Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yang Jajan dan yang Rumahan

Kompas.com - 09/06/2013, 08:12 WIB

Oleh Nur Hidayati, Aryo Wisanggeni dan Helena Nababan

Solo dan Yogyakarta sama-sama punya sejarah yang berhulu pada kemegahan Mataram. Namun dalam urusan kuliner, mereka punya cara berbeda. Buat orang Yogya, suasana bersantap terbaik adalah memakan masakan dapur sendiri bersama keluarga. Di Solo, Jawa Tengah, orang suka makan bersama di luar rumah.

Di Solo, tak perlu hari libur atau akhir pekan untuk bersama keluarga menyempatkan makan bersama di luar rumah, entah itu di warung atau rumah makan. ”Keluargaku itu doyan keplek ilat banget,” ujar Atik Faezaty (36). ