Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/04/2013, 08:27 WIB
EditorI Made Asdhiana

SEJAK puluhan tahun sebelum Masehi, lada (Piper nigrum L) yang tumbuh di Sumatera bagian utara telah dilirik para pedagang asing, khususnya para pelaut dari Tamil, India selatan. Puncak kejayaan lada Sumatera terjadi pada abad ke-16 kala Kesultanan Aceh berdiri. Kesultanan yang menguasai pantai barat hingga timur Sumatera ini pun kaya raya karena perdagangan lada.

Selain dipakai untuk menggenjot perekonomian, lada juga dipakai Kesultanan Aceh sebagai alat diplomasi. Syahdan, seorang Sultan Aceh memerintahkan sebuah misi untuk mengirim upeti berupa lada satu kapal penuh kepada Kerajaan Turki yang melindungi Kerajaan Aceh dari serangan Portugis dan musuh lain.

Singkat cerita, misi dari Aceh itu tiba di Istanbul. Namun, pegawai kerajaan tidak memperbolehkan mereka menemui Raja Turki. Setelah beberapa lama di Turki, perbekalan mereka pun habis hingga mereka terpaksa menjual sebagian demi sebagian lada upeti untuk biaya hidup.

Utusan Aceh itu akhirnya bisa bertemu dengan Raja. Dan, mereka hanya bisa mempersembahkan lada secupak (sekitar 675 gram) yang tersisa di kapal. Raja Turki tetap menerima upeti dengan perasaan senang. Ia membalas ”upeti” lada secupak dengan memberikan meriam yang kemudian diberi nama meriam secupak (Snouck Hurgronje, 1985).

Lada memang lama mengakar dalam kehidupan orang Aceh, sampai-sampai ada keyakinan bahwa lada di dunia berasal dari sana. Menurut dongeng yang dikutip JJCH Van Waardenburg (1936), tanaman lada ada berkat usaha seorang keramat bernama Teungku Lam Peuneu’eun yang makamnya terletak di daerah Aceh Besar (IX mukim Tungköb). Keramat itu dikatakan telah menyemai bibit kapuk (panjoe) dan dari bibit itulah berasal tanaman lada.

Untuk menghormatinya, sebagian masyarakat di Aceh Timur dan Aceh Barat setiap tahun menggelar kenduri saat tanaman lada mulai berbunga di usia tiga tahunan. Kenduri bunga lada itu dimaksudkan untuk mencegah bunga lada rontok sebelum panen tiba.

Waardenburg juga mencatat, masyarakat Aceh memiliki sejumlah istilah yang dipinjam dari kata lada. Satu penggal periode pertumbuhan janin dalam kandungan ibu, misalnya, dinyatakan dengan ukuran lada. Umur janin dua bulan disebut sebesar butir lada (dua buleuen ubó lada), tiga bulan berbentuk manusia (lhèe buleuen ka meusipheuet), empat bulan jadi manusia (peuet buleuen jeuet keu ma 'nusia).

Jika seseorang merantau dan tak kembali lagi ke daerah asal, ia dikatakan ”mate reudeueb maté lada” atau mati tanaman dadap, mati tanaman lada.

Bagaimana lada saat ini? Buku Statistik Perkebunan Aceh tahun 2011 mencatat, produksi lada di seluruh Nanggroe sebanyak 217 ton (2009), 205 ton (2010), dan 216 ton (2011). Bandingkan dengan sepenggal catatan produksi lada yang dibuat Tome Pires (1512-1515). Ia menyebutkan, Pelabuhan Pidie dan Pasai saja ketika itu memproduksi 16.000 bahar lada atau sekitar 2.718 ton lada per tahun. Belum lagi jika dihitung produksi lada dari perkebunan-perkebunan di sepanjang pesisir barat Aceh (Dasgupta, 1962).

Begitulah, kejayaan lada Aceh kini tinggal sepenggal cerita di masa lalu. (BSW/AIK)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    27th

    Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

    Syarat & Ketentuan
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
    Laporkan Komentar
    Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

    Terkini Lainnya

    Turis Asing Berulah Lagi di Bali, Menparekraf Imbau Pengawasan Semua Pihak

    Turis Asing Berulah Lagi di Bali, Menparekraf Imbau Pengawasan Semua Pihak

    Travel Update
    Kursi KA Ekonomi Masih Tegak per Akhir Mei 2023, Kapan Kursi Baru Dipakai?

    Kursi KA Ekonomi Masih Tegak per Akhir Mei 2023, Kapan Kursi Baru Dipakai?

    Travel Update
    Jelang Libur Long Weekend, Tiket Kereta Api Mulai Banyak Dipesan

    Jelang Libur Long Weekend, Tiket Kereta Api Mulai Banyak Dipesan

    Travel Update
    [POPULER TRAVEL] Masa Berlaku Paspor 6 bulan | Big Bad Wolf 2023

    [POPULER TRAVEL] Masa Berlaku Paspor 6 bulan | Big Bad Wolf 2023

    Travel Update
    Krakatau Park, Taman Hiburan Baru di Lampung Lengkap Dengan 21 Wahana

    Krakatau Park, Taman Hiburan Baru di Lampung Lengkap Dengan 21 Wahana

    Jalan Jalan
    Naik KRL ke ICE BSD Bisa Lanjut Shuttle Bus Gratis, Catat Langkahnya

    Naik KRL ke ICE BSD Bisa Lanjut Shuttle Bus Gratis, Catat Langkahnya

    Travel Tips
    Panduan Lengkap ke Museum Multatuli di Rangkasbitung

    Panduan Lengkap ke Museum Multatuli di Rangkasbitung

    Travel Tips
    Desa Wisata Hargotirto, Punya Spot Terbaik Lihat Perbukitan Menoreh

    Desa Wisata Hargotirto, Punya Spot Terbaik Lihat Perbukitan Menoreh

    Jalan Jalan
    Kampoeng Ketandan Yogyakarta Jadi Bagian dari Wisata Jalan Kaki

    Kampoeng Ketandan Yogyakarta Jadi Bagian dari Wisata Jalan Kaki

    Jalan Jalan
    Cara ke Animalium BRIN Naik Kereta dan Kendaraan Pribadi

    Cara ke Animalium BRIN Naik Kereta dan Kendaraan Pribadi

    Travel Tips
    Maskapai Vietjet Air Buka Penerbangan ke Jakarta Mulai 5 Agustus 2023

    Maskapai Vietjet Air Buka Penerbangan ke Jakarta Mulai 5 Agustus 2023

    Travel Update
    5 Tips Berkunjung ke Big Bad Wolf, Bawa Kantong Sendiri

    5 Tips Berkunjung ke Big Bad Wolf, Bawa Kantong Sendiri

    Travel Tips
    10 Tempat Liburan di Lembang Ramah Anak, Bisa Main Sambil Belajar

    10 Tempat Liburan di Lembang Ramah Anak, Bisa Main Sambil Belajar

    Jalan Jalan
    Perpustakaan Unik di Tangerang OMAH Library, Banyak Dikunjungi Tamu Asing

    Perpustakaan Unik di Tangerang OMAH Library, Banyak Dikunjungi Tamu Asing

    Jalan Jalan
    Museum Multatuli Rangkasbitung, Museum Anti Kolonialisme Pertama di Indonesia

    Museum Multatuli Rangkasbitung, Museum Anti Kolonialisme Pertama di Indonesia

    Jalan Jalan
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Verifikasi akun KG Media ID
    Verifikasi akun KG Media ID

    Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

    Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

    Lengkapi Profil
    Lengkapi Profil

    Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+