Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesejukan Bukit Mahawu Tomohon

Kompas.com - 27/03/2013, 15:24 WIB

MOBIL yang kami tumpangi meninggalkan jalan utama dan berbelok arah menghadapi jaringan jalan menanjak. Kesejukan langsung membalut tubuh. Rasa penat lenyap seketika. Melewati jalan meliuk-liuk menyusuri pinggang bukit, seakan menggapai keheningan kawasan hutan pegunungan. Suasana terasa lengang, jauh dari kebisingan kota. Selain kesejukan, pengunjung secara leluasa bisa menelusuri hingga sudut-sudut kawasannya.

Sesekali terdengar kicauan burung dari ranting-ranting berbagai jenis pohon yang terjaga apik. Gesekan daun pohon pinus, cempaka, agatis, cemara, hingga kemiri, dan berbagai jenis pohon lainnya terdengar menderu lembut menyusul embusan angin basah. Kesemuanya terasa melengkapi kedamaian itu.

Kawasan lereng yang sedang dijelajahi adalah bagian dari Gunung Mahawu. Gunung api (pasif) setinggi 1.311 meter dari permukaan laut itu berdiri anggun di tepi selatan Kota Tomohon. Posisinya sekitar 30 km utara Manado, Sulawesi Utara.

Setidaknya sejak 10 tahun lalu, kawasan itu berubah menjadi obyek wisata alam andalan Kota Tomohon, bahkan Sulut. Perubahan itu, antara lain, seiring kepedulian keluarga Ronald Korompis Wewengkang menata kawasan menjadi taman Jalan Salib Mahawu (JSM), yang belakangan lebih dikenal sebagai Bukit Doa Mahawu (BDM).

Sarana keagamaan

Kawasan seluas lebih kurang 80 hektar itu sebagian memang dilengkapi sarana keagamaan khas Katolik di antara rimbunan pohon. Ada 14 bangunan berupa patung yang menyimbolkan prosesi kisah sengsara Yesus ketika menjalani hukuman penyaliban, yang menjadi inti perayaan Jumat Agung. Belasan bangunan dengan tampilan berbeda menyimbolkan penggalan kisah penyaliban melalui 14 titik perhentian perjalanan Yesus menuju Bukit Golgota.

Titik perhentian awalnya dimulai dari Yesus dijatuhi hukuman mati, memanggul salib (2), jatuh untuk pertama kalinya (3), bertemu dengan ibu-Nya, Maria (4), ditolong oleh Simon dari Kirene (5), Veronika mengusap wajah Yesus (6), dan Yesus jatuh untuk kedua kalinya (7). Titik perhentian selanjutnya, Yesus menasihati para perempuan yang menangisi-Nya (8), jatuh untuk ketiga kalinya (9), pakaian Yesus di tanggalkan (10), dipaku di kayu salib (11), wafat di kayu salib (12), diturunkan dari salib (13), dan terakhir, Yasus dimakamkan.

Selain sarana prosesi doa JSM, Bukit Doa Mahawu juga dilengkapi rumah ibadah atau gereja ukuran kecil bernama Kapel Bunda Maria. Posisinya yang tampan di lereng bukit memungkinkan umat Nasrani berdoa tenang dan khusyuk. Lepas kegiatan doa, pengunjung langsung menyaksikan keanggunan Gunung Lokon yang tak pernah lelah mengepulkan asapnya, di tepi utara Kota Tomohon. Termasuk juga menyaksikan Kota Tomohon yang membentang di antara kaki Gunung Lokon dan Mahawu.

Bukit Doa Mahawu juga dilengkapi sarana keagamaan lainnya seperti Goa Maria Sanctissima sebagai tempat berdevosi secara pribadi serta rumah retret sebagai tempat pelayanan dan sarana kegiatan rohani secara dinamis bagi kelompok pengunjung. Juga tersedia ruang terbuka bernama Amphitheatre berdaya tampung 1.000 orang untuk kebaktian massal seperti Perayaan Ekaristi, Ibadat Padang, kegiatan seni dan budaya, serta kegiatan lainnya yang ideal di ruang terbuka.

General Manager Bukit Doa Mahawu Lorens Rawung dan penunggu kawasan, Sius Duang, mengisahkan, pembangunan JSM beserta sarana doa lainnya wujud persembahan Ibu Mary Wewengkang, tetua keluarga Ronald Korompis Wewengkang di Tomohon. Dimulai 2003 hingga rampung dan dibuka untuk umum pada 14 September 2006, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-60 Ibu Mary Wewengkang. Peresmian pembukaan kawasan untuk umum ditandai misa khusus yang dipimpin Uskup Manado Mgr Josef Suwatan Msc, didampingi Uskup Agung Makassar Mgr John Liku Ada Pr dan Uskup Ambonia Mgr PC Mandagi Msc.

”Pembangunan sarana doa JSM dan Bukit Doa Mahawu ini merupakan wujud persembahan Ibu Mary Wewengkang atas anugerah kehidupan ketika beliau memasuki usia ke-60, tujuh tahun lalu. Niatnya selain wisata rohani juga untuk konservasi kawasan serta tempat rekreasi bagi masyarakat umum,” tutur Lorens Rawung.

Tak hanya wisata rohani

Kawasan pinggang gunung yang tertata apik dan berpanorama elok itu memang dikenal sebagai Bukit Doa Mahawu. Namun, sejak awal kehadirannya tidak dikhususkan hanya sebagai lokasi wisata rohani. ”Bukit Doa Mahawu ini juga berperan sebagai obyek wisata alam bagi siapa saja yang menyukai kesejukan hawa daerah pegunungan. Sejak awal memang terbuka untuk umum,” papar Lorens Rawung.

Sebagaimana diakui penunggu kawasan, Sius Duang, BDM juga sering menjadi lokasi bagi calon pengantin untuk aksi foto-foto pranikah. Bahkan, sering pula menjadi pilihan sejumlah perusahaan melaksanakan kegiatan di alam bebas bagi para karyawannya. ”Kawasan ini juga sering dimanfaatkan untuk pengambilan potongan gambar film bersama para artisnya dari Jakarta,” kisah Sius.

Ia menyebutkan, kawasan BDM memang tidak pernah sepi. Pada hari-hari biasa, pengunjung 400-500 orang per hari. Pada hari libur, pengunjung selalu melonjak tajam hingga 4.000-5.000 orang per hari. Mereka berasal dari berbagai pelosok Indonesia bahkan dari luar negeri. Di antara pengunjung itu termasuk sejumlah petinggi partai politik Jakarta seperti Prabowo, Wiranto, dan lainnya, hingga atase dari 25 negara.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com