Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Bambu, yang Menyimpan Warisan Teh

Kompas.com - 17/04/2013, 17:12 WIB

JAWA BARAT menyimpan banyak warisan leluhur yang teramat khas. Namun, beberapa di antaranya menghilang dan tak dikenal lagi oleh masyarakatnya. Kini, warisan tersebut dimunculkan kembali, di antaranya lewat Rumah Bambu di Desa Cimurah, Kecamatan Karangpawitan, Garut, yang mewarisi sejarah perkebunan teh dan budaya Parahyangan.

Rumah Bambu berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Bandung, Jabar. Lokasinya berada di tengah hamparan sawah di dekat Sungai Cimanuk di Kabupaten Garut. Apabila Bandung dijuluki ”Paris van Java”, dari tempat seluas 1 hektar itu, wisatawan bisa merasakan indahnya Garut yang juga dikenal sebagai ”Swiss van Java”. Alasannya, Garut daerah yang dikelilingi empat gunung, yaitu Papandayan, Guntur, Cikuray, dan Karacak.

Bagi pengunjung yang menyukai wisata sejarah, tempat ini layak dikunjungi. Sebab, lokasi itu bisa dijadikan alternatif wisata di Garut, selain kawasan yang lebih dulu dikenal seperti Gunung Papandayan, pemandian air panas di Cipanas, hingga kesenian ketangkasan domba garut serta oleh-oleh dodol garut.

Daya tarik lokasi ini juga bukan hanya keindahan suasananya, melainkan juga informasi mengenai sejarah dan kebesaran perkebunan teh di Jabar serta koleksi budaya Parahyangan yang disimpannya.

Pendiri Rumah Bambu, Kuswandi, mengatakan, khusus soal teh, bangunan berbilik bambu ukuran 7 meter x 6 meter ini menyimpan informasi dan koleksi tentang pengaruh teh bagi Hindia Belanda dan Indonesia. Mayoritas barang-barang itu dikumpulkan Kuswandi saat masih bekerja di PT Perkebunan Nusantara VIII dan sumbangan dari keluarga para perintis perkebunan teh di Indonesia. Di dalamnya terdapat foto-foto lama, peta kuno, beragam jenis daun teh, harimau jawa yang telah punah dan diawetkan, hingga berbagai informasi menarik lainnya tentang teh dan kebudayaan Indonesia.

Francis Benteux, penulis buku Tea History in South Asia, yang pernah berkunjung dua kali ke kawasan ini, mengatakan, data dan informasi tentang teh yang dimiliki Rumah Bambu tergolong unik. Banyak data berharga tentang teh Indonesia yang tak dimiliki tempat lain. Ia yakin, jika makin banyak orang datang dan mengetahui informasi tersebut, hal itu akan menjadi bekal untuk pengembangan teh Indonesia di masa datang.

Di Rumah Bambu juga ada salah satu kisah Karel Frederik Holle yang mendirikan Perkebunan Teh Waspada di Garut pada 1865. Menurut Kuswandi, Holle berperan besar memunculkan varietas domba garut (Ovies aries) yang dikenal gagah itu.

Penelitian Universitas Padjadjaran pada 2002 menyebutkan, domba garut merupakan hasil silangan antara domba Kaapstad asal Afrika, domba Merino asal Australia, dan domba lokal. Domba Merino ini diyakini dipelihara Holle pertama kalinya di Garut.

Holle juga dikenal dengan kebaikan dan kedekatannya dengan penduduk Garut. Ia mau belajar bahasa dan tulisan Sunda tata Sunda untuk bisa dekat dengan anak buahnya, pekerja teh Waspada. Dia berteman dengan Moehamad Musa, tokoh masyarakat Garut, dan belajar ajaran agama Islam hingga mendapat julukan Said Mohammad Ben Holla.

Kenangan baik masyarakat Garut juga berlanjut saat Holle meninggal pada 1896. Anak buahnya membuat monumen yang diberi nama KF Holle de Vriend Van Landman, yang artinya Holle sahabat petani. ”Monumen kenangan patung di Perkebunan Cisaruni di Giriwaras, Garut, menjadi favorit kunjungan keturunan pendiri perkebunan teh,” papar Kuswandi.

Di tempat ini juga tersimpan informasi sejarah anggota keluarga Holle lainnya, Adrian Walraven Holle. Manajer Perkebunan Teh Parakan Salak, Sukabumi, ini berjasa mengenalkan teh dari Sukabumi ke Perancis (1899) dan Amerika Serikat (1893).

