Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sapi dan Kehormatan Lelaki

Kompas.com - 01/04/2013, 15:20 WIB

Oleh Budi Suwarna dan Ahmad Arif

Di kandang-kandang yang terasing, sapi-sapi istimewa dipelihara secara istimewa pula. Mereka dilayani dan dijaga laksana raja. Ketika waktunya tiba, sapi-sapi itu disembelih demi mengangkat kehormatan laki-laki di mata istri. Empat bulan terakhir, Isya (62) tidak tidur serumah dengan istrinya, tetapi dengan sekawanan sapi. Tempatnya di sebuah kandang yang tersembunyi di antara semak dan rerimbunan pohon ratusan meter dari Gampong Lam U, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Suatu pagi pada pertengahan Februari, Isya baru saja bangun tidur. Rambutnya masih acak-acakan. Ia tersenyum menyambut kedatangan empat tamunya.

Isya menyilakan kami untuk melihat peraduannya berupa dipan bambu di pojok kandang. Tiga sapi jantan menempati ruangan lebih besar seolah menunjukkan siapa tuan rumah kandang itu. Udara di dalam kandang dipenuhi bau kotoran sapi dan asap perapian yang menusuk tajam. Di tempat itulah, hingga empat bulan ke depan, Isya bakal melewatkan hari bersama sapi-sapi meugang yang dititipkan kepadanya.

Sapi meugang adalah sapi jantan pilihan yang dipersiapkan untuk dipotong pada saat meugang, yaitu tradisi menyambut awal Ramadhan yang biasa digelar orang Aceh. Sejumlah catatan lama, misalnya dalam The Achehnese (Snouck Hurgronje, 1906) dan Adat Aceh dari Satu Manuscript India Office Library (Banda Aceh, PLPIS, 1976), menyebutkan, meugang menjadi perayaan utama di Aceh selain peringatan malam Lailatulkadar, Idul Fitri, dan Idul Adha pada abad ke-17. Pada hari itu, masyarakat Aceh akan memborong daging sapi dan mengolahnya jadi aneka masakan lezat.

Tidak diumbar

Sejak memasuki awal musim memelihara sapi meugang, kehidupan Isya berputar di seputar kandang. Ia hanya meninggalkan kandang ketika shalat di meunasah (mushala) dan menonton pertandingan sepak bola di televisi di sebuah kedai kopi. Saat ia pergi, Fadly (38), kerabat Isya yang juga pemelihara sapi, menggantikan tugasnya. Begitu juga sebaliknya.

Buat Isya, pekerjaan menjaga sesuatu yang dianggap istimewa sudah biasa ia lakukan. Laki-laki murah senyum yang mengaku pensiunan tentara itu mengatakan, ”Dulu tugas saya menjaga anak pejabat tinggi, sekarang menjaga sapi, ha-ha-ha.”

Fadly juga telah cukup lama menjalani pekerjaan itu. Sedari kecil, dia menemani ayahnya yang juga pemelihara sapi meugang. Pekerjaannya sebagai pemelihara sapi sempat terhenti selama konflik bersenjata melanda Aceh tahun 2003-2005. Fadly memilih menyingkir ke Bandung, Jawa Barat, dan kembali lagi setelah konflik reda.

Kembali ke kampungnya berarti kembali ke lembah di pinggir Gampong Lam U, tempat memelihara sapi meugang. Lembah itu ibarat kampung sapi meugang. Puluhan kandang sapi berderet. Jarak antarkandang sekitar 500 meter dipisahkan rimbun rumput gajah dan pohon pisang.

Sebagaimana pemeliharanya, kehidupan sapi meugang juga terasing dari dunia luar. Mereka tidak bisa berkeliaran dan berbaring di jalan raya seperti kawanan sapi lain di seantero Aceh. Ruang hidup sapi-sapi itu praktis hanyalah kandang seukuran tubuh yang terlindung dari paparan matahari dan hujan. Hanya sebulan sekali sapi-sapi itu keluar kandang ketika dimandikan. ”Sapi-sapi itu tidak boleh diumbar seperti sapi-sapi biasa. Mereka tidak boleh banyak bergerak,” ujar Isya.

Ya, tugas utama sapi itu pada masa pengasingan hanya satu: menumpuk daging sebanyak mungkin. Barangkali sama dengan tugas yang diemban sapi kobe, Jepang, yang terkenal dengan daging wagyu-nya. Bedanya, sapi meugang di Aceh tidak dipijat dan tidak diberi minuman sake.

Namun, sama seperti sapi kobe, sapi meugang diperlakukan bak raja. Setiap hari, pemeliharanya memberikan bertumpuk-tumpuk pakan istimewa, mulai dari rumput gajah, sukun, dedak dan garam, nanas, hingga hati batang pisang. Secara rutin, sapi-sapi itu pun dicekoki dengan jamu yang terdiri dari lengkuas, bunga kecombrang, sejenis jeruk lokal, dan cuka. ”Agar sapi tidak masuk angin dan doyan makan,” kata Fadly.

Bahkan, para pemelihara juga menjaga sapi-sapi itu dari gigitan serangga dengan membakar ranting-ranting dan dedaunan yang mengeluarkan asap. ”Prinsipnya yang boleh digigit serangga hanya penjaga, sapinya tidak boleh,” tutur Isya.

Dengan teknik memelihara yang ketat seperti itu, Fadly mengklaim berat sapi bertambah cepat dan harganya pun melejit. ”Sapi ini saya beli empat bulan lalu Rp 18 juta, sekarang harganya sudah Rp 23 juta. Empat bulan lagi saat meugang bisa Rp 30-an juta,” ujar Fadly.

Gengsi laki-laki

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com