Kris Razianto Mada
Sejak lahir hingga mati, dalam suka ataupun duka, orang Toraja menggelar upacara dan pesta. Mereka rela berkorban demi menggelar pesta yang pantas.
Sedikitnya 46 kerbau dan 150 babi disembelih untuk keperluan rambu solo’. Beberapa kerbau yang dikorbankan termasuk kelas istimewa, yakni kerbau belang (tedong bonga), yang harganya tidak pernah di bawah Rp 200 juta per ekor.
”Kami menghargai hidupnya. Setelah tedong bonga dipotong, dianggap sebagai daging biasa,” ujar Samuel Kadang (60), keponakan Abraham, yang menyumbang beberapa tedong bonga.
Abraham harus dikuburkan dengan cara seperti itu karena semasa hidupnya ia menjabat parenge’ atau kepala adat di Tongkonan Se’pon. Dengan jabatan setinggi itu, sedikitnya 24 kerbau harus disembelih untuk Abraham. Jenazahnya harus dibaringkan dalam peti dan keranda yang, menurut perajinnya, Massi (45), berharga sekitar Rp 24 juta. Keluarga juga mesti mengeluarkan ratusan juta rupiah lagi untuk membuat nisan atau simbuang, tenda untuk tamu, beras, dan minuman.
Putra Abraham, Yusuf Sangka, mengatakan, biaya upacara tidak hanya ditanggung anak-anak mendiang, tetapi juga para kerabat, bahkan kenalan keluarga yang pernah dibantu ketika menggelar pesta. ”Siapa saja yang ada kelebihan biasanya membantu sesuai kemampuan,” ujar Yusuf Sangka.
Meski disebut upacara penguburan, suasananya benar-benar seperti pesta. Hanya beberapa keluarga menangis di saat-saat tertentu selama upacara. Selebihnya tampak bergembira. Meski tidak ada yang bernyanyi, semua menikmati makanan dan minuman yang seolah tiada henti disajikan. Mereka bersorak-sorak saat mengangkat keranda.
Suasana serupa terlihat dalam upacara penguburan Agustina Karissi Sambo di Parinding, Toraja Utara. Rombongan pengantar jenazah bahkan menyalakan kembang api setelah tiba di tempat persemayaman sementara. Tidak seorang pun menangis selama pengantaran jenazah dari Kandeapi ke Parinding.
Kematian di Toraja memang harus dirayakan karena dipandang sebagai puncak kehidupan atau tallu lolona. Itu sebabnya, upacara penguburan kental dengan suasana menghibur. ”Kematian bukan untuk ditakuti, melainkan justru membebaskan,” begitu kata Yonatan Mangallo, pendeta yang memimpin misa penguburan Abraham Sangka.