Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taman Nasional Kutai, Paru-paru Dunia yang Berlubang

Kompas.com - 27/04/2013, 15:33 WIB

TAMAN Nasional Kutai adalah hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Kalimantan Timur yang masih tersisa. Namun, paru-paru dunia itu kian berlubang dan semakin lebar menganga terkena aneka penyakit. Hutan itu menuju nasib yang sama dengan hutan lainnya: habis.

Secara tertulis, Taman Nasional Kutai (TNK) memiliki luas 198.629 hektar, tetapi kenyataannya tak seluas itu. Tujuh desa dan ribuan hektar kelapa sawit, karet, warung, dan bangunan lainnya ikut terhampar di dalam TNK. Ada juga tempat karaoke, bar, bahkan dua tempat lokalisasi.

TNK terbentang antara poros Bontang dan Sangatta (Kabupaten Kutai Timur). Sayang, harapan untuk melihat deretan pohon nan hijau tidak akan terwujud. Area terluar TNK ini sudah berganti wajah. Manusia sudah berdatangan, membangun rumah, dan beranak pinak.

Kawasan konservasi berupa taman nasional seharusnya steril dari aktivitas yang tidak mendukung konservasi. TNK menjadi contoh yang mengenaskan. Alih-alih mempertahankan wilayah, TNK sekarang justru berhadapan dengan risiko kehilangan wilayah.

Sejak 13 tahun lalu, Pemkab Kutai Timur mengusulkan perubahan sebagian area hutan di TNK menjadi area penggunaan lain (enklave) kepada pemerintah pusat. Luas area yang diusulkan 30.000 hektar atau seperenam luas TNK. Alasannya adalah daerah itu sudah telanjur dihuni. Hingga sekarang, sedikitnya 16.000 penduduk tinggal di dalam kawasan TNK. Namun, jumlah sebenarnya bisa saja jauh lebih banyak.

Jajaran TNK meradang karena merasa pemerintah daerah membiarkan dan ”membantu” melegalkan cara masyarakat mengambil lahan TNK. Dari sisi masyarakat, mereka jelas mendukung enklave agar gratis mendapat tanah berikut sertifikatnya. Sementara itu, di tingkat pusat usulan enklave belum diputuskan, masih menggantung di meja Menteri Kehutanan.

Murdoko, Kepala Desa Sangkima Lama, Kecamatan Sangatta Selatan, mengklaim sebagian warganya telah menetap sejak 40-50 tahun lalu, jauh sebelum TNK ditetapkan. Adanya perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) kemudian menjadi ”gula” yang menarik banyak orang datang ke Sangkima.

Setelah era HPH berlalu, Sangkima tidak ditinggalkan. Ketika lambat laun jumlah orang bertambah, menurut Murdoko, itu tak bisa disalahkan. ”Kami berhak hidup dari tempat ini. Karena itu, warga menginginkan enklave,” ujar Murdoko yang diamini sejumlah tokoh masyarakat.

Kepala Balai TNK Erli Sukrismanto mengatakan, jika enklave disetujui pemerintah pusat, perambahan hasil hutan di TNK akan semakin menjadi-jadi. Tanah rentan diperjualbelikan lalu warga akan mencari lagi lahan di dalam TNK. Dengan kata lain, pohon-pohon pun dibabat.

Hanya di TNK pohon kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) masih banyak terhampar. Bahkan, di dalam areal TNK terdapat pohon ulin yang diyakini terbesar di dunia. TNK juga kaya batubara dan mungkin kaya minyak. TNK terkepung rapat oleh tiga perusahaan batubara, satu perusahaan hutan tanaman industri, dua perusahaan penambangan migas, dan satu industri pupuk. Dengan kata lain, area TNK sebenarnya sudah terjepit.

Potensi ulin di TNK selalu diincar penjarah sehingga pencurian pun bertubi-tubi. Sepanjang 2011-2012, misalnya, berhasil disita 200 meter kubik kayu yang sebagian besar jenis kayu ulin. Sebanyak 43 usaha mebel ilegal juga diamankan. Modus pencurian kayu semakin beragam dan pelakunya semakin lihai. Jika sebelumnya menggunakan truk untuk mengangkut kayu, kini pencuri memakai motor dan beroperasi pada malam hari.

Terus diincar

Aktivitas jual beli lahan di TNK ditengarai sudah terjadi meski sejauh ini belum bisa dibuktikan. Apalagi jika nanti enklave disetujui pemerintah pusat. ”Hampir tiap pekan banyak mobil mewah berada di kampung di dalam area TNK. Mau apa mereka coba, selain untuk mengecek tanah,” kata Erli.

Hernowo Supriyanto, Kepala Seksi Pengelolaan TNK Wilayah 1 Sangatta menambahkan, ”Berdasarkan pengamatan intelijen, sudah banyak investor datang yang memesan berhektar-hektar lahan di TNK untuk dibuka. Ini mencemaskan dan cara menghadangnya adalah jangan sampai enklave diberikan.”

Jika Pemkab Kutim menyetujui enklave, berarti pemkab mendukung dan membiarkan aktivitas masyarakat yang tinggal di kawasan TNK secara ilegal. ”Tidak semua pendatang punya skill. Mereka yang tak punya skill inilah yang berpotensi merambah. Ketika ruang gerak terbatas, terdorong keinginan mudah mendapat uang, area TNK pun dianggap lahan kosong,” ucap Hernowo.

Ordiansyah, Kepala Dinas Pengendalian Lahan dan Tata Ruang Pemkab Kutim menolak tudingan itu. ”Masalah sekarang adalah akumulasi masalah sejak dulu. Saya juga orang kehutanan. Tidak mungkin saya ataupun pemkab gembira area hutan berkurang. Namun, jika TNK atau pemerintah pusat tegas, langsung melarang ketika dulu ada orang datang dan membangun rumah, masalah-masalah di TNK sekarang tidak akan terjadi,” ujarnya.

Enklave sebagai jalan tengah, lanjut Ordiansyah, sebenarnya bukan solusi yang diinginkan. Namun, enklave akan mengerem laju kerusakan TNK. Sebab, pemkab bisa masuk mengatur desa-desa di wilayah TNK. ”Enklave solusi yang tidak menyenangkan, tetapi tidak ada jalan lain,” katanya.

Erli mengatakan, jika enklave tidak disetujui pemerintah, bukan berarti masyarakat yang telanjur tinggal di kawasan TNK akan diusir. Mereka boleh tinggal, tetapi tidak bisa memiliki tanah dan tidak bisa mendapat sertifikat karena itu tanah negara.

”Aktivitas yang ada di dalam TNK pun harus yang mendukung konservasi,” katanya.

Beranjak ke sejarah, jika dirunut ke belakang, kelahiran TNK berawal dari usulan The Royal Batavian Oil Company, H Witcamp. Kawasan yang dulu seluas 2 juta hektar itu diusulkan menjadi Wildreservaat Oost Koetai pada tahun 1932. Tahun 1934, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan ini sebagai hutan cadangan.

Flora dan fauna

Tahun 1957, menteri kehutanan mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan kawasan tersebut sebagai suaka margasatwa seluas 306.000 hekter. Tahun 1995, menteri kehutanan mengubah fungsi suaka margasatwa menjadi taman nasional dan luasnya dikurangi menjadi 198.629 hektar.

TNK yang merupakan hutan hujan tropis dataran rendah memiliki 1.148 jenis flora yang teridentifikasi, 80 jenis mamalia (22 jenis di antaranya dilindungi), 368 jenis burung, termasuk 2.000 orangutan (Pongo pygmaeus). TNK juga tempat hidup buaya, beruang madu, macan dahan, serta tarantula. Tak heran jika para peneliti berminat datang ke TNK.

Perambahan hutan dan hasil hutan tidak semata berdampak terhadap satu faktor. Ada dampak lainnya, yakni hilangnya keanegaragaman flora dan fauna serta kerugian ekologis. TNK merupakan hulu dari 25 sungai, penyangga Bontang dan Sangatta.

Nilai ekologis TNK pun luar biasa. Satu hektar hutan diperkirakan menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk dikonsumsi oleh 1.500 penduduk per hari agar bisa bernapas lega. Satu hektar hutan akan membuang 2,5 ton CO2 per tahun dari atmosfer atau 6 kilogram CO2 per batang per tahun. Hutan juga menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun dan menurunkan suhu 5-8 derajat celsius.

Dengan kata lain, setidaknya TNK menghasilkan 199.177 ton oksigen untuk dikonsumsi oleh 297.943.500 penduduk per hari, membuang 496.572,5 ton CO2 per tahun dari atmosfer, menyimpan 178.766.100 meter kubik air tanah per tahun, dan menurunkan suhu 5-8 derajat celsius. Jika TNK habis, terlalu mahal nilai kerusakan ekologisnya. (PRA)

Ikuti Twitter Kompas Travel di @KompasTravel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com