Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negeri Makmur yang Pernah Bergolak

Kompas.com - 20/05/2013, 13:43 WIB

SEJAK meninggalkan Aceh dan membangun Kasultanan Deli di Sungai Lalang Percut pada tahun 1630, Panglima Goncah Pahlawan tak pernah berpikir keturunannya hidup makmur di Sumatera Timur. Perkebunan tembakau yang subur pernah membawa Langkat, Serdang, dan Deli termasyhur.

Goncah Pahlawan, yang mendapat gelar Panglima Deli dari Aceh, seperti ditulis Tuanku Luckman Sinar Basarshah II di Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, mendapat tugas menghancurkan sisa perlawanan Kerajaan Haru, kerajaan di Sumatera Timur. Alasannya, kerajaan tersebut dianggap menandingi Malaka dan Aceh pada abad ke-13 sampai abad ke-16.

Selain itu, Goncah Pahlawan juga bertugas mengembangkan misi Islam di pedalaman dan mengatur pemerintahan, yang jadi bagian imperium Aceh. Untuk menjaga eksistensinya, Goncah yang juga keturunan India menikahi adik Raja Sunggal, Beru Surbakti. Perkawinan itu membuat keturunan Melayu Deli yang khas paduan antara India dan Karo.

Saat Tuangku Panglima Perunggit, putra Goncah Pahlawan, berkuasa, Kasultanan Deli baru melepaskan diri dari Aceh. Panglima Perunggit lalu digantikan anaknya, Panglima Paderap. Pasca-kepemimpinan Panglima Paderap, Kasultanan Deli pecah menjadi dua, yaitu Kasultanan Deli dan Serdang.

Kemakmuran Deli yang menggantungkan pada perdagangan hasil hutan baru meningkat pesat saat pemerintahan Sultan Deli VIII, Sultan Mahmud Al Rasyid. Sultan membuka perkebunan tembakau bekerja sama dengan Jacobus Nienhuys pada 1862.

Dikuasai asing

Untuk pertama kalinya, kontrak tanah diberikan Sultan kepada Deli Maatschapij, perusahaan bentukan Nienhuys di daerah Mabar sampai Deli Tua. Kontraknya dikenal dengan nama Mabar Deli Tua, yang lahannya dikuasai PT Perkebunan Nusantara II.

Pada masa keemasan, Sultan Deli IX, Sultan Ma’Moen Al Rasyid (1873-1924), dan Sultan X, Sultan Amaluddin Al Sani (1924-1945), yang menikmatinya. Sultan mampu membangun istana baru, Istana Maimoon, dan hidup dalam kemewahan. Pada tahun 1937, Sultan Deli mendapat bagian 3,50 gulden per hektar per tahun lahan yang disewakan ke perkebunan. Sebelumnya, pada 1928, Sultan Deli justru sudah menerima 184.588 gulden hanya dari sewa tanah. Bahkan, Sultan Deli juga mendapat tambahan 85.000 gulden dari para pengusaha kebun untuk biaya perjalanan pesiar mereka.

Anthony Reid dalam Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera menyebut sultan-sultan Melayu di Sumatera Timur, yakni Sultan Deli, Langkat, dan Serdang, adalah sultan-sultan yang mempunyai pendapatan yang melebihi raja dan sultan-sultan di Hindia Belanda dan Malaya.

Menjelang tahun 1920-an, hampir semua tanah di seluruh tiga kasultanan itu sudah dikuasai asing. Demikian juga Kasultanan Deli yang wilayahnya tersebar di Sunggal, Suka Piring, Sinembah, dan Hamparan Perak. Adapun pertanian rakyat cuma mampu mengandalkan tanah jaluran atau tanah yang menunggu masa tanam tembakau tiba.

Meskipun demikian, masyarakat Melayu merasa mendapat berkah dari perkebunan karena merasakan bantuan kemakmuran dari sultannya. Padahal, jumlah warga Melayu pada tahun 1930 hanya 61.000-an orang atau 14,3 persen di Kasultanan Deli dan Serdang. Sementara jumlah kuli pada waktu itu sudah lebih dari 294.000 orang.

”Waktu itu, masyarakat Melayu sampai tak boleh bekerja kasar. Kami juga tak boleh merantau karena di tanah sendiri saja sudah makmur,” tutur Tengku Pangeran Bendahara Kasultanan Deli Tengku Fauziddin A Delikhan, yang merangkap sekretaris Kasultanan, baru-baru ini. Namun, diakui, hal itu membuat masyarakat Melayu manja dan tak ulet seperti masyarakat Melayu di Siak yang tingkat kemakmurannya justru lebih rendah.

Revolusi sosial

Tak ayal, pembukaan lahan yang sarat kepentingan modal membuat kesenjangan sosial. Upah buruh hanya 30 sen sehari pada periode 1935-1937. Padahal, gaji bangsa kulit putih yang jumlahnya 11.000 orang cukup besar sehingga mereka hidup dalam kesombongan, kemewahan, kesenangan seraya memupuk kekayaan. Pertentangan panjang bangsa kulit putih dan warga pendatang lain, khususnya kaum buruh, muncul. Pemberontakan kuli akhirnya pecah.

Radikalisme kaum terpelajar Indonesia, tambah Reid, justru banyak muncul di Sumatera Timur. Ia mencontohkan radikal- isme Tan Malaka yang muncul pertama kali saat jadi guru sekolah percobaan anak-anak buruh kebun di Tanjung Morawa. Tan Malaka menyaksikan pertentangan tajam antara bangsa putih, yang penjajah, tetapi sombong, versus bangsa berwarna yang berpengalaman membanting tulang, tetapi tertipu, terisap, dan tertindas.

Pada Maret 1946, revolusi sosial pun pecah. Gerakan pemuda yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan bergerak. Kesultanan dijarah dan dibumihanguskan. Bangsawan hingga sultan dibunuh. Pujangga Tengku Amir Hamzah merupakan bangsawan Langkat yang jadi salah satu korbannya. Alasan revolusi itu adalah simpati para raja pada Belanda dan ancaman pada kemerdekaan, selain juga ingin menjarah harta kekayaan sultan.

”Pusat tak membenarkan aksi revolusi sosial itu,” tulis Luckman Sinar. Lewat para menterinya, pusat pernah berjanji korban revolusi sosial akan dikembalikan kehormatannya. Namun, hingga kini belum terealisasi. Meskipun revolusi sosial menghapus kekuatan kasultanan, hingga kini kasultanan masih mempertahankan struktur kasultanan. Jika dulu dihidupi dari hasil perkebunan, kini hidup dari kantong pribadi kerabatnya dan penjualan tiket. (Aufrida Wismi Warastri)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com