Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sembah dan Berkah di Tanah Dewata

Kompas.com - 25/04/2013, 12:26 WIB

Oleh Budi Suwarna dan Putu Fajar Arcana

Tak ada santapan tanpa persembahan. Itulah yang lazim berlaku di Pulau Dewata. Makanan yang disantap manusia selalu merupakan sebagian dari sesaji yang sebelumnya dipersembahkan kepada para dewata. Penuh berkah.

Tepat pada hari Penampahan Galungan, Selasa (26/3/2013), pagi-pagi Ni Ketut Kandel (65) berkeliling di sekitar rumahnya. Warga Batuyang, Batubulan, Gianyar, ini membawa setampah sesaji yang disebut saiban. Proses mebat, memasak bersama, yang dipimpin suaminya, I Ketut Sangka (70), menjelang selesai. Sebelum makan bersama, Kandel bertugas menghaturkan lebih dari 100 sajen di sejumlah tempat yang dianggap suci. Persembahan pagi yang secara populer disebut ngejot (berbagi) ini terdiri dari makanan yang dimasak hari itu.

”Karena kami masak lawar, ya pakai lawar, ditambah garam, bawang goreng, dan lauk lainnya,” katanya.

Sejumput makanan itu, termasuk nasi, kemudian diletakkan di atas potongan-potongan kecil daun pisang dan dihaturkan di tempat-tempat, seperti dapur, sumur, halaman, gerbang rumah, dan pura keluarga. ”Ini untuk berterima kasih,” tutur Kandel.

Itulah cara seluruh penduduk Bali yang memeluk Hindu mengucapkan rasa syukur atas karunia dan berkah semesta pada hidup. Isi saiban disisihkan dari makanan yang dimasak pada hari itu sebelum disantap seluruh anggota keluarga.

”Dapur mewakili api dan sumur adalah air, halaman adalah tanah tempat tanaman tumbuh, semuanya telah memberi kita berkah. Kewajiban kita mengucapkan terima kasih,” ujar I Ketut Sumadi, dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, kerabat Kandel.

Hal sama dilakukan Ni Ketut Friska Laprina Rudana (24). Friska khusus pulang dari London, Inggris, untuk merayakan Galungan bersama keluarga di Peliatan, Gianyar, Bali. Dua hari menjelang Galungan, keluarganya mengadakan mebat bersama karyawan Museum Rudana Ubud.

Ketika seluruh santapan selesai dimasak, tugas Friska berkeliling menghaturkan saiban kepada para dewata. Bisa dipastikan, aktivitas persembahan seusai memasak ini berjalan setiap hari dalam keluarga-keluarga Bali tanpa harus menunggu hari raya seperti Galungan.

Konsepsi

Dalam konsepsi Hindu-Bali, makanan pertama-tama harus dipersembahkan kepada dewata yang menguasai kehidupan manusia dan alam semesta. Dengan demikian, manusia mengonsumsi makanan yang penuh berkah dari dewata. ”Tanpa mempersembahkannya terlebih dahulu kepada dewata, sama saja dengan menikmati sesuatu dari alam dengan cara mencuri,” ujar rohaniwan Hindu-Bali, Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, awal April lalu.

Makanan yang kita makan, lanjut Mpu Acharyananda, hanyalah lapisan terluar. Dia akan bermanfaat bagi manusia apabila ada aspek spiritual di dalamnya.       

Begitulah, ritual persembahan menjadi bagian dari napas kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu-Bali. Dan, aktivitas itu meningkat tajam ketika ada upacara atau perayaan agama yang lebih besar, seperti Galungan dan Kuningan.

Upacara itu melibatkan kerumunan warga di pura-pura dengan sesajen berupa makanan dalam jumlah lebih banyak dan beraneka. Semua ritual tampak ditata menjadi semacam pertunjukan yang meriah. Itu sebabnya, antropolog Clifford Geertz menjuluki Bali sebagai negara teater karena simbol-simbol kekuasaan dan status diperlihatkan.

Beraneka

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com