Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bertemunya Kuno dan Modern

Kompas.com - 09/05/2013, 09:13 WIB

SAWARA, Kamakura, Nikko, Asakusa, dan Shibuya. Lima obyek pariwisata di Jepang itu tidak sepopuler obyek-obyek wisata lain di sana. Kelimanya mungkin hanya contoh dari keunggulan Jepang memadukan yang lama-kuno-tradisional dengan yang baru-modern.

Kelimanya saya kunjungi kebetulan saja. Awalnya ketika kerabat saya, keluarga Sunagawa-Irene—pasangan Jepang-Indonesia dengan kedua anak mereka (Yukihisa dan Erina)—menawarkan pilihan. Alasannya praktis: kelima obyek itu gampang dicapai dari Chiba, kota satelit serba lengkap yang mereka tinggali, di pinggiran jalan tol 40 kilometer dari Bandara Narita menuju Tokyo. Jadilah rumah tinggal mereka menjadi basecamp kami.

Reformasi Jepang abad ke-16 tetap melestarikan hasil peradaban kuno Jepang berdampingan dengan peradaban modern yang menjadi ciri khas Jepang sekarang. Sawara, Kamakura, Nikko, Asakusa, dan Shibuya hanya sebagian contoh dari keberhasilan Jepang menyandingkan tidak hanya kuil dengan hasil budaya dan teknologi supermodern, tetapi juga pelestarian warisan-warisan budaya kebesaran Jepang pada masa lalu.

Sawara, masuk dalam wilayah Prefektur Chiba, salah satu contoh keberhasilan Jepang melestarikan yang lama-tradisional. Sebuah kota kecil 20 km timur laut Bandara Narita, yang pada zaman Periode Edo (1603-1867) jadi pusat kota yang ramai. Obyek utamanya kanal yang memanjang, sarana transportasi utama selama berabad-abad dan dikenal sebagai Edo Kecil oleh karena kecil-mungilnya kota dan ketenangan suasana di balik hiruk pikuknya Jepang modern. Naik kapal kecil yang dinakhodai dua ibu dengan pakaian khas Sawara—baju dan topi petani—kapal yang digerakkan dengan mesin itu perlahan-lahan dengan ongkos 12.000 yen (sekitar Rp 1 juta) menyusuri kanal selama 20 menit.

Berbeda dengan naik gondola di ”kota air” Venesia apalagi miniatur tiruannya di Makau, menyusuri kanal di Sawara serasa menyusuri kanal di Amsterdam. Bedanya di Amsterdam penuh dengan hiruk pikuk lalu lalangnya manusia dan mobil, di Sawara serba damai tenang. Sepi.

Rumah-rumah tradisional di kanan kiri kanal lestari terawat, begitu juga jembatan-jembatan lengkung di atasnya. Selain toko-toko dengan suvenir khas Jepang, tak bisa ditinggalkan Museum Tadataka, tempat kelahiran Ino Tadataka yang pada abad ke-19 berhasil membuat peta kepulauan Jepang lebih lengkap dan lebih akurat di zaman Shogun Tokugawa.

Mau tahu Jepang di masa reformasi 200 tahun lalu, datanglah ke Sawara! Begitu bunyi iklan yang bertebaran. Tidak hanya gudang, pedagang dan rumah-rumah berusia 100-200 tahun berdampingan dengan bangunan modern ”Barat” berikut pernak-perniknya Jepang masa lalu.

Asakusa, Shibuya, Kamakura, Nikko

Dalam kekunoan dan kemodernan Jepang itu, Asakusa, Shibuya, Kamakura, dan Nikko menjadi pelengkap. Asakusa terkenal sebagai kuil tertua di Jepang, Shibuya dengan mitos Hachiko—lambang kesetiaan dengan patung perunggu anjing Hachiko (1923-1935), Kamakura dengan patung perunggu Buddha duduk bertapa yang dibangun pada abad ke-13, Nikko dengan kuil dan taman yang dibangun abad ke-17, didedikasikan untuk Iemetsu Tokugawa, pendiri Dinasti Shogun.

Kelimanya menawarkan pengalaman reflektif. Suasananya dimungkinkan, entah karena aura yang terasa di sana, entah karena tidak dalam kelompok turis perjalanan. Jepang sebagai negara dan bangsa piawai mengemas dua peradaban. Saya kagum dan menempatkan sebagai bahan belajar untuk Indonesia.

