Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negeri Atas Angin dan Negeri Bawah Angin

Kompas.com - 02/04/2013, 14:38 WIB

Kehancuran Lobu Tua tetap misteri walaupun bukti-bukti terbaru menunjukkan kemungkinan besar karena tsunami. Namun, sebelum keruntuhan Barus, beberapa pedagang, khususnya Tamil, agaknya berhasil mencapai dataran tinggi Sumatera.

Orang-orang Tamil di Lobu Tua kemungkinan mencapai pedalaman melalui Sungai Simpang Kiri dan Simpang Kanan. ”Yang melalui Sungai Singkil, ada yang terus ke Alas dan Gayo, dan sebagian ke Karo melalui Sungai Renun, sedangkan yang melalui Sungai Cinendang masuk ke daerah Pakpak,” tulis Brahma Putro dalam buku Karo dari Jaman ke Jaman (1981).

Orang-orang Tamil di Karo, lanjut Brahman Putro, akhirnya masuk dalam marga Karo, Sembiring dan menurunkan kekerabatan Sembiring Singombak. Sembiring SIngombak terdiri dari marga-marga Sembiring Berahmana, Sembiring Oandia, Sembiring Colya, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Keling, Sembiring Depari, Sembiring Pelawy, Sembiring Bunun Aji, Sembiring Busuk, Sembiring Muham, Sembiring Meliala, Sembiring Pande Bayang, Sembiring Maha, Sembiring Teykang, dan Sembiring Kapur.

Penelitian genetika yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman juga menemukan jejak genetika orang-orang India selatan di Gayo dan Karo. ”Ada jejak India di genetika orang Gayo dan Karo, selain juga genetika orang-orang dari daratan Asia (Kamboja dan Vietnam),” kata Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Eijkman.

Herawati menyebutkan, di masa sebelum es mencair, sekitar 12.000 tahun lalu, migrasi manusia dari Afrika melalui India belakang telah mencapai Sumatera yang saat itu masih bergabung dengan dataran Asia. Mereka kemudian menetap dan mencari gunung-gunung tinggi, termasuk ke Gayo dan Karo. ”Saat itu, budaya mereka masih berburu dan meramu,” katanya.

Begitu es mencair, migrasi manusia dilakukan melalui jalur neolitik dari utara (Asia Daratan) menuju selatan. Selain jalur dari Filipina turun ke Sulawesi lalu ke kepulauan lain, juga ada jalur melalui Semenanjung Malaya lalu ke Sumatera. Nenek moyang ini telah mengenal kemampuan bercocok tanam. ”Masyarakat Gayo di pedalaman Aceh merupakan percampuran manusia dari dua jalur ini,” katanya.

Dari segi linguistik, jejak Austronesia dalam bahasa Gayo, misalnya, terdapat dalam penggunaan istilah mangan yang sama persis seperti bahasa di Jawa untuk menyebutkan makan. Kata mangan juga dipakai orang Kapampangan di Filipina dengan arti yang sama.

Adapun jejak India bisa dilihat dari penggunaan bahasa Sanskerta (India lama) dalam kuliner dan perangkat memasak. Misalnya, kata Sanskerta kundika, yang berarti wadah air dari tanah liat, dalam bahasa Gayo disebut keni, dalam bahasa Jawa dinamakan kendi, dan dalam bahasa Bali menjadi kundi, sementara dalam bahasa Aceh terdapat variasi berbeda, yaitu geutuyoeng.

Para ahli telah bersepakat, penduduk di Pulau Sumatera lebih dulu berkembang di pegunungan, baru kemudian bermigrasi ke pesisir. ”... pertanian paling awal di Sumatera tidak lahir di delta sungai atau dataran rendah di pesisir seperti yang kita perkirakan, tetapi di lembah-lembah tinggi di pegunungan Bukit Barisan...,” tulis sejarawan Anthony Reid dalam buku Menuju Sejarah Sumatra ( 2011).

Analisis serbuk sari bebatuan di dasar Danau Toba (Sumatera Utara) yang dilakukan Bernard Maloney (Possible Early Dry-Land and Wet-Land Rice Cultivation in Highland North Sumatra, 1996) juga menunjukkan bukti-bukti bahwa pertanian sawah sudah ada di sekitar Danau Toba sekitar 5.000 tahun lalu. Padahal, menurut Reid, pertanian di pesisir Sumatera baru ditemukan sekitar abad ke-16 di pesisir sempit utara Aceh.

Walaupun orang Tamil dipercaya lebih dulu berinteraksi dengan penduduk dataran tinggi Gayo dan Karo, pengaruh kuliner India ternyata lebih banyak ditemukan di pesisir Aceh dan Medan. Berbeda dengan masakan Aceh yang kaya rempah dan hampir semuanya bersantan, masakan Gayo dan Karo minim rempah.

Kedua masakan etnis yang tinggal di dataran tinggi ini didominasi rasa asam dan pedas dari andaliman—sejenis lada yang hanya ditemukan di sekitar dataran tinggi Gayo, Karo, dan Batak. Baik orang Gayo maupun Karo sama sekali tidak mengenal bumbu kari dan tidak menggunakan santan. ”Kayu manis, cengkeh, dan daun kari tidak dipakai dalam masakan kami,” kata Siti Fatimah Beru Sembiring (80), pemilik kedai masakan Karo di Medan.

Khazanah masakan Gayo dan Karo, menurut budayawan Gayo, M Yusrin Saleh (65), lebih dipengaruhi gaya hidup sebagai peladang. Mereka biasa tinggal di gubuk-gubuk di ladang hingga
berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Karena sibuk bekerja di ladang, orang-orang Gayo tidak punya banyak kesempatan untuk mencari dan mengolah bahan makanan. Akhirnya, mereka memanfaatkan bahan makanan dan bumbu yang ada di ladang, yakni cabai, andaliman, dan asam jering (sejenis jeruk sayur), serta ikan danau untuk memasak masam jing. ”Prinsipnya, makanan Gayo itu gampang diolah, bumbunya sederhana, dan bisa tahan lama,” kata Yusrin.

Sejarawan dari Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, menduga migrasi Tamil ke Gayo dan Karo di masa lalu berlangsung bertahap. Itu mengapa orang-orang Tamil yang berpindah ke dataran tinggi Sumatera akhirnya melebur dalam dominasi kultur lokal. ”Kalau migrasi orang Tamil terjadi berbondong-bondong dan seketika, pastilah mereka membentuk koloni tersendiri dan pasti menyisakan jejak kuliner Tamil dalam khazanah kuliner masyarakat Gayo dan Karo,” kata Ichwan.

Kemungkinan lain, khazanah kuliner Tamil atau India, yang dibawa masuk di masa awal, belumlah sekaya periode belakangan. Sebaliknya, khazanah kuliner mereka juga bisa jadi terpengaruh dari temuan bahan-bahan baru dari Nusantara. Misalnya, penggunaan pala dan cengkeh yang jelas-jelas tanaman khas Nusantara—cengkeh dari Ternate dan pala dari Kepulauan Banda. Jadi, interaksi terbentuknya ”kari modern” bisa jadi dua arah.

Pengaruh India yang begitu terasa dalam kuliner masyarakat di pesisir Aceh diduga terjadi pada periode migrasi lebih belakangan yang dipicu oleh intensifnya perdagangan antara Kesultanan Aceh dan para pedagang India. Pada periode ini, para pedagang dan budak yang didatangkan dari India ke Aceh kemungkinan ada juga para juru masak, terutama perempuan. (Ahmad Arif, Budi Suwarna, Aryo Wisanggeni Gentong)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com