupan, mereka mencoba melestarikan sisa mangrove di sekitar mereka. Hutan mangrove ini seluas 16,5 hektar. Terbagi dalam dua kantung yang dibelah Sungai Sidomulyo yang bermuara pada Teluk Balikpapan.

Beragam vegetasi tumbuh di tanah lumpur berair pasang surut. Ada jenis-jenis bakau (Rhizophora), tumbuhan api-api hitam (Avicennia alba) yang buahnya jadi kesukaan para bekantan. Terdapat pohon-pohon nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris), bintaro (Cerbera spp.) dan lain-lain. Mereka tumbuh begitu subur dan rapat.

Di balik itu, ragam satwa pun bisa ditemui. Kepiting dengan warna-warna unik pada capitnya. Ada yang biru, ungu, merah, bahkan bersemburat putih. Belum lagi ikan-ikan yang pandai memanjat pohon. Para petani setempat menyebutnya sebagai ikan tempakul. Terdapat pula ragam burung. Tentu pula satwa khas di sana adalah bekantan.

“Saya mulai bergabung pada 2008. Saya kira jumlah bekantan yang terhitung saat itu sekitar 15. Saya sekarang pasti sudah semakin banyak,” kata Tegowadi, Ketua Tepian Lestari.

Kelompok ini kemudian membangun jembatan dari kayu ulin pada 2003. Persoalan klasik, pembangunan jembatan menjadi swadaya warga. Jembatan dibangun sejauh sedikitnya 1.000 meter dengan lebar satu meter. Jembatan dibangun mengeliling. Masuk lewat pintu gerbang berukir perisai Dayak. Setelah menapaki sekitar 100 meter, pelancong bisa menemukan dua gazebo yang cocok untuk membuat acara kecil.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com