Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Masa Lampau di Shirakawa-go

Kompas.com - 01/06/2013, 20:28 WIB

SHIRAKAWA, KOMPAS.com - Menjadi negara maju tidak membuat Jepang mengabaikan warisan budayanya. Salah satu contohnya adalah bagaimana negara ini menjaga desa-desa berusia ratusan tahun dan mempertahankan bangunan aslinya yang sangat unik.

Shirakawa-go, salah satu desa di Prefektur Gifu, menjadi salah satu buktinya. Rumah-rumah di desa itu berusia sekurangnya 200 tahun dan memiliki ciri yang unik, yakni atap rumahnya yang membentuk segitiga sama kaki yang dibuat dari jalinan jerami yang ditumpuk hingga tebal.

Atap model seperti ini disebut gassho-zukuri, yang bila diterjemahkan berarti "tangan yang berdoa". Pembangunan atap seperti itu bukan sekadar untuk keindahan, tetapi untuk menghadapi iklim keras di daerah itu.

Terletak di lembah Sungai Shogawa dan dikelilingi pegunungan, Shirakawa-go selalu mengalami musim dingin dengan hujan salju yang hebat. Dengan atap yang memiliki kemiringan sekitar 60 derajat itu, tumpukan salju cepat runtuh.

Perancang rumah gassho-zukuri di masa lampau memang memikirkan bentuk rumah dengan kondisi alam. Salah satunya adalah semua atap rumah di desa itu menghadap ke timur dan barat. Ini bertujuan salju yang menumpuk segera bisa mencair ketika terkena matahari.

Karena atap menghadap arah matahari, semua ventilasi yang terletak di loteng mengarah ke selatan dan utara. Dengan begitu aliran udara dan angin bebas keluar masuk sehingga menciptakan sistem ventilasi yang terbaik.

Seperti kebanyakan rumah tradisional Jepang lainnya, rumah gassho-zukuri menggunakan kayu. Uniknya, untuk menyatukan antara bagian satu dengan yang lain tidak satupun paku yang digunakan. Semua disatukan dengan tali yang terbuat dari jerami yang dijalin atau neso, istilah untuk menyebut cabang pohon yang dilunakkan.

Warisan Dunia

Sejak Desember 1995 lalu, Shirakawa-go, bersama dua desa serupa di Gokayama, ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh Unesco. Menurut Staf Senior Divisi Promosi Pariwisata Kantor Desa Shirakawa, Tamao Ohzawa, dengan status sebagai warisan budaya dunia itu, warga Shirakawa tidak bisa sembarangan merenovasi rumah mereka. "Pemerintah membuat peraturan untuk mempertahankan kelestarian rumah-rumah di desa ini," jelas Ohzawa.

Peran pemerintah, baik pusat, tingkat prefektur, maupun lokal, sangat diperlukan dalam menjaga warisan leluhur itu. Terutama dalam hal pendanaan. "Pemeliharaan saja sudah cukup mahal," ungkap Ohzawa.

Dia memberi contoh penggantian atap yang harus dilakukan setiap 20-30 tahun sekali. "Biayanya sangat besar dan diperlukan sumber daya manusia yang banyak agar penggantian atap itu bisa dilakukan dengan cepat," kata dia.

Gotong royong

Penggantian atap juga menjadi tradisi tersendiri yang disebut yui. Pada saat itu, pemilik rumah tidak bekerja sendiri untuk mengganti atap karena semua penduduk desa berpartisipasi. Bahkan banyak warga dari luar desa yang mau ambil bagian.

Acara penggantian atap ini juga bisa mendatangkan turis. Para wisatawan asing tidak sekadar menonton, tetapi juga berpartisipasi di dalamnya. Dalam brosur yang dirilis otoritas pariwisata setempat, tertulis kesaksisan seorang warga negara asing yang pernah ikut dalam aktivitas massal itu.

"Orang yang berpartisipasi sedikitnya 200 orang. Memang harus dilakukan dengan cepat, maksimal dua hari harus selesai. Supaya penghuni rumah bisa segera beraktivitas seperti biasa," papar Ohzawa.

Bagi warga Shirakawa-go, tradisi yui yang menunjukkan kebersamaan dan gotong royong itulah yang menyebabkan desa itu masih bertahan hingga kini. Dan nilai-nilai itu juga yang menjadi salah satu poin penting yang menjadikan Shirakawa-go layak berstatus Warisan Dunia.

Kegiatan unik lainnya di daerah ini adalah latihan pemadaman kebakaran yang dilakukan pada bulan November setiap tahun. Pada saat itu, semua semprotan air dibuka untuk menyirami atap.

Indahnya musim dingin

Pemandangan paling terkenal di Shirakawa-go adalah saat malam hari di musim dingin. Saat itu seluruh desa tertutup salju tebal. Begitu juga dengan atap setiap rumah. Cahaya lampu yang muncul dari jendela setiap rumah menciptakan pemandangan yang sangat indah.

Otoritas pariwisata menetapkan tujuh hari tertentu pada bulan Januari hingga Februari untuk menyaksikan pemandangan yang indah itu. Ribuan wisatawan domestik dan mancanegara berbondong-bondong menyaksikannya dari atas bukit.

Dengan arus wisatawan yang terus meningkat, terjadi perubahan pola sosial di desa itu. Penduduknya tidak lagi melulu bertani. Sebagian memanfaatkan keunikan rumah tradisional itu untuk dijadikan penginapan atau toko suvenir.

Salah satunya adalah rumah milik keluarga Suzuguchi Fumie. Perempuan berusia 74 tahun itu menyewakan beberapa kamar di rumah gassho-zukuri-nya untuk wisatawan sejak 1972. Kamar-kamar di penginapan yang dinamai Magoemon itu disewakan dengan tarif 9.800 hingga 10.500 yen, bergantung pada musim.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com