Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kanoman, Sejarah yang Luka...

Kompas.com - 29/03/2013, 15:39 WIB

SEJARAH seperti sebuah batu, meringkuk di kedalaman waktu. Bahkan, bisa berabad-abad tertimbun lapisan peradaban sampai akhirnya mengeras dan tak terbaca. Adakah yang masih mengingat Keraton Kanoman Cirebon? Sebagai puing, ia ibarat sejarah yang luka….

Tak mudah menemukan Keraton Kanoman. Bukan perkara letak geografisnya yang terpencil, sepanjang hari ia tertutup keriuhan Pasar Kanoman. Padahal akses jalan satu-satunya menuju gerbang depan keraton selalu harus dimulai dari Jalan Pasar Kanoman. Asal tahu, seluruh badan jalan tertutup oleh lapak-lapak pedagang dan parkir kendaraan.

Pagi, akhir Februari 2013, seorang juru parkir amatiran berteriak-teriak memberi aba-aba agar bus terus maju. Para pedagang bergegas menyingkirkan beberapa dagangan serta atap-atap terpal yang menjorok ke badan jalan. Hingga beberapa meter memasuki halaman keraton, tampak warung kaki lima tersebar di sana-sini.

Bus kami berhasil parkir di bawah pohon beringin besar di belakang sebuah gerbang. Belakangan saya baru tahu gerbang berwarna putih megah itu bernama Lawang Siblawong. Gerbang ini hanya dibuka saat upacara panjang jimat dan hanya dilalui oleh para abdi dan pusaka keraton. Sehari-hari Lawang Siblawong tertutup bagi siapa saja. Jangan berpikir bahwa gerbang ini menutup rapat isi keraton dari dunia luar. Dia lebih merupakan gerbang simbolis yang secara kasat mata berdiri sendiri seperti tak berkait dengan bangunan-bangunan di dalam keraton.

Udin Nurudin (67) sedang tidur-tiduran di balai-balai dekat Lawang Siblawong. Ia tampak bermalas-malasan di tengah cuaca Kota Cirebon yang mulai terik. ”Ini Bangsal Sekaten, tempat gamelan saat perayaan mauludan,” katanya memulai cerita.

Di depan kami terdapat Mande Manguntur, tempat Sultan Kanoman bersama permaisuri bertemu rakyat dan mendengarkan gamelan saat perayaan sekaten. Bangunan mirip gazebo ini berhiaskan tempelan keramik-keramik klasik dari China. Ini cukup menjadi bukti bahwa jauh sebelum Kasultanan Cirebon didirikan Syekh Syarief Hidayatullah, yang kemudian bergelar Sunan Gunung Jati, pada 1479 telah terjadi akulturasi antar-kebudayaan di Cirebon.

Akulturasi

Bukti paling menarik dari akulturasi yang secara sadar dikreasi oleh para leluhur Kasultanan Cirebon terdapat pada kereta kencana Paksi Naga Liman. Kereta ini menjadi simbol hibriditas kebudayaan sebagaimana yang sampai kini menjadi ciri khas kultur cirebonan. Kereta Paksi Naga Liman memiliki dua sayap di kanan kiri. Ini menyimbolkan paksi atau burung atau buroq yang mewakili kebudayaan Islam. Badan serta wajah kereta mirip naga bertanduk (China), tetapi memiliki belalai seperti gajah (Hindu).

”Waktu dibuat pada tahun 1350 Saka atau 1428 Masehi cikal bakal Kasultanan Cirebon menyadari bahwa keragaman agama itu mesti diberi tempat,” tutur Elang Harja, kerabat Keraton Kanoman yang memandu setiap pengunjung mengitari kompleks keraton.

Harja menuturkan, Sunan Gunung Jati menggunakan Paksi Naga Liman mengunjungi desa-desa untuk bertemu langsung dengan para petani. Selain menyebarkan Islam, Sunan juga membantu para petani memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

”Sebagian besar waktu Sunan Gunung Jati digunakan untuk melakukan perjalanan ke desa-desa dan selalu menggunakan Paksi Naga Liman yang ditarik oleh enam kerbau,” kata Harja. Penggunaan kerbau sebagai penarik kereta diperkirakan disesuaikan dengan jalan desa dengan kontur tanah berbatu.

Kereta lain yang menjadi koleksi Museum Keraton Kanoman adalah kereta Jempana yang dibuat pada tahun yang sama dengan kereta Paksi Naga Liman. Kereta ini, menurut Elang Harja, dikhususkan bagi permaisuri raja. Satu hal yang menarik, kereta Jempana dihiasi ukiran wadasan dan mega mendung. Jika sekarang banyak lukisan serta batik cirebonan menggunakan ornamen wadasan dan mega mendung, diperkirakan berasal dari hiasan di kereta Jempana.

Menurut kerabat keraton, Cepi Irawan, yang sehari-hari menempati paviliun tua di kiri bangunan keraton, sejak awal berdiri, Kasultanan Cirebon sebenarnya lebih berfungsi sebagai keraton spiritual. Hal itu dipertegas dengan kehadiran Sunan Gunung Jati sebagai sultan. Begitu juga sebelumnya di masa perintisan keraton oleh Pangeran Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuwana, seorang putra dari Kerajaan Pajajaran. Walangsungsang bahkan memeluk Islam dan membangun tempat tetirah bernama Witana yang terletak di bagian belakang Keraton Kanoman. ”Witana sampai kini dipercaya sebagai titik nol karena menjadi asal mula Kasultanan Cirebon,” ujar Cepi.

Pada sisi itu, Kasultanan Cirebon memiliki peran sangat penting, terutama dalam menyebarkan Islam. ”Namun, sebenarnya sejak dikuasai kompeni pada tahun 1800 kekuasaan keraton ini sudah habis,” kata Cepi. Praktis kini tak ada ikatan apa pun antara masyarakat sekitar dan keraton. ”Lihat saja pasar yang sudah menutup seluruh akses menuju keraton,” ujar Cepi. Pasar Kanoman didirikan oleh Belanda pada tahun 1924 di atas lahan milik keraton.

Dalam kata lain, saat ini Keraton Kanoman tak lebih dari gugusan bangunan tua yang tak mampu merawat dirinya sendiri. Meski masih memiliki Sultan Kanoman XII yang bergelar Sultan Raja Moch Emirudin, bukan tak mungkin bangunan-bangunan bersejarah serta segenap isi di dalamnya bakalan rontok dipukul usia. Dan sekali lagi sejarah cuma batu yang bisu, tak akan bicara jika tidak diberi makna sebagai tonggak perjalanan peradaban manusia. (Putu Fajar Arcana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com