Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banda Neira, Serpihan Surga di Timur Indonesia

Kompas.com - 12/05/2013, 18:41 WIB

KOMPAS.com - Perjalanan ke Banda Neira, Maluku, mengingatkan kembali kenangan 18 tahun yang lampau ketika saya menginjakkan kaki di pulau tersebut. Kalau membuka peta Maluku, letak Banda Neira berada di tenggara Kota Ambon. Pilihan transportasi hanya ada dua melalui laut atau udara. Itupun tidak setiap hari tersedia. Pulau Banda Neira merupakan pulau utama dalam gugusan Kepulauan Banda. Meskipun bukan pulau terbesar, namun pulau yang merupakan ibu kota Kecamatan Banda ini menyimpan berbagai obyek wisata alam, sejarah, dan bahari yang sangat layak untuk dikunjungi.

Memori 18 tahun lalu kembali berputar ketika pesawat Casa 212 Merpati Nusantara Airlines dengan mulus lepas landas dari Bandara Pattimura, Ambon, Sabtu (4/5/2013) pagi menuju Banda Neira. Ini merupakan penerbangan perintis Merpati setelah selama tiga tahun tidak diterbangi. Langit cerah. Capt Bambang Tri Handoko selaku pilot dan Wan Emran sebagai kopilot dengan ramah menyambut kami yang hanya terdiri dari empat penumpang, dua penumpang domestik, dan dua turis asing.

Menurut Capt. Bambang, penerbangan dari Ambon menuju Banda Neira harus dilakukan di pagi hari. "Kalau (terbang) di atas jam 10 sangat riskan. Soalnya cuaca dan angin di Banda Neira sulit diprediksi," katanya.
bentengbelgica-1
Benteng Belgica di Banda Neira, Maluku. (KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Penerbangan selama 50 menit menuju Banda Neira hanya ditemani birunya langit dan birunya Laut Banda. Beruntung cuaca tetap cerah selama perjalanan. Menjelang mendarat, landasan di Banda Neira terlihat jelas. Demikian pula Gunung Api yang ada di depan Pulau Neira juga sama jelas dan berdiri kokoh seperti mengucapkan 'Selamat Datang' di Banda Neira.

Tidak ada yang berubah dengan Bandara Banda Neira. Masih tetap sepi. Maklum saja, Merpati hanya terbang tiga kali seminggu ke Banda Neira. Apalagi setiap pagi dan sore, landasan pacu sering dipakai untuk olah raga warga Banda Neira. Yang mencolok adalah taman-taman di bandara kurang terawat. Beda dengan kondisi 18 tahun yang lalu. Kala itu taman tertata rapi dan enak dipandang. Penumpang yang turun dari pesawat langsung bisa merasakan betapa indahnya bandara ini.

Saya dan Akhmad Zulfikri, Humas Merpati Nusantara Airlines langsung disambut Bahri, pemilik Delfika Guest House. Dengan ramah, Bahri menerima kami di guest house-nya yang cuma 5 menit ditempuh dari bandara. Di kalangan turis asing, nama Delfika yang mulai beroperasi tahun 1981 dan memiliki 7 kamar itu sudah cukup  terkenal. Jangan berharap bisa langsung dapat penginapan di Delfika bila tidak memesannya jauh-jauh hari. Bahri memasang tarif kamar sebesar Rp 200.000 (kamar ber-AC) dan Rp 150.000 (non AC).

Merupakan pemandangan yang biasa, sepanjang jalan di Banda Neira menjadi tempat menjemur pala. Tak disangkal lagi, pala merupakan daya tarik sehingga Portugis, Belanda, Spanyol dan Inggris berlomba-lomba mengarungi lautan beribu-ribu kilometer menuju Banda hanya untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di sini. Pala, saat itu, pala laksana emas karena sangat mahal di pasar Eropa.
banda-merpati
Capt. Bambang Tri Handoko (kanan) bersama wisman di Banda Neira, Sabtu (4/5/2013). (KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Tiba Banda Neira, kunjungan pertama saya adalah ke Benteng Belgica. Ini merupakan benteng VOC yang dibangun di atas sebuah bukit dan ditempuh hanya 10 menit berjalan kaki dari Delfica Guest House. Benteng ini berada di sebelah barat daya Pulau Neira dan terletak pada ketinggian 30 meter dari permukaan laut. Sungguh mengagumkan melihat pemandangan di sekeliling saat berdiri di benteng yang dibangun pada tahun 1611 di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter Bot ini.

Karena posisinya yang strategis, sehingga dari sini Anda bisa melihat ke segala penjuru pulau. Kala itu keberadaan Benteng Belgica memudahkan VOC mengawasi kapal-kapal yang keluar masuk Banda.

Benteng Belgica dibangun dengan gaya bangunan persegi lima yang berada di atas bukit, namun apabila dilihat dari semua penjuru niscaya hanya akan terlihat 4 buah sisi. Konstruksi benteng terdiri atas dua lapis bangunan dan untuk memasukinya, pengunjung atau wisatawan harus menaiki anak tangga. Di bagian tengah benteng terdapat sebuah ruang terbuka luas untuk para tahanan. Di tengah ruang terbuka, pengunjung bisa melihat dua buah sumur rahasia yang konon menghubungkan benteng dengan pelabuhan dan Benteng Nassau yang berada di tepi pantai.

Menurut sejarah, benteng ini sebenarnya merupakan salah satu benteng peninggalan Portugis yang awalnya berfungsi sebagai pusat pertahanan, namun pada masa penjajahan Belanda, Benteng Belgica beralih fungsi untuk memantau lalu lintas kapal dagang.
anak-banda

Anak-anak Banda Neira. (KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Selanjutnya tahun 1622 oleh JP Coen benteng ini diperbesar. Tahun 1667 diperbesar lagi oleh Cornelis Speelman. Berikutnya Gubernur Jenderal Craft van Limburg Stirum memerintahkan agar benteng ini dipugar dan menjadi markas militer Belanda hingga tahun 1860.

Uniknya pada setiap sisi benteng terdapat sebuah menara. Untuk menuju puncak menara tersedia tangga yang mana Anda harus hati-hati menaikinya karena posisi tangga nyaris tegak dan lubang keluar yang sempit.

Setelah bersusah payah menaiki tangga, sampai saya di puncak tangga. Rasa capek seketika terbayar oleh panorama yang indah. Dari sini saya bisa menikmati pulau-pulau di sekitar Pulau Neira seperti Pulau Banda Besar, Gunung Api dan birunya Laut Banda. Belum lagi hilir mudiknya perahu nelayan. Wow... indahnya.
rumah-hatta

Rumah pengasingan Bung Hatta. Di sini Bung Hatta mengajar anak-anak Banda Neira. (KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Selesai berkeliling Benteng Belgica, saya dan Fikri ditemani Bahri menuju Istana Mini Neira. VOC kala itu membangun kota Banda Neira dengan mendirikan bangunan istana bernama Istana Mini Neira. Istana tersebut berfungsi sebagai tempat tinggal Gubernur VOC. VOC lebih dahulu membagun istana ini setahun sebelum pembangunan Istana Merdeka di Batavia atau Jakarta.

Istana Mini Neira menjadi satu-satunya banguan besar dan indah saat itu di kawasan ini. Di depannya terhampar pantai biru yang jernih dan Pulau Banda Besar. Di sekitar Istana Mini dibangun rumah-rumah berukuran besar sebagai tempat tinggal dari petinggi orang Eropa yang datang ke Banda. Ibaratnya berjalan kaki di Kota Banda Neira seperti menyusuri jalan-jalan di Eropa karena banyaknya bangunan beraksitektur Eropa. Hanya saja, lagi-lagi soal perawatan gedung masih perlu menjadi catatan khusus bagi pemerintah.

Selesai mengunjungi Istana Mini Neira, saya teringat sebuah tempat yang berisikan berbagai peninggalan penjajah di Banda Neira. Tempatnya di Rumah Budaya Banda Neira dan letaknya persis di depan Delfika Guest House.
istana-mini
Istana Mini di Banda Neira. (KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Di Rumah Budaya ini terdapat berbagai catatat sejarah. Barang-barang peninggalan VOC berupa berbagai jenis meriam, serta beberapa lukisan mengenai situasi pada zaman tersebut.

Yang mencolok adalah di ruang utama museum, tergantung sebuah lukisan raksasa yang menceritakan pembantaian orang-orang terpandang di Banda. Mereka biasa disebut dengan orang kaya, dan pada masa itu mereka ditawan oleh VOC lalu dibawa ke benteng Nassau. Di depan anak istri serta keluarganya, semua orang terkemuka di Banda tersebut dibunuh secara kejam oleh para samurai yang disewa VOC.
rumahbudayabanda

Rumah Budaya Banda Neira. (KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Ke luar dari Rumah Budaya Banda Neira, saat berjalan-jalan di pasar Banda Neira, mata saya tertuju pada sebuah bangunan kelenteng berwarna kuning. Namanya Sun Tien Kong yang artinya Rumah Kuasa Tuhan. Kelenteng yang berusia sekitar 300 tahun ini didirikan oleh tukang bangunan dari China. Dalam catatan Johan Sigmund Wurffbain, pengawas VOC berkebangsaan Jerman yang pernah tinggal di Banda menyebutkan, pada abad 17 ada kelenteng Tionghoa di mana kelenteng tersebut berada di dekat kedai minum anggur. Sayang, kondisi kelenteng itu saat ini dalam kondisi kurang terawat.

Jangan lupa, saat berkunjung ke Banda Neira, mampirlah ke rumah pengasingan Bung Hatta. Saat ini kondisi rumah pengasingan dari sisi perawatan berbeda jauh dibandingkan 18 tahun yang lampau. Saat itu, kondisi bangunan masih terawat baik. Sekarang kamar Bung Hatta, barang-barang peninggalan dan meja-kursi tempat Bung Hatta mengajar terlihat berdebu. Belum lagi foto-foto yang dipasang di dinding sudah mulai kusam.
kelenteng-banda

Kelenteng di Banda Neira. (KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Secara umum, suasana Kota Banda Neira terbilang sepi. Banda Neira mulai ramai ketika kapal Pelni berlabuh. Mendadak para pedagang memadati pasar siap menyambut para penumpang yang turun ke darat untuk membeli makanan dan oleh-oleh khas Banda. Bagi para pedagang, saat-saat seperti inilah yang ditunggu-tunggu. Dagangan mereka laris manis saat penumpang kapal turun ke darat sebelum melanjutkan lagi pelayaran.

Begitulah kehidupan di Banda Neira. Serpihan surga di timur Indonesia itu kini semakin ramai didatangi turis, terutama dari Eropa, untuk melihat langsung sisa-sisa peninggalan kolonial, keindahan alamnya dan panorama bawah laut yang sanggup "menghipnotis" wisatawan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com