Bersama pekerja teh Parakan Salak, Holle mempromosikan teh lewat pertunjukan gamelan Sunda. Konon komposer dunia, Claude Debussy, sangat terinspirasi dengan alunan musik Parakan Salak itu. Gamelan utamanya, Sari Oneng, kini disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. ”Ada juga sejarah tentang perjalanan hidup Karel Rudolf Bosccha, Manajer Perkebunan Teh Malabar Bandung, yang mendanai pendirian observatorium bintang pertama dan satu-satunya di Indonesia. Kami ingin memperlihatkan bagaimana teh berperan dalam sejarah perkembangan bangsa ini,” papar Kuswandi.

”Papandak”

Di Rumah Bambu, konsep rumah tradisional Sunda yang disebut papandak diangkat kembali. Kuswandi mengatakan, konsep papandak diyakini mantan Kepala Museum Geologi Bandung Soewarno Darsoprajitno sebagai bentuk asli dari bangunan aula timur dan barat gedung Institut Teknologi Bandung, yaitu salah satu pionir bangunan besar berarsitektur lokal di Indonesia. Masyarakat penanam teh dan petani biasanya membangun papandak sebagai tempat tinggalnya.

”Kami membangun dua rumah papandak. Ciri utamanya adalah arsitektur cagak gunting (tiang berbentuk gunting) yang disebut julang ngapak di ujung atap. Bentuknya rumah panggung yang berdinding bilik,” ujarnya.

Menurut Kuswandi, bentuk rumah seperti itu ditemukan di Kampung Papandak, Kecamatan Paseh, dan Kampung Papandak, Kecamatan Wanaraja, Garut. Buktinya, foto-foto karya fotografer Perancis, Thilly Weissenborn, pada 1917-1942 tentang rumah papandak sudah terekam. Namun, kini di kedua kampung tersebut tak lagi ditemukan pola rumah sejenis.

Thilly adalah pionir juru foto yang memperkenalkan Garut pada dunia. Artis Charlie Chap- lin tercatat datang dua kali ke Garut setelah melihat foto Thil- ly yang dicetak jadi kartu pos. Obyek kesukaannya pemandangan sekitar Garut. Beberapa foto Thilly yang tersisa merekam sejumlah Rumah Bambu.

Kebiasaan warga yang tinggal di sekitar rumah papandak juga diperkenalkan. Pengunjung diperkenalkan saunglisung yang digunakan sebagai tempat menumbuk padi. Ada juga saung ranggon sebagai menara pengusir burung dari sawah. Ada juga Bale patemon (ruang tamu) dan pawon (dapur). Di sini, pengunjung bisa menikmati masakan dari dapur tradisional, yang berasnya diambil dari lumbung penyimpan beras.

”Sebelum bom Bali, banyak wisatawan asing yang datang seperti dari Australia, Kanada, Perancis, dan banyak dari Belanda. Mereka keturunan dari para perintis perkebunan teh. Tetapi, kini lebih banyak siswa sekolah yang ingin tahu sejarah teh,” tambah Kuswandi.

”Outbound”

Menurut Endang (72), pengurus Rumah Bambu, tempat ini selain untuk penyuka wisata sejarah dan budaya juga bisa buat pelatihan atau sekadar pelepas penat. Wahana drum jungkit, kolam renang, tarik tambang, arena pemancingan ikan, hingga tangga goyang dan kolam renang mini berpadu dengan arena pemancingan ikan dan sawah warga. ”Kami sediakan empat rumah panggung bagi pengunjung yang menginap. Satu rumah bisa menampung delapan orang dengan biaya Rp 400.000-Rp 500.000 per malam, termasuk makan pagi,” katanya.

Jika ingin merasakan suasana pedesaan dan tradisi Sunda di Rumah Bambu, wisatawan bisa mendapatkannya asalkan memberi tahu jauh hari sebelumnya. Wisatawan juga bisa melakukan perjalanan wisata ke perkebunan teh di sekitar perkebunan teh Waspada, Malabar, dan Gambung.

Karel van der Hutch, keturunan ke-7 GLJ Van der Hutch, pionir perkebunan teh di Indonesia, yang tinggal seminggu, mengatakan, Rumah Bambu memberikan kenangan hangat masa lalu. Tak heran nenek moyangnya pada waktu itu sangat mencintai dan tak mau meninggalkan Indonesia kala itu. (Cornelius Helmy)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com