Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Berliku Menjaga Periuk

Kompas.com - 06/01/2013, 18:08 WIB

Oleh Ichwan Susanto

Raja Ampat di Provinsi Papua Barat dikenal sebagai surga alam laut sejak 10 tahun terakhir. Kini, masyarakat adat di sana berjuang keras memperkuat kedaulatan perairan atas periuk raksasa yang berisi kekayaan hayati dan alam itu agar dapat dimanfaatkan anak-cucu mereka.

Sebelum menjulang sebagai surga alam laut bagi turis, Raja Ampat hanyalah surga bagi pelaku kejahatan perairan, seperti penangkapan ikan ilegal oleh nelayan asing hingga penangkapan ikan menggunakan bom, serta perburuan hiu.

Hingga kini pun Raja Ampat masih terancam perusakan laut. Medio September 2012, patroli gabungan TNI AL dan Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat menangkap 7 nelayan Pulau Buaya, Sorong, yang mengebom perairan Pulau Batanta (salah satu pulau utama).

Raja Ampat atau ”Kalano Muhara” yang berasal dari Kesultanan Tidore di Maluku itu pun sempat (dan masih) terancam aktivitas ekonomi ekstraktif berupa pertambangan bijih nikel ataupun minyak-gas. Ini ironi dengan slogan Pemkab Raja Ampat (yang mekar dari Pemkab Sorong pada 2002) mengedepankan sumber pendapatan dari kegiatan ekonomi berkelanjutan, seperti wisata dan perikanan.

Penelitian The Nature Conservancy (TNC) 2007-2009 di Raja Ampat, lebih dari 94 persen sumber daya perikanan di Raja Ampat yang terdiri atas 610 pulau itu dinikmati nelayan luar.

Sementara kehidupan masyarakat asli Raja Ampat jauh dari layak. Dari sisi sanitasi, sebagian besar rumah warga tak punya septic tank. Dari sisi pendidikan, layanan di SD kurang tenaga guru dan untuk mengenyam bangku SMP/SMA harus pergi ke ”kota”.

Dari sisi ekonomi, nelayan setempat hanya punya alat tangkap tradisional. Perahu menggunakan dayung tradisional atau paling banter menggunakan mesin ketinting sangat kecil.

”Kemampuan masyarakat menangkap ikan sangat kecil. Sementara kalau laut terus dibom, karang dan ikan mati semua. Lalu, kami mau makan apa? Kami harus lindungi milik kami,” kata Abdul Jalil Bahalle, Kepala Kampung Yellu di Misool Selatan.

Komitmen serupa dimiliki masyarakat setempat. Sejak 2006, tokoh-tokoh adat/masyarakat dan pemuka agama difasilitasi, dan Conservation International (CI) Indonesia membangun jejaring kawasan konservasi laut daerah. Tahun 2007 dideklarasikan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).

Pada deklarasi yang dihadiri Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi saat itu, masyarakat menetapkan 6 kawasan lautnya sebagai areal konservasi. Wilayah ini di Kepulauan Ayau-Asia, Wayag-Sayang, Teluk Mayalibit, Selat Dampier, Kofiau-Boo, dan Misool Timur-Selatan. Total luas KKLD 901.680 hektar jika ditambah Suaka Alam Laut Waigeo Barat Daya.

TNC bekerja di Misool Timur-Selatan dan Kofiau-Boo, sisanya digarap CI Indonesia. Lima tahun terakhir, masyarakat dan Pemkab Raja Ampat berupaya mendetailkan KKLD di setiap wilayah melalui zonasi. Di Misool, zonasi dilakukan akhir November 2012 dan di Kofiau pada 2011. Di Raja Ampat bagian utara baru areal Ayau-Asia yang selesai disusun. Tahun depan direncanakan seluruh areal terzonasi.

Melalui zonasi, peruntukan areal laut diklasifikasikan menjadi zona inti (disebut bank ikan, tertutup, dan terlarang aktivitas apa pun, kecuali tujuan penelitian), zona pemanfaatan (penangkapan ikan), dan zona pemanfaatan lain (wisata). Masyarakat lokal yang sebagian besar nelayan harus hati-hati membuat zonasi agar periuk besarnya tetap menghidupi keluarga.

Kehati-hatian itulah yang membuat perbedaan antara penyusunan zonasi konvensional—yang hanya memperhitungkan kajian ilmiah—dengan upaya konservasi modern yang mengedepankan partisipasi masyarakat. ”Tanpa keterlibatan masyarakat, mustahil konservasi bisa dilakukan,” kata Abdul Halim, Direktur Program Kelautan TNC.

Sasi dan patroli

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com