Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terisolasi di Tengah Taman Kerinci Seblat

Kompas.com - 21/04/2013, 15:38 WIB

BADAN kami tak henti-hentinya berguncang melintasi jalan menuju wilayah adat marga Serampas, Kecamatan Jangkat, Merangin, Jambi, Jumat (12/4/2013). Setelah lima jam menempuh perjalanan darat dari ibu kota Bangko yang berjarak 150 kilometer, kami tiba di Desa Rantau Kermas pukul 02.00. Karena letih, kami merebahkan tubuh sambil menunggu pagi.

Perjalanan berlanjut saat hari mulai terang. Kepala Desa Rantau Kermas Usman Ali mengingatkan medan yang kami lalui akan jauh lebih terjal. Usman mengutus Satiyon (20), pemuda setempat, untuk mengantar sampai ke Renah Kemumu, sebuah desa tua di tengah kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Kendaraan bergardan ganda yang kami tumpangi dari Kota Jambi diparkir karena tidak mampu menembus medan. Namun, Satiyon telah siap dengan motornya. Ban belakang dikalungi rantai motor. ”Ini supaya ban tak mudah tergelincir,” kata Satiyon.

Masih terabaikan

Kami menyusuri desa-desa tua dalam kawasan TNKS, mulai dari Rantau Kermas, Lubuk Mentilin, Tanjung Kasri, hingga Renah Kemumu. Jalanan berbatu terjal dengan kemiringan rata-rata lebih dari 60 derajat. Jurang di sebelah kiri. Tebing rawan longsor di sebelah kanan.

Sesampainya di puncak bukit, kelokan tajam menanti. Jika tak terbiasa melintasinya, pasti kami terjun ke jurang. Meski Satiyon telah sering menempuh medan tersebut, motornya beberapa kali terperosok dalam kubangan berlumpur dalam.

”Kita beruntung karena sudah dua hari di sini tidak turun hujan. Jika semalam hujan, mungkin perjalanan pasti lebih berat lagi,” ungkap Satiyon.

Selama melintasi jalur tersebut sebagai satu-satunya akses yang menghubungkan antardesa, kami beberapa kali mendapati pelaju yang terhenti karena kendaraan tersangkut dalam kubangan.

Salah seorang warga, Ari, yang hendak menuju Tanjung Kasri tidak bisa melewati tanah berlumpur sedalam sekitar 50 sentimeter. Ari dan dua warga lainnya harus mencangkuli tanah di sepanjang jalan itu supaya merata. ”Sudah hampir tiga jam kami di sini, tetapi belum bisa menembus jalan,” keluhnya.

Potensi alam

Warga Jambi sudah hafal soal buruknya kondisi jalan. Padahal, jalur itu satu-satunya akses bagi petani hortikultura, kopi, dan kayu manis untuk mengantar hasil panen ke pasar. Telah lebih dari 10 tahun jalan setempat rusak parah, tetapi tak kunjung diperbaiki.

Masyarakat sempat senang saat pemerintah pusat mengucurkan dana pembangunan jalan sebagai jalur evakuasi bencana pada 2012. Akan tetapi, pembangunan jalan ternyata jauh dari harapan warga. Proyek itu hanya memperbaiki jalan di sejumlah kelokan tajam. Selebihnya, jalan dibiarkan berlumpur dan terjal.

”Kami semua tahu dana untuk pembangunan sangat besar, tetapi mengapa hasilnya seperti ini saja,” ujar Rozali, Kepala Desa Renah Kemumu.

Wilayah Serampas yang sudah dihuni sejak abad XI ini pernah menjadi jalur utama distribusi barang antardaerah. Jalur ini menghubungkan Kabupaten Merangin di Jambi dan Mukomuko di Bengkulu. Petani membawa hasil bumi dengan menggunakan kuda.

Desa-desa di Serampas kala itu terbilang ramai. Letaknya yang di tengah Merangin dan Mukomuko menjadikan wilayah Serampas sebagai tempat persinggahan dan istirahat. Daerah ini juga memiliki pemandangan alam yang unik menyuguhkan deretan pegunungan bukit barisan. Serampas dikelilingi gunung-gunung tinggi seperti Masurai, Sumbing, Gerakah, Tanggoteras, serta Atap Ijuk, dan dua danau nan indah, yaitu Depati Empat dan Pauh.

Selain itu, terdapat sejumlah sumber air panas yang bisa menyembur hingga setinggi 15 meter, seperti Grao Sakti dan Grao Matahari. Pada waktu tertentu, kita bisa meminta orang lokal bermantra untuk mengangkat semburan air panas. Antara percaya tidak percaya. Yang pasti, pemandangan ini sungguh memikat pendatang.

Pada 2004 pemerintah memasukkan wilayah Serampas sebagai zona inti TNKS. Sejumlah larangan menebang pohon dan membuka ladang baru diberlakukan. Namun, pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat terbilang minim.

Di Renah Kemumu yang memiliki penduduk lebih dari 500 jiwa tampak sepi saat kami berkunjung. Hanya tampak orang tua. Anak-anak muda umumnya disekolahkan dekat kota karena di desa itu hanya tersedia sekolah dasar. Tak hanya kondisi terisolasi, saat gempa bumi merusak hampir 100 rumah di Renah Kemumu, bantuan tak kunjung datang selama sepekan. Dana perbaikan rumah yang rusak sebagaimana yang dijanjikan pemerintah pun tak mengucur.

Walaupun menjadi bagian dari taman nasional, menurut Usman Ali, petugas Balai TNKS jarang memberdayakan masyarakat. Petugas datang hanya untuk memasang papan-papan larangan merusak hutan. ”Kami kurang mendapat perhatian dari pengelola taman nasional. Padahal, kami telah menjaga hutan secara turun-temurun. Lihatlah buktinya, kondisi hutan masih sangat bagus,” katanya.

Pemerintah pernah memberi bantuan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) melalui program pembangunan dan konservasi terpadu (ICDP). Namun, bantuan tidak berlanjut saat PLTA rusak. Masyarakat berswadaya memperbaikinya.

Kepala Balai TNKS Arief Toengkagie mengaku tidak melarang masyarakat di desa-desa tua itu tinggal, tetapi melarang mereka menambah pembukaan lahan. Jumlah penduduk yang terus bertambah harus diatasi dengan membangun permukiman baru di luar hutan. ”Mau tak mau generasi-generasi muda menjalankan hidupnya di luar hutan karena jika tidak TNKS bisa habis,” ujarnya.

Menurut Arief, selama ini pihaknya membantu masyarakat dengan pemberian bibit tanaman kehutanan dan budidaya sapi. Pihaknya berharap ekonomi setempat terjaga tanpa merusak alam.

Pemberdayaan warga setempat tidak cukup dengan bantuan bibit pohon atau ternak. Warga juga membutuhkan ketersediaan jalan raya yang baik sehingga memudahkan mereka bermobilisasi, termasuk memasarkan hasil bumi. Pengabaian itu bisa menjadi malapetaka. (Irma Tambunan)

Ikuti Twitter Kompas Travel di @KompasTravel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com