Lewat Sawara yang senyap dan jauh dari aroma modernitas, Jepang tidak terkesan berbeda. Sementara Jepang supermodern yang letaknya hanya beberapa kilometer di luar Sawara adalah Jepang yang serba hidup dengan teknologi canggih.

Chiba, kota terdekat sebagai ibu kota prefektur, memang tidak seriuh Tokyo. Namun, di Chiba konon terdapat satu-satunya trem bergantung (rel tidak di bawah gerbong tetapi kereta bergantung di bawahnya) yang tidak ditemukan di kota lain.

Asakusa, kuil tertua di arah menuju Tokyo, bukan saja menawarkan kepiawaian bangsa Jepang merawat hasil peradaban fisik, melainkan juga merawat dan memberi tempat berkembangnya kepercayaan dan cara berkeagamaan Jepang.

Dikemas dengan rapi, Asakusa menampilkan paduan obyek keagamaan dan pusat perbelanjaan. Orang Jepang juga terbiasa dengan ramal meramal. Kuil Asakusa siang itu dipadati pengunjung yang ingin mengetahui nasibnya. Ramalan yang berisi nasib jelek mereka tinggalkan. Yang bagus dimasukkan dalam tas. Anehnya, meskipun padat sesak, suasananya tenang dan khidmat.

Dipadu dengan bunga sakura yang sedang mekar penuh dan ratusan kios penjual suvenir, Asakusa merepresentasikan paduan antara ziarah keagamaan, dagang, dan panorama keindahan alam. Pusat pertokoan dengan harga barang lebih murah, seperti Pasar Baru di Jakarta, melengkapi perwujudan konsep paduan ziarah dan pariwisata, paduan antara yang lama dan yang baru sebagai peradaban manusia.

Tidak jauh dari Asakusa, Shibuya dengan maskot Hachiko—pernah difilmkan dengan judul Hachiko Monogatari tahun 1987—saat ini semakin banyak dikunjungi setelah Richard Gere dan Joan Allen membintangi film Hachiko: A Dog’s Story yang disutradarai Lasse Hallstrom tiga tahun lalu. Ratusan pengunjung, umumnya remaja Jepang yang antre berpose dengan Hachiko, merupakan pemandangan rutin setiap hari.

Shibuya dikemas sebagai paduan obyek pariwisata, perkantoran dan toko-toko perbelanjaan bermerek. Jangan heran, berdiri di perempatan menunggu hijaunya lampu lalu lintas, kita menyaksikan laron manusia berderet-deret yang tidak saling peduli. Mereka amat menghargai hak individualitas setiap orang. Foto bersama patung Hachiko pun dipakai sebagai selingan menunggu lampu merah berubah warna.

Paduan modernitas dan kekunoan Jepang lebih lengkap lagi diwujudkan di Nikko, obyek pariwisata di ketinggian 634 meter di atas permukaan laut—setinggi Menara Tokyo yang belum lama ini diresmikan—terpadu antara bangunan kuil arsitektur lama dan taman tropis. Nikko yang masuk dalam wilayah Prefektur Tochigi ini relatif jauh dari Chiba—empat jam perjalanan darat lewat tol—saat ini paling banyak dikunjungi wisatawan.

Tidak hanya sebagai salah satu warisan budaya dunia sesuai pengakuan UNESCO, tetapi juga di sini terdapat mausoleum Shogun Ieyasu Tokugawa, pendiri Dinasti Tokugawa. Kuil yang dibangun abad ke-16 dan direkonstruksi beberapa kali itu sekaligus menjadi pintu gerbang taman nasional, Nikko National Park, taman nasional obyek pariwisata pegunungan dengan danau di musim dingin bersalju.

Mengunjungi kelima obyek pariwisata dengan basecamp kota Chiba, barulah sebagian kecil dari Jepang. Mengunjungi kelimanya berarti decak kagum keberhasilan Jepang memadukan masa lalu sebagai warisan yang perlu dilestarikan dan dipadukan dengan derapnya pembangunan fisik dan budaya modern. Jepang, yang wilayah geografisnya di pusaran ”genting bencana”, berhasil menempatkan diri sebagai senantiasa berjaga. (St Sularto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com