Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mimpi Seorang Pengembara

Kompas.com - 02/06/2013, 14:19 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Catatan Kaki Jodhi Yudono

Tulisan ini merupakan kenangan saya kepada seorang kawan yang pernah datang ke rumah hanya untuk berkenalan dengan membawa satu tas berkas dan foto-foto perjalanan. Lama kami tak ketemu. Saya sendiri tak tahu di mana keberadaannya kini. Semoga Tuhan bersamanya.

Pengembara itu mengetuk pintu rumah saya pada sebuah minggu siang. Ia mengenakan topi mirip pengawal istana Buckingham dan membawa segepok kertas berisi tulisan perjalanannya.
“Eko! Yosep Eko,” ia mengenalkan namanya pada saya.

Debu dan keringat dari tubuhnya segera menyambar hidung saya. Tapi kegembiraan saya menerima kehadiran si petualang yang sudah melibas 24 negara dengan hanya bersepeda, membuat saya abai terhadap semua aroma yang muncul dari dirinya.
“Salam sejahtera buat Anda sekeluarga,” katanya lagi, menyiratkan dirinya seorang Katolik yang soleh.
“Maaf, menggangu…”
“Ah, tidak. Saya justru gembira dengan kehadiran Anda,” jawab saya.
“Puji Tuhan…., puji Tuhan. Semoga kebaikan senantiasa menyertai Anda sekeluarga.”
“Amin,” sahut saya.
“Ya, amin,” balasnya.

Kami duduk saling berhadapan. Oleh karenanya, saya bisa lebih seksama memandangi wajahnya yang keras.  Misai dan cambangnya yang ia biarkan tumbuh liar, membuat tampangnya terkesan sangar.
Setelah menghirup asap sigaret yang saya tawarkan, setelah sedikit berbasa-basi, ia pun mulai bercerita tentang pengembaraannya ke negeri-negeri jauh.

“Cepek! Anda tahu cepek? Ya, seratus perak itulah bekal di saku celana ketika saya akan melaksanakan cita-cita mengelilingi dunia dengan bersepeda pada tanggal 17 Agustus 1987,” katanya membuka kisah.

Lalu sambungnya, “Hm…, rupanya memang tak ada tempat bagi “orang gila” macam saya hidup di negeri loh jinawi tata tentrem kerta rahaja ini. Sebab, mereka yang saya pamiti menjelang keberangkatan berkelana, rata-rata hanya memberi restu berupa surat pengantar, dan doa.”

Dia beralasan, jika dirinya membuka kisah ini dengan perkara uang, harap maklum saja. Sebab  semula, Eko pernah membayangkan dirinya bakal seperti para petualang dunia yang dikabarkan lewat televisi maupun koran.

“Mereka dilepas dengan upacara nan megah. Dikerumuni oleh sanak famili dan handai taulan. Dan sudah pasti, di ransel mereka juga terdapat traveller’s check serta uang kontan yang cukup untuk sebuah perjalanan jauh,” Eko menghela nafas. Agaknya dia kecewa dengan pranata sosial di negeri ini, yang tak memberi tempat bagi cita-citanya melanglang buana.

“Tapi saya? Bahkan Pak De Moejono yang selama ini paling dekat dengan diri saya pun menghalang-halangi supaya saya mengurungkan niat untuk mengembara. Karena dia mengira saya akan mengemis dalam perjalanan nanti. Belum lagi cibiran sinis dari para tetangga, juga ejekan dari tante Pasti Sebayang dan Ketua Seksi Sosial Paroki Bekasi yang dengan sinis mengatakan, ’Eko, lu tabungan nggak punya. Emas kamu juga nggak ada, kok mau mengelingi dunia. Bahasa Inggrismu nggak lancar. Dasar edan! Eko gila! Yosep Eko syaraf. Mustahil! Dasar udah sableng!’ … Tapi semua ocehan itu tak aku dengarkan. Kafilah ini harus tetap berlalu meski anjing menggonggong tak habis-habisnya.”

