Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yang Jajan dan yang Rumahan

Kompas.com - 09/06/2013, 08:12 WIB

Yayuk juga membekali suaminya makanan dari rumah saat ke kantor. Seperti dirinya, sang suami juga jauh lebih suka bersantap masakan rumah. Perempuan yang juga aktivis lembaga swadaya masyarakat ini selalu menyiapkan masakan untuk keluarga sebelum ia keluar rumah.

”Dapur itu wilayah kekuasaan perempuan. Dapur harus selalu anget, artinya harus selalu ada masakan di rumah. Makan di rumah itu ba- gian dari menghormati perempuan,” ujar Yayuk menuturkan prinsip yang diajarkan orangtua padanya sejak kecil.

”Teman-teman saja juga begitu. Tersinggung rasanya istri atau ibu, kalau sudah disediakan di rumah, eh kok jajan,” ujarnya. Makan di luar rumah, menurut Yayuk, memang bukan sama sekali terlarang. Namun, bukan kebiasaan keluarga. Seingat Yayuk, terakhir kali keluarganya makan di luar rumah adalah saat perayaan Tahun Baru, lima bulan lalu.

Lebih hedonis

Pengajar pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, G Budi Subanar, berpendapat, rumah tangga di Solo dan Yogyakarta memang memiliki cara pandang berbeda soal kebiasaan makan di luar rumah. ”Di Yogya itu dikenal istilah ojo ninggal pawon anget,” kata Subanar.

Artinya, dapur yang ”hangat” oleh masakan di rumah janganlah ditinggalkan. ”Kalau rumah tangga asli Yogya, ada kebiasaan, sebelum pergi, mereka usahakan sudah makan dulu di rumah. Tidak ada budaya makan sekeluarga di luar rumah,” ujarnya menambahkan.

Banyaknya mahasiswa pendatang di Yogya memang mendorong berkembangnya pusat kuliner baru di kota itu. Kafe dan banyak tempat makan di Yogya dipadati anak muda, khususnya mahasiswa. Sebaliknya, di Solo, keluarga—dari kakek hingga cucu—yang bersama-sama bersantap di warung tenda pinggir jalan hingga rumah makan adalah pemandangan jamak.

brongkos

Brongkos Warung Ijo. (Foto: Kompas/Totok Wijayanto)

Bukan tanpa alasan bila dalam urusan jajan, Solo dan Yogya punya gaya berbeda. Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, punya penjelasan untuk itu. Pascaperang Jawa pada 1830, Solo mempunyai akses langsung ke Semarang. Ketika itu, Semarang adalah pelabuhan ekspor-impor dan pintu masuk kawasan pesisir ke pedalaman. Jalan kereta api pada masa itu menghubungkan Solo dan Semarang.

”Solo lebih urban, pendatang lebih banyak di Solo. Orang-orangnya juga punya diferensiasi profesi lebih beragam daripada di Yogya,” ujar Margana. Roda perekonomian di kota itu juga berputar lebih cepat karena pengaruh dinasti Mangkunegaran yang membangun perkebunan dan pabrik gula sejak 1870.

Pada masa itu, bangsawan dan priayi mendapat uang tunai dari menyewakan tanah dan cenderung bergaya hidup hedonis. ”Istana itu seperti kiblat. Apa yang dilakukan kaum bangsawan pasti disalin warganya. Termasuk dalam tradisi makan di luar yang disebut keplek ilat itu,” ujar Margana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com