Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taman Nasional Kutai, Paru-paru Dunia yang Berlubang

Kompas.com - 27/04/2013, 15:33 WIB

Ordiansyah, Kepala Dinas Pengendalian Lahan dan Tata Ruang Pemkab Kutim menolak tudingan itu. ”Masalah sekarang adalah akumulasi masalah sejak dulu. Saya juga orang kehutanan. Tidak mungkin saya ataupun pemkab gembira area hutan berkurang. Namun, jika TNK atau pemerintah pusat tegas, langsung melarang ketika dulu ada orang datang dan membangun rumah, masalah-masalah di TNK sekarang tidak akan terjadi,” ujarnya.

Enklave sebagai jalan tengah, lanjut Ordiansyah, sebenarnya bukan solusi yang diinginkan. Namun, enklave akan mengerem laju kerusakan TNK. Sebab, pemkab bisa masuk mengatur desa-desa di wilayah TNK. ”Enklave solusi yang tidak menyenangkan, tetapi tidak ada jalan lain,” katanya.

Erli mengatakan, jika enklave tidak disetujui pemerintah, bukan berarti masyarakat yang telanjur tinggal di kawasan TNK akan diusir. Mereka boleh tinggal, tetapi tidak bisa memiliki tanah dan tidak bisa mendapat sertifikat karena itu tanah negara.

”Aktivitas yang ada di dalam TNK pun harus yang mendukung konservasi,” katanya.

Beranjak ke sejarah, jika dirunut ke belakang, kelahiran TNK berawal dari usulan The Royal Batavian Oil Company, H Witcamp. Kawasan yang dulu seluas 2 juta hektar itu diusulkan menjadi Wildreservaat Oost Koetai pada tahun 1932. Tahun 1934, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan ini sebagai hutan cadangan.

Flora dan fauna

Tahun 1957, menteri kehutanan mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan kawasan tersebut sebagai suaka margasatwa seluas 306.000 hekter. Tahun 1995, menteri kehutanan mengubah fungsi suaka margasatwa menjadi taman nasional dan luasnya dikurangi menjadi 198.629 hektar.

TNK yang merupakan hutan hujan tropis dataran rendah memiliki 1.148 jenis flora yang teridentifikasi, 80 jenis mamalia (22 jenis di antaranya dilindungi), 368 jenis burung, termasuk 2.000 orangutan (Pongo pygmaeus). TNK juga tempat hidup buaya, beruang madu, macan dahan, serta tarantula. Tak heran jika para peneliti berminat datang ke TNK.

Perambahan hutan dan hasil hutan tidak semata berdampak terhadap satu faktor. Ada dampak lainnya, yakni hilangnya keanegaragaman flora dan fauna serta kerugian ekologis. TNK merupakan hulu dari 25 sungai, penyangga Bontang dan Sangatta.

Nilai ekologis TNK pun luar biasa. Satu hektar hutan diperkirakan menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk dikonsumsi oleh 1.500 penduduk per hari agar bisa bernapas lega. Satu hektar hutan akan membuang 2,5 ton CO2 per tahun dari atmosfer atau 6 kilogram CO2 per batang per tahun. Hutan juga menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun dan menurunkan suhu 5-8 derajat celsius.

Dengan kata lain, setidaknya TNK menghasilkan 199.177 ton oksigen untuk dikonsumsi oleh 297.943.500 penduduk per hari, membuang 496.572,5 ton CO2 per tahun dari atmosfer, menyimpan 178.766.100 meter kubik air tanah per tahun, dan menurunkan suhu 5-8 derajat celsius. Jika TNK habis, terlalu mahal nilai kerusakan ekologisnya. (PRA)

Ikuti Twitter Kompas Travel di @KompasTravel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com