Maka jadilah pada pagi yang cerah di hari Senin, 17 Agustus 1987 itu, dari Gereja St. Arnoldus, Bekasi, Eko hanya dilepas oleh Pastor Jan Lali, SVD, dengan doa dan lambaian tangan.

“Ya, ya, setelah meyakini bahwa saya hanya seorang anak desa yang tak patut dilepas dengan sebuah upacara yang diliput oleh media–karenanya tak layak berharap akan mendapatkan sponsor berupa uang maupun sarana pendukung lainnya–maka saya putuskan untuk meminta doa sebanyak mungkin kepada mereka yang bersimpati maupun yang pura-pura peduli kepada saya.”

Sabang! Itulah target pertama yang harus dituju Eko. Ia berpendapat, sebelum menyusuri jalanan di negeri orang, ia ingin lebih dulu  membuktikan kehebatan tanah airnya yang selama ini hanya didengar melalui lagu dan cerita guru geografi saat dirinya masih di sekolah dasar.

“Saya ingin membuktikan secara nyata bentangan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang di dalamnya berjajar pulau-pulau. Saya ingin merasakan ’Rayuan Pulau Kelapa’ dengan mata-kepala sendiri.”

Sepeda mulai ia kayuh ke arah barat. Angin santer dari arah timur memperlancar laju sepedanya menuju Jakarta. Gereja Kathedral di Lapangan Banteng sudah di depan mata. Ke sanalah Eko menuju untuk mohon doa restu kepada Mgr. Leo Soekoto SJ yang saat itu menjabat sebagai Usukup Agung Jakarta. Tapi beliau tidak ada.

“Apa boleh buat, meski dengan perasaan kecewa, aku tetap berdoa sendirian di kapel Kathedral. Aku memohon kepada Bunda Maria, ’Kuserahkan tanganku kepadaMu. Dan kuatkanlah kakiku melangkah, untuk melayani sesamaku ya Bunda’. Begitu isi doaku kala itu.”

Jakarta Pusat telah ia lalui. Ketika matahari berada tepat di atas kepala, wilayah Jakarta Barat pun ia jelang. Perut yang pagi tadi cuma diisi nasi dan sayur tempe buatan Bu Lurah Nurmain, pada pukul 13.00 Wib itu mulai keroncongan. Konsentrasinya mulai goyah. “Mau melajutkan tidak ada uang, tidak melanjutkan nanti saya dianggap penipu,” gerutu Eko.

“Sampai di Grogol, perut saya tak lagi bisa diajak kompromi. Tiba saatnya untuk melepas uang seratus rupiah di kantung. Ketika menemukan sebuah Warteg, saya mulai dihinggapi keraguan. Dapat apa uang seratus rupiah? Mungkinkah bisa ditukar sejumlah makanan yang cukup untuk menggantikan tenaga yang sudah terkuras antara Bekasi-Jakarta Barat sejauh kurang lebih 40 kilometer?”

Tuntutan perut, membuatnya jadi nekat. “Andai seratus perak tak cukup, toh saya masih punya t-shirt Suzuki yang belum saya pakai, pemberian sebuah pabrik motor. Setelah menceritakan kondisi saya, pemilik warteg bersimpati melihat sepeda saya yang sangat unik. Tak cuma itu, pemilik warung juga mengagumi semangat saya. Ia pun memberi saya makan gratis. Maka… uang Rp 100 pun masih aman di tempatnya.”

***
Begitulah, hari demi hari Eko menjalani kehidupannya di atas sepeda hasil rancangannya sendiri. Hari berbilang bulan, bulan berbilang tahun, genap sepuluh tahun Eko menyambangi beberapa negara di Asia, Australia, Eropa, dan berakhir di Afrika.

Berpuluh kali maut mengancamnya, mulai dari ban gembos di rimba Sumatera, dihajar petugas keamanan di sebuah hotel lantaran dirinya nekat makan tanpa bayar, dirampok sepedanya, sampai mau dihabisi nyawanya di benua Afrika.

Tapi katanya, tak berbilang pula kebahagiaan yang direguknya sepanjang perjalanan. Pernah menjadi dosen tamu di sebuah Universitas di Korea Selatan, menjadi tamu kehormatan di sebuah pabrik mobil di Jepang, bermain cinta dengan seorang perempuan di wilayah Timur Indonesia, sampai bertemu dengan Sri Paus di Vatikan, Roma.

Tapi percayakah Anda, setelah saya amati dalam-dalam, tak ada jejak-jejak perjalanan besar itu pada dirinya, selain cara bicaranya yang lancar. Kini yang tersisa pada lelaki di hadapan saya, hanyalah mimpi-mimpi irasionalnya mengenai Indonesia.

Sebagai tuan rumah yang harus menghormati tamu, semula saya mengekang hati saya untuk menuruti kemauan dia. Tapi, demi mendengar pernyataannya yang berulang-ulang tentang kemampuan dirinya yang sanggup membenahi Indonesia raya dengan hitungan angka-angka yang amat naif, maka saya pun lalu memintanya untuk berhenti bercerita.

“Maaf, bukankah sudah terlalu banyak orang pintar yang mengurusi negara ini,” kata saya akhirnya.
“Memang, tapi harap Anda ketahui juga, sebagian besar di antaranya adalah koruptor,” katanya.
“Lalu modal Anda apa untuk membenahi Indonesia?”
“Saya akan bicara kepada semua orang, termasuk pejabat di republik ini tentang misi dan visi saya.”
“Bicara kepada siapa saja misalnya?”
“Saya mau bicara kepada Akbar Tandjung, Mas Tommy (Tommy Soeharto-pen), Ginanjar Sasmita, Sutiyoso…”
“Stop, stop…”
“Kenapa?”
“Anda salah alamat jika hendak bercerita soal mimpi Anda itu. Saya bukan orang yang tepat untuk cerita Anda itu.”

Dia tergagap. Barangkali tak menyangka sebelumnya, saya akan berkata terus terang mengenai dirinya.
Ia tampak terpukul. Tubuhnya langsung mungkret di sandaran kursi. Saya lalu mengambil inisiatif untuk mencairkan kembali suasana.

“Maaf, pekerjaan Anda sekarang apa?”
“Jalan-jalan.”
“Sudah berkeluarga?”
“Sudah. Anak saya satu.”
“Kalau boleh tahu, dengan apa Anda mengongkosi keluarga Anda?”
“Istri saya bekerja di sebuah pabrik. Jadi buruh.”
“???”
“Saya kadang mendapat uang dari orang-orang di bus atau kereta yang bersimpati atas cerita saya.”
“Ooo…”
“Kalau tak dapat uang, istri nggak marah?” timpal saya.
“Kalau pas tanggal tua, dia bisa meledak kalau saya gak bawa uang. Semua nama hewan di kebun binatang dia sebut semua untuk saya.”

Diam-diam saya menyesal telah mengorek kehidupan pribadinya sampai sedalam itu.

“Anda mau kan menulis kisah saya ini? Sunguh, ini demi Indonesia, demi republik ini. Saya ingin semua orang tahu bagaimana menyelesaikan krisis di republik ini setelah membaca misi dan visi saya.”
Saya tak langsung menjawab. Saya pandangi wajahnya yang memancarkan permohonan.
“Saya pikir-pikir dulu, deh,” ucap saya mengakhiri perbincangan di siang itu.

Setelah pertemuan pada minggu siang itu, kami bertemu beberapa kali. Semula saya memang berhasrat ingin menulis pengalamannya tapi dengan satu catatan, bahwa saya hanya butuh cerita petualangannya saja. Tak lebih tak kurang.

Tapi rupanya, si pengembara itu tak mau berhenti dengan mimpi-mimpinya. Tiap kali ketemu, ia senantiasa bercerita tentang tekadnya yang ingin membenahi Indonesia.

Akhirnya, saya bilang kepadanya. Barangkali saya tak berjodoh dengannya. Saya terlalu bodoh untuk memahami mimpi dan cita-citanya yang menurut saya cuma bisa dikerjakan oleh seorang “pesulap”.

Sejak itu, kami tak pernah bertemu lagi. Kendati saya menolak untuk menulis kisahnya, tapi jauh di lubuk hati, saya berharap, suatu ketika nanti dia benar-benar mampu mewujudkan mimpi-mimpinya untuk mengubah republik ini menjadi lebih baik. @JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Rusa Jadi Ancaman di Beberapa Negara Bagian AS, Tewaskan Ratusan Orang

    Rusa Jadi Ancaman di Beberapa Negara Bagian AS, Tewaskan Ratusan Orang

    Travel Update
    5 Rekomendasi Playground Indoor di Surabaya untuk Isi Liburan Anak

    5 Rekomendasi Playground Indoor di Surabaya untuk Isi Liburan Anak

    Jalan Jalan
    Pilot dan Pramugari Ternyata Tidur pada Penerbangan Jarak Jauh

    Pilot dan Pramugari Ternyata Tidur pada Penerbangan Jarak Jauh

    Travel Update
    Desa Wisata Tabek Patah: Sejarah dan Daya Tarik

    Desa Wisata Tabek Patah: Sejarah dan Daya Tarik

    Jalan Jalan
    Komodo Travel Mart Digelar Juni 2024, Ajang Promosi NTT ke Kancah Dunia

    Komodo Travel Mart Digelar Juni 2024, Ajang Promosi NTT ke Kancah Dunia

    Travel Update
    Tips Pilih Makanan yang Cocok untuk Penerbangan Panjang

    Tips Pilih Makanan yang Cocok untuk Penerbangan Panjang

    Travel Tips
    Harapan Pariwisata Hijau Indonesia pada Hari Bumi 2024 dan Realisasinya

    Harapan Pariwisata Hijau Indonesia pada Hari Bumi 2024 dan Realisasinya

    Travel Update
    5 Tips Menulis Tanda Pengenal Koper yang Aman dan Tepat

    5 Tips Menulis Tanda Pengenal Koper yang Aman dan Tepat

    Travel Tips
    Turis China Jatuh ke Jurang Kawah Ijen, Sandiaga: Wisatawan agar Dipandu dan Mengikuti Peraturan

    Turis China Jatuh ke Jurang Kawah Ijen, Sandiaga: Wisatawan agar Dipandu dan Mengikuti Peraturan

    Travel Update
    8 Kesalahan Saat Liburan Berkelompok, Awas Bisa Cekcok

    8 Kesalahan Saat Liburan Berkelompok, Awas Bisa Cekcok

    Travel Tips
    Sandiaga Bantah Iuran Pariwisata Akan Dibebankan ke Tiket Pesawat

    Sandiaga Bantah Iuran Pariwisata Akan Dibebankan ke Tiket Pesawat

    Travel Update
    Hari Kartini, 100 Perempuan Pakai Kebaya di Puncak Gunung Kembang Wonosobo

    Hari Kartini, 100 Perempuan Pakai Kebaya di Puncak Gunung Kembang Wonosobo

    Travel Update
    Artotel Gelora Senayan Resmi Dibuka April 2024, Ada Promo Menginap

    Artotel Gelora Senayan Resmi Dibuka April 2024, Ada Promo Menginap

    Travel Update
    Artotel Group Akuisisi Hotel Century Senayan, Tetap Ada Kamar Atlet

    Artotel Group Akuisisi Hotel Century Senayan, Tetap Ada Kamar Atlet

    Travel Update
    Lokasi dan Jam Buka Terbaru Kebun Binatang Bandung

    Lokasi dan Jam Buka Terbaru Kebun Binatang Bandung

    Jalan Jalan
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com