Oleh Budi Suwarna dan Benny D Koestanto
Orang Bali mempersembahkan daging bebek yang suci untuk dewa. Industri pariwisata menjadikannya sajian mewah untuk turis lokal dan mancanegara. Jam makan siang telah tiba. Aktivitas di dapur Restoran Bebek Bengil di Jalan Hanoman, Ubud, Gianyar, Bali, pun berdenyut kencang. Kompor-kompor, panci-panci, dan penggorengan seolah tak henti-hentinya digunakan. Aroma gurih bebek dan sambal bertebaran ke mana-mana mengabarkan kisah tentang kelezatan makanan.
Kami menanti hidangan datang di sebuah jineng—semacam saung yang digunakan untuk makan secara lesehan. Jineng itu menghadap ke sepetak sawah yang ditata sebagai taman lengkap dengan bunga-bunga teratai berwarna putih kemerahan. Itu semua mengingatkan kita pada sejumput kedamaian Ubud yang kini masih tersisa di tengah-tengah kepungan hotel, galeri, dan pertokoan.
Tidak berapa lama empat macam menu bebek, yakni bebek goreng, panggang, pelalah, dan sambal hijau, terhidang di meja makan. Aroma dan penampilannya sungguh menggugah selera. Kami mencecap setiap jejak rasa. Tidak ada lagi bau amis yang tersisa. Jejak yang ada tinggal gurih daging bebek berbalut aneka rasa basa (bumbu) genep. Rasa kunyit, kencur, jahe, laos, bahkan bangle terasa samar-samar dan seimbang. Tidak ada rasa tertentu yang berusaha mendominasi. Para penyuka pedas tinggal mencocol daging bebek ke sambal matah yang mengandung hangat kecombrang dan segarnya jeruk limau.
Kisah lezatnya daging bebek olahan warung makan atau restoran sejatinya baru dimulai tahun 1990-an. Tidak hanya di Ubud, tetapi juga di seantero Bali. Sebelum masa itu, daging bebek tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan harian. ”Bebek itu hewan suci yang biasanya hanya digunakan untuk persembahan kepada dewa-dewa dalam upacara-upacara keagamaan,” kenang AA Raka Sueni, pemilik Bebek Bengil, awal April lalu.
Sueni memberanikan diri mengolah bebek menjadi berbagai menu andalan warungnya. Target pasarnya adalah turis-turis asal Jerman, Australia, dan Belanda yang sedang liburan panjang di Ubud. Ketika itu, kenang Sueni, industri pariwisata di Ubud sedang tumbuh. Hotel-hotel dan homestay baru bermunculan di sela-sela ketiak Desa Ubud.
Bebek Bengil yang kini diapit hotel, galeri, dan pertokoan dulunya berada di tepi sawah. Di situ, ratusan bebek biasa mandi lumpur lantas berlarian ke dalam warung dengan meninggalkan jejak kotor. Itulah sebabnya, Sueni memberi nama warungnya Bebek Bengil yang artinya bebek yang basah kuyup oleh lumpur. Agar nama itu dimengerti turis asing, Sueni menerjemahkan Bebek Bengil menjadi ”dirty duck” atau bebek kotor.
Turis-turis asing sering tertawa ngakak mendengar nama warung yang lucu itu. Dirty dalam bahasa Inggris bisa berarti kotor, bisa pula nakal. Lantaran tertarik dengan namanya yang nakal, para turis itu mencicipi menu bebek yang dihidangkan Bebek Bengil. Ketika lidah mereka mencecap gurihnya daging bebek dicampur sengatan sambal matah, mereka malah ketagihan.
Singkat cerita, warung yang memelopori menu bebek di Bali itu sukses dan bersalin rupa menjadi resto bagus. Daya tampung warung yang awalnya hanya 25 orang menjadi 625 orang dalam satu kesempatan. Setiap akhir pekan, resto itu bisa menjual 1.500 porsi dari 750 ekor bebek dengan harga per porsi hampir Rp 90.000.
Menu bebek pun populer di Bali. Manis rezeki yang diperoleh dari penjualan menu bebek memicu munculnya pemain baru di bisnis hidangan serba bebek. Di Ubud saja ada berderet resto yang menjajakan menu bebek antara lain Bebek Tengah Sawah, Bebek Nonggeng, dan Bebek Dawe.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.