Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sisa-sisa Keganasan Tsunami Itu Jadi Obyek Wisata

Kompas.com - 26/12/2012, 08:28 WIB

KOMPAS.com — Tanggal 26 Desember 2004, Provinsi Aceh dilanda tsunami hebat setelah diawali gempa berkekuatan 8,9 SR. Kota-kota di pesisir pantai di provinsi itu hancur luluh, bahkan rata dilanda gelombang tsunami. Kota Banda Aceh pun seketika lumpuh total. Korban pun berjatuhan hingga ratusan ribu orang. Keganasan tsunami itu membuat negara-negara sahabat mengulurkan bantuan untuk membangun kembali Aceh seperti sedia kala. Bantuan pun mengalir deras. Relawan dari berbagai negara datang ke Kota Banda Aceh saat itu.

Kini, kalau Anda memiliki kesempatan berkunjung Kota Banda Aceh, luangkanlah waktu Anda untuk mengunjungi sisa-sisa keganasan tsunami delapan tahun yang lalu itu. Jarak satu destinasi wisata dengan destinasi lain tidak begitu jauh. Pemkot Banda Aceh menjadikan destinasi wisata tsunami sekarang ini untuk menarik kunjungan wisatawan sebanyak-banyaknya.

Kalau dulu, warga negara asing datang ke Aceh untuk mengulurkan bantuan, kini mereka ke Aceh untuk melihat hasil kerja mereka dan berwisata sekaligus merenung dan menyaksikan betapa dahsyatnya amukan tsunami di provinsi paling barat Indonesia tersebut.

PLTD Apung

Awalnya PLTD Apung berbobot sekitar 2.600 ton ini berada di pelabuhan Ulee Lhee, Banda Aceh, yang jaraknya lebih kurang 4 km dari lokasinya sekarang. Keganasan tsunami menghanyutkan PLTD Apung yang menghasilkan listrik 10,5 MW itu ke permukiman penduduk, menghancurkan bangunan yang dilewati hingga berhenti di Desa Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh.

Lokasi PLTD Apung tidak jauh dari pusat kota Banda Aceh. Bahkan kalau Anda senang berjalan kaki, tempat ini bisa ditempuh dengan 45 menit ke arah barat Masjid Raya Baiturrahman, atau Anda bisa naik becak beberapa menit saja. Kalau menggunakan kendaraan pribadi, hanya butuh waktu 5-10 menit.

Setiap sore, PLTD Apung yang awalnya didatangkan dari Kalimantan Barat ini selalu ramai oleh warga Aceh dan wisatawan. Sebagai daerah tujuan wisata, monumen PLTD Apung seluas 2 hektar ini tertata cukup baik. Di sekitar taman, berdiri Taman Edukasi Tsunami yang berisi catatan sejarah serta foto-foto dampak tsunami. Hanya saja sarana pendukung obyek wisata ini kurang mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya, seperti keberadaan toilet dengan bangunan yang bagus, tetapi jauh dari kesan bersih.

Menurut Rizal, pemandu wisata yang membawa rombongan fam trip Garuda Indonesia pada 28 November 2012, sebelum terjadi tsunami, ada 11 awak di dalam kapal PLTD Apung. Ketika tsunami datang, terombang-ambinglah PLTD tersebut. Sebanyak 10 awak melompat dari kapal, sementara satu awak yang tetap tinggal di kapal justru selamat.

Pengunjung pun bisa menaiki PLTD Apung. Dari atas kapal, terhampar pemandangan Bukit Barisan, rumah-rumah penduduk di Desa Punge Blang Cut dan jauh di sana Samudra Indonesia. Merenunglah di sini untuk merekam ulang ingatan Anda betapa kuat dan ganasnya tsunami yang melanda bumi Aceh kala itu sehingga PLTD Apung sampai terbawa hanyut hingga ke daerah pedalaman.

Kapal di atas rumah

Obyek wisata tsunami berikutnya adalah kapal nelayan di atas rumah yang berada di Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Hampir sama dengan keberadaan PLTD Apung, kapal ini juga terletak di tengah kompleks perumahan sehingga disarankan tidak menggunakan bus berukuran besar untuk mendatangi lokasi karena sempitnya jalan ketika memasuki permukiman yang kini menyandang sebagai desa wisata itu.

Gampong Lampulo merupakan salah satu gampong (kampung) terparah saat peristiwa gempa dan tsunami tahun 2004. Kapal nelayan sepanjang 18 meter itu kini tersangkut di lantai 2 kediaman Ibu Abasiah, salah satu korban tsunami yang selamat.

Saat ini sebagian besar kondisi kapal sudah mulai keropos. Kayu-kayunya sudah mengelupas dan rapuh. Pengunjung pun perlu hati-hati jika ingin melihat kapal dari dekat. Pemerintah setempat perlu segera melakukan langkah renovasi untuk tetap memelihara keberadaan kapal nelayan ini sebagai obyek wisata tsunami.

Museum Tsunami

Kurang lengkap rasanya bila mengunjungi Kota Banda Aceh tidak singgah di Museum Tsunami. Desain Museum Tsunami dimenangkan oleh M Ridwan Kamil, dosen ITB, sedangkan pembangunannya dilakukan BRR NAD-Nias. Bila diperhatikan dari atas, museum ini laksana gelombang tsunami, tapi jika dilihat dari samping tampak seperti kapal dengan cerobong asapnya.

Museum ini memang menyajikan rekam jejak tsunami dalam berbagai media seperti audiovisual, serta berbagai foto dan alat peraga tsunami. Ketika memasuki halaman museum, pengunjung akan menemukan bangkai helikopter milik Polri yang menjadi saksi bisu korban tsunami. Helikopter itu tidak sempat terbang karena sudah terlebih dahulu "dihajar" gelombang tsunami.

Sayangnya, beberapa alat peraga sudah mulai tidak berfungsi di Museum Tsunami, seperti film 4D atau empat dimensi. Menurut Rizal, melalui film 4D ini pengunjung bisa merasakan detik-detik datangnya tsunami disertai siraman air laut. Demikian pula alat peraga untuk simulasi gempa, perangkat itu mengalami nasib yang sama karena kendala teknis. Padahal di sinilah letak kelebihan Museum Tsunami, untuk memberikan pembelajaran dan pemahaman betapa kuatnya gempa dan dahsyatnya gelombang tsunami ketika melanda Bumi Serambi Mekkah delapan tahun yang lalu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com