Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lonthor, Menyisakan Benteng dan Pala

Kompas.com - 20/05/2013, 09:39 WIB

"Kalau keliling lebih baik naik ojek," kata Harto mengusulkan cara cepat mengunjungi sumur suci, kebun pala dan Benteng Hollandia.

"Boleh juga pak. Tuh ada tukang ojek," kata Fikri.

Kami melihat dua pemuda dan dua motor parkir di ujung dermaga. Keduanya terlihat sedang berteduh. Harto langsung mendekati kedua pemuda itu dan mengatakan agar membawa kami dengan sepeda motor mengunjungi ketiga tempat tersebut. Setelah tawar menawar, akhirnya disepakati sewa ojek Rp 25.000 per orang.

"Bapak keliling. Saya tunggu di sini (dermaga)," kata Harto sambil tersenyum.

Melajulah saya dan Fikri menggunakan ojek menuju sumur suci atau sumur tua yang ada di Desa Lonthor. Letak sumur tersebut di ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan laut dan memiliki kedalaman 4 meter. Ada dua sumur dan letaknya berdampingan. Dasar sumur berhubungan satu sama lain. Satu sumur dikeramatkan dan satu sumur lagi seperti biasa digunakan warga setempat sehari-hari untuk sumber air minum. Meskipun musim kemarau, sumur tersebut tak pernah kering. Mereka yang meminum air dari sumur itu diyakini akan berumur panjang dan terhindar dari segala jenis penyakit.

Fikri kemudian menimba air tersebut dan meminumnya setelah itu mencuci wajahnya, "Ternyata airnya segar saat diminum," kata Fikri.
benteng-hollandia
Sisa-sisa reruntuhan Benteng Hollandia di Pulau Banda Besar, Maluku. (KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Di sumur inilah dilakukan upacara adat yakni cuci parigi yang digelar setiap lima tahun sekali. Tujuan utamanya adalah membersihkan dua sumur tersebut. Bagi penduduk asli di Kepulauan Banda, cuci parigi merupakan tradisi penting. Wajar banyak dari mereka rela memilih pulang kampung untuk menghadiri acara tersebut. Biasanya acara cuci parigi berlangsung antara bulan Agustus sampai November. Cuci parigi ini merupakan acara adat yang selalu dipenuhi mereka yang mengaku penduduk Banda. Acara ritualnya ini selalu dinanti-nantikan oleh wisatawan dalam maupun luar negeri.  

Usai mendatangi sumur suci, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Benteng Hollandia. Di pikiran saya terbayang benteng yang akan kami kunjungi ini masih berdiri tegak dan berada di atas bukit, ditambah pemandangan ke arah Gunung Api dan Pulau Neira.

Namun, kenyataannya ketika kami sampai di sana, tidak ada benteng utuh yang berdiri. Yang ada hanyalah sisa-sisa reruntuhan benteng yang hampir rata dengan tanah. Yang tersisa hanyalah pintu benteng yang menghadap Gunung Api dan nama Hollandia.

Memang, dari depan Benteng Hollandia ini pemandangan Gunung Api sungguh indah. Dari penelusuran buku sejarah diketahui, tatkala Peter Vleck mengubah bekas benteng peninggalan Portugis itu pada tahun 1624 dan menamakannya Hollandia, pikirannya cuma satu yakni membangun benteng yang megah. Dari benteng ini pula, Belanda bisa melihat kapal-kapal lawan yang hilir mudik. Saat itu, dari benteng ini penguasa bisa mengawasi kerja para budak-budak mereka di kebun pala. Pala merupakan produk yang bernilai jual tinggi kala itu di pasar Eropa.
kenari-lonthor
Pohon kenari dan pohon pala di Pulau Banda Besar, Maluku. (KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Belanda belum menyadari, ketika Gunung Api memuntahkan kemarahannya pada tahun 1743, maka seketika meluluhlantakkan Benteng Hollandia sehingga nyaris rata dengan tanah. Francois van Boeckholtz, penguasa Belanda berikutnya datang ke Lonthor. Dia memperbaiki Benteng Hollandia pada 1796. Namun perbaikan yang dilakukan selama bertahun-tahun tak banyak bermanfaat. Secara perlahan-lahan bangunan seluas 1.500 meter persegi itu pun mulai meredup dan hanya menyisakan puing kebesaran. Ketika kami datang, bangunan liar tumbuh lebat di luar dan di dalam benteng. Pohon pala tumbuh subur di depan benteng. Sisa-sisa kejayaan masa lalu itu kini hanya tinggal puing dan kenangan.

Perjalanan kami lanjutkan menuju perkebunan pala dan kenari di Pulau Banda Besar. Di pulau ini, pohon pala dan kenari tumbuh subur. Bahkan ada pohon kenari yang sudah berusia ratusan tahun. Kenari oleh penduduk setempat diproses menjadi makanan atau kue khas Banda dan Maluku umumnya yang dicari wisatawan sebagai oleh-oleh.

Sedangkan pala dari Banda ini pada zaman kolonial diangkut ke Eropa untuk dijual dengan harga tinggi. Gara-gara pala, Belanda dengan VOC-nya meraup untung besar pada masa itu. Sementara penduduk Banda tetap miskin dan tak bisa memperoleh apa-apa dari "harta" yang mereka miliki. Semua hasil pala Banda dibawa Belanda ke Eropa.

Matahari pun makin condong ke barat. Tiga tempat sudah kami kunjungi di Desa Lonthor. Akhirnya kami memutuskan kembali ke dermaga. Dari kejauhan, terlihat Harto dengan setia menunggu. Tak sampai 1,5 jam kami mengunjungi ketiga tempat tersebut dengan ojek. Setelah kami memasuki perahu, Harto langsung melepaskan tali kapal dan menghidupkan mesin perahu dan mengarahkan perahu ke Banda Neira.
desa-lonthor
Desa Lonthor di Pulau Banda Besar dengan panorama Gunung Api. (KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

"Pak, sebelum balik ke Banda Neira, kita putari Gunung Api, bisa?" tanya Fikri.
"Bisa," kata Harto bersemangat.
"Berapa lama mengelilingi Gunung Api," tanya Fikri lagi.
"Sekitar setengah jam," jawab Harto.
"Ayo pak, kita kelilingi Gunung Api. Nanti (bayaran) saya tambah," kata Fikri.

Harto pun tersenyum. Selanjutnya perahu pun dengan kecepatan sedang melaju mengelilingi Gunung Api sebelum akhirnya mengantarkan kami merapat di dermaga Banda Neira. Kami mengucapkan terima kasih kepada Harto dan dia pun mengucapkan hal yang sama dan selamat jalan. Matahari pun mulai condong ke ufuk barat...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com