Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Istana Maimoon, Warisan yang Tetap Bertahan

Kompas.com - 18/05/2013, 14:09 WIB

PADUAN gendang, akordeon, dan gitar bas yang dimainkan Ronggeng Melayu, akhir pekan lalu, menyambut wisatawan di Istana Maimoon di Kota Medan, Sumatera Utara. Meski nadanya meliuk-liuk dan mendayu, hal itu tetap meneguhkan megahnya warisan budaya Melayu.

Bagus sekali ya, sayang agak kurang terawat,” tutur Dini (35), pengunjung dari Bandung, Jawa Barat. Dini adalah salah satu dari ratusan wisatawan Indonesia. Ada juga wisatawan dari negara lain di Asia dan Eropa. Mereka ingin melihat warisan kejayaan Melayu di Sumatera bagian timur yang masih tersisa dan utuh hingga kini.

Istana Maimoon—yang berasal dari bahasa Arab dan berarti ”berkah”—menjadi satu-satunya istana Melayu yang keindahannya masih bisa dinikmati generasi muda. Bangunan yang berdiri sejak 125 tahun silam atau pada 28 Agustus 1888 ini menjadi ikon Kota Medan, yang seolah wajib dikunjungi jika mampir di kota itu.

Meskipun pernah terjadi revolusi sosial pada 1946, yang mengguncang wilayah tersebut, Istana Maimoon tetap kokoh berdiri. Waktu itu, istana ini luput dari amarah rakyat yang cemburu akibat kesenjangan ekonomi. Sebab, istana dijaga ketat tentara Inggris. Sementara istana Melayu lainnya, seperti Kasultanan Langkat di Tanjung Pura—yang pada masa itu jauh lebih megah—dan Istana Kasultanan Serdang di Perbaungan, hancur dan rata dengan tanah.

Meskipun luput dari kerusuhan, kediaman sultan yang disebut Istana Puri, yang berjarak sekitar 500 meter dari Istana Maimoon—sekitar Jalan Amaliun, Medan—hancur. Adapun Masjid Al Mashun, yang berjarak sekitar 200 meter dari istana dan dibangun tahun 1906, selamat.

Dirancang tentara

Pada masanya, Istana Maimoon, yang arsitekturnya perpaduan Eropa dan Persia serta Melayu, merupakan bangunan megah. Perancangnya adalah Kapten Theodore van Erp, seorang tentara Kerajaan Belanda. Bangunannya didominasi warna kuning, yang menunjukkan kebesaran sultan-sultan Melayu.

Selain disangga pilar-pilar besar dan dinding bergaris vertikal khas bangunan Eropa, kubah dan lengkung perahu terbaliknya menunjukkan tradisi Timur Tengah. Teras lantai dua terbuat dari kayu. Tangga juga terbuat dari kayu, dengan hiasan atap bermotif pucuk rebung. Belum lagi pagar keliling yang mencirikan bangunan Melayu. Hebatnya, seluruh bangunan dan motif hiasan Istana Maimoon masih orisinal.

Marmer yang jadi lantai tangga utama pintu masuk dan seluruh Balairung Seri Utama—tempat Sultan menerima tamu dan menyelenggarakan upacara—berasal dari Italia. Lampu-lampu gantung berasal dari Perancis. Demikian pula perabot istana yang didatangkan dari Belanda dan Inggris. Namun, kayunya dari hutan Sumatera. Hampir 90 persennya dari jenis damar laut.

Tengku Fauziddin A Delikhan (61), Sekretaris Kasultanan Deli, mengatakan, dirinya bersyukur istana masih berdiri utuh sehingga generasi muda masih bisa melihat kemegahan istana kekayaan kebudayaan Melayu tersebut.

Namun, untuk membangun pusat pemerintahan Kasultanan Deli, Sultan Deli IX Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkaya Alamsyah, butuh waktu tiga tahun untuk menyelesaikannya. Sebelumnya, sultan menjalankan pemerintahannya di Istana Labuhan, yang berjarak sekitar 20 kilometer arah ke Belawan dari istana yang kini berdiri. Istana baru dibangun dari hasil pendapatan perkebunan tembakau Deli yang pada masa itu berjaya. Biaya pembangunannya diperkirakan sampai ratusan ribu gulden Belanda.

Namun, dalam bukunya, Medan, Kota di Pesisir Timur Sumatera Utara dan Peninggalan Tuanya, Lucas P Koestoro menyebutkan, perpindahan pemerintahan dari Labuhan disebabkan wilayah itu sudah terlalu ramai oleh perdagangan.

Diduga, kasultanan juga ingin menyesuaikan dengan Pemerintah Hindia Belanda yang memusatkan aktivitas administrasi di sekitar titik pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura. Waktu itu, titik pertemuan kedua sungai menjadi pusat Kota Medan. Apalagi, keuangan kasultanan juga memungkinkan untuk membangun istana.

Istana pun akhirnya berdiri di lahan seluas 4,5 hektar, dengan menghadap ke timur. Lokasinya berjarak 50 meter dari tepi Sungai Deli. Luas bangunannya mencapai 2.700 meter persegi, yang dibangun dua lantai. Bangunannya terdiri dari tiga bagian, yaitu Balairung Seri Utama—yang jadi tempat sultan menerima tamu—serta sayap kanan dan kiri istana yang terdiri dari 30 ruangan.

Perlakuan berbeda

Menurut Sekretaris Yayasan Sultan Ma’moen Al-Rasyid, Tengku Moharsyah Azmi (37), ada dua tradisi yang digunakan sultan saat menerima tamu. Saat menerima tamu dari Eropa, sultan menyediakan kursi. Namun, jika warga Melayu, sultan duduk di kursi dan tamunya duduk di lantai. Perbedaan perlakuan itulah yang memicu terjadinya revolusi sosial, selain juga karena kesenjangan ekonomi antara kuli perkebunan tembakau dan bangsawan di kasultanan.

Kini, Istana Maimoon, yang dikelola yayasan, tetap digunakan sebagai tempat Sultan Deli dan keluarganya menyelenggarakan upacara adat dan kegiatan lainnya, selain juga tempat tinggal 30 ahli waris sultan. Istana Maimoon juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan dasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang diperkuatkan dengan Surat Keputusan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (Aufrida Wismi Warastri)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com