Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benteng Balangnipa, Saksi Bisu Perjuangan Masa Kolonial

Kompas.com - 28/04/2013, 16:33 WIB
Kontributor Bone, Abdul Haq

Penulis

SINJAI, KOMPAS.com - Sebuah benteng peninggalan masa lampau di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan ramai dikunjungi warga pada hari libur. Benteng sebagai simbol bersatunya tiga kerajaan dan dijadikan benteng pertahanan bagi kolonial Belanda ini masih menyimpan beregam pesona serta misteri.

Benteng Balangnipa yang terletak di Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan ini didirikan pada tahun 1557 oleh tiga kerajaan setempat yakni kerajaan Bulo-bulo, Lamatti dan Tondong yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Tellulimpoe.

Dalam sejarah, tiga kerajaan ini berada dibawah naungan Kerajaan Gowa yang merupakan kerajaan terkuat di kawasan Indonesia Timur pada masa lalu. Secara geografis, benteng ini berada di pinggir Sungai Tangka yang memiliki hulu dari gunung Bawakaraeng hingga ke lepas Pantai Mangngarabombang. Sungai Tangka merupakan perbatasan wilayah antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone.

Di awal pembangunannya benteng ini terbuat dari bahan batu gunung yang ditempel dengan lumpur dari sungai sebagai alat perekat dan memiliki arsitektur sisi utara dengan luas 49,45 meter, sisi barat 49,10 meter, sisi selatan 30,47 meter, sisi timur 49,27 meter, ketebalan dinding 0,50 meter. Pintu benteng yakni pintu utama selebar 4 meter dengan 2 daun pintu.

Selain dijadikan sebagai benteng pertahanan, dahulu kala benteng ini juga dijadikan sebagai pusat adiminstrasi tiga kerajaan lantaran letaknya yang berada persis di depan pelabuhan kuno Sungai Tangka. Seiring dengan perkembangan zaman benteng ini pun berubah fungsi seperti saat perang maha dahsyat antara Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan kolonial Belanda bersama sejumlah kerajaan kecil yang berada di bawah naungan Kerajaan Gowa yang kemudian berafiliasi ke kolonial Belanda.

Benteng ini pun turut merasakan dentuman meriam penjajah Belanda hingga akhirnya takluk pada tahun 1859-1961. Benteng ini pun kembali dibangun oleh Belanda dengan arsitektur khas Eropa yang hingga kini bangunannya masih tetap bertahan. "Dulu di sini ada pelabuhan di depannya. Jadi selain pusat administrasi dan perdagangan benteng ini juga menjadi pusat persinggahan bagi pembesar Kerajaan Gowa dan terakhir menjadi benteng pertahanan dari kepungan penjajah," ujar Lukman Dahlan, Pelaksana Tugas Harian (PLT) Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sinjai.

Benteng yang berdiri kokoh dengan sejumlah bangunan ala Eropa ini memiliki sejumlah gedung yang dahulunya menjadi pusat administrasi bagi pemerintahan kolonial Belanda. Jika berada di dalam benteng ini maka pengunjung akan merasakan kesejukan di antara pepohonan indang serta bangunan kokoh peninggalan masa lalu.

Sekilas benteng ini juga memiliki berbagai macam misteri dengan kerapnya terdengar rintihan tangisan serta tabuhan gendang perang serta suara ringkikan kuda. Konon suara tersebut terdengar pada malam tertentu. "Kalau suara tentang tabuhan genderang perang serta suara orang berteriak-teriak sering kita dengar di sini tapi itu kami anggap sudah biasa karena sejak dulu begitu," kata Arfah Punggawa, salah seorang warga yang bermukim tidak jauh dari benteng tersebut.

Meski suasana mistik sangat nampak jika berada di dalam benteng namun sejumlah pengunjung mengaku tetap menyukai benteng ini. Mereka umumnya datang berkunjung sekedar untuk melepas penat bersama keluarga dan selebihnya datang untuk menyaksikan sejumlah bangunan kuno yang berdinding tebal dan kokoh. "Saya suka sekali ciri khas bangunannya. Suasana di sini juga sangat sejuk karena terlindung dari benteng dan pohon pohon besar," ujar Bobby, salah seorang pengunjung dari Kota Makassar, Minggu (28/4/2013).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com