Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memburu yang Lawas di Pasar

Kompas.com - 02/06/2013, 08:42 WIB

Oleh Aryo Wisanggeni, Nur Hidayati, Helena Nababan

KENANGAN soal ”enak” kerap tak sebatas jejak rasa di lidah, tetapi juga kerinduan akan suasana, masa, dan cerita. Suasana, masa, dan cerita kerap kali menuntun langkah kaki ke pasar-pasar tradisional di Solo dan Yogyakarta.

"Kupate sithik wae (ketupatnya sedikit saja),” ujar Kristinawati (57). Yanti (36), si penjual cabuk-rambak di lorong Pasar Gede, Solo, mengiyakan. Ia lalu menaruh lima-enam irisan tipis ketupat di pincukan daun pisang. Saat Yanti menyiramkan adonan bumbu wijen kehitaman ke atas irisan ketupat itu, Kristinawati tersenyum-senyum seperti gemas.

Yanti menaruh karak, atau kerupuk berbahan beras, dan melengkapi racikan cabuk-rambaknya dengan irisan daun jeruk. Pincuk pun berpindah tangan. Tanpa ba-bi-bu, perempuan yang sehari-hari tinggal di Surabaya itu menyantapnya.

”Saya kalau balik ke Solo dan tidak makan cabuk-rambak rasanya ada yang aneh. Ini makanya ke pasar dan pengin merasakan lagi makanan masa kecil saya,” ujarnya sambil mencocolkan karaknya ke adonan wijen. Kenikmatan membayang di wajahnya.

Tampilan dan isi cabuk-rambak sungguh remeh, sederhana. Potongan ketupat, siraman adonan wijen, karak, sudah! Cara Yanti berdagang pun sesederhana dagangannya, cukup ndeprok alias duduk asal di salah satu lorong pasar, di depan salah satu los penjual pakaian. Para pembelinya, termasuk Kristinawati, harus makan sambil berdiri di tengah kegaduhan percakapan pasar yang saling bersahutan.

Sesekali, pemikul barang melintas dan meminta para pembeli cabuk-rambak Yanti minggir. Orang berlalu-lalang tanpa henti, tetapi Kristinawati tetap lahap menikmati jajan pasarnya. Cabuk-rambak tiba-tiba jadi urusan penting setelah ia memutuskan mengikuti suaminya pindah ke Surabaya saat ia berumur 22 tahun. ”Saya sudah 35 tahun tinggal di Surabaya, ya tidak pernah menemukan masakan seperti ini,” ujarnya.

Sejarah panjang

Ada beragam orang yang memburu santapan lezat di pasar-pasar tradisional di Solo dan Yogyakarta. Yati (53), pedagang pakaian di Pasar Pringapus, Semarang, berpuluh-puluh tahun menjadi pelanggan tengkleng Sulistri di gapura Pasar Klewer, Solo. Gara-garanya, tiap dua pekan sekali ia harus ke Pasar Klewer untuk kulakan dagangan.

”Ya, tiap kulakan pasti mampir ke sini,” kata Yati. Ia tak seberapa menghiraukan ajakan bicara, seperti sedikit cemas bakal kehabisan tengkleng Sulistri yang memang biasa tandas dalam waktu satu jam.

”Untingannya masih?” tanya Yati memesan tulang kaki kambing bersumsum yang gurih.

Sulistri mengaduk-aduk panci keduanya, mencari-cari tulang kaki kambing tersisa untuk memenuhi pesanan Yati.

Belum lagi tulang kaki kambing ditemukan, Yati menambah pesanan. ”Itu, itu, campur-campurnya jadikan tiga pincuk, ya. Untingannya juga jadikan tiga pincuk,” kata Yati. Begitu pesanannya terbungkus lengkap, barulah ia mengajak bercanda pembeli lain, bercakap ramah dengan sesama pembeli yang sama-sama berdiri mengantre. Berdesakan mereka mengerumuni panci-panci tengkleng Sulistri yang kosong dengan cepat.

Ia tersenyum bingung saat ditanyai apakah dirinya tahu nama Sulistri, penjual tengkleng langganannya berpuluh-puluh tahun itu. ”Kenal? Ya, hanya kenal wajahlah,” bisik Yati, disusul tawa.

Pasar tradisional di pusat-pusat kekuasaan empat wangsa ahli waris takhta Mataram memang menjanjikan berbagai kuliner ”asli” kawula. Di sekitar pasar, selalu ada warung atau lapak penjual makan yang kondang sejak puluhan tahun, seperti tengkleng Sulistri.

Sari, peracik Gado-gado Bu Hati-Generasi Ketiga, adalah salah satu ahli waris sejarah para penjaja hidangan lezat di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. ”Menulis namanya harus lengkap, ya, pakai ’generasi ketiga’,” ujar Sari menegaskan.

Sari sadar, kini makin banyak pemburu kuliner mendatangi pasar-pasar tradisional, memburu rasa. Ia tahu sejarah panjang yang terwakili kata ”generasi ketiga” bakal memikat orang untuk duduk di warungnya. Dan, setelah orangnya duduk, barulah Sari bisa ”memamerkan” kelezatan gado-gado racikannya.

”Haruslah. Kami ini sudah mencicipi pindah-pindah lokasi jualan, gara-gara pasar dibongkar atau ditata ulang,” kata Sari tertawa. Ia kini merasa nyaman mendapat jatah los persis di seberang los Ratengan Bu Warno, warung penjual empal, abon, dan aneka jeroan sapi yang pernah menjadi langganan Sultan Hamengku Buwono IX.

”Banyak pelanggan Ratengan Bu Warno makan gado-gado di sini. Bisa juga hanya membeli teh atau es buah. Banyak pelanggan saya berbelanja empal, abon, juga ratengan di Bu Warno,” tutur Sari.

Laba gula

Sejak masa Mataram Kuna, selain menjadi tempat memperdagangkan berbagai komoditas, pasar juga menjadi tempat interaksi sosial dan pertukaran informasi. Dengan beragam aktivitas itu, sejak masa itu para pedagang makanan siap saji telah memadati pasar, sebagaimana diurai dalam kitab Sumanasantaka yang ditulis Mpu Monaguna pada masa Kerajaan Kadiri, antara tahun 1042 dan 1222 Masehi.

Kitab itu melukiskan bagaimana orang-orang sibuk bekerja sejak dini hari mempersiapkan dagangan yang berupa makanan yang akan dibawa ke pasar. Mungkin juga di antara makanan yang telah matang itu terdapat berbagai jenis kue jajan pasar karena di dalam prasasti dikenal penganan jajan pasar, seperti dodol, waji, dan ketan (Titi Surti Nastiti, 2003).

Peneliti Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Murdijati Gardjito, memperkirakan, pasar pada masa silam lebih banyak memperdagangkan ternak besar, seperti sapi atau kerbau; peralatan pertanian dari logam, serta umbi-umbian dan bumbu dapur dalam jumlah besar. Makanan siap santap tidak termasuk komoditas utama.

”Itu komoditas utama di pasar masa silam karena kebanyakan rakyat lebih mengandalkan sumber pangannya dari tanaman di pekarangan rumah masing-masing. Di masa itu, rakyat hanya mendatangi pasar jika ingin berbelanja ternak besar, membeli alat pertanian, atau bumbu.

Sejarawan muda, Heri Priyatmoko, menyebutkan, perkembangan warung di pasar tradisional di Surakarta dan Yogyakarta pesat terjadi saat kedua kota menikmati pertumbuhan ekonomi yang didongkrak industri perkebunan. ”Di Surakarta bermunculan tempat-tempat makan di kawasan Pasar Gede dan Keprabon, tempat yang menjadi poros pertumbuhan ekonomi kala itu. Warung yang dahulu jarang ada di pasar tradisional akhirnya bermunculan,” papar Heri.

Banyak orang meramalkan usia pasar tradisional tinggal menghitung hari karena terus digerus ritel kelas kakap. Akankah kenangan yang termuat dalam roti pukis Pasar Gede Solo, brongkos Warung Ijo Bu Padmo di Pasar Turi, Sleman, Yogyakarta, dan beratus warung pasar lainnya menawar ancaman itu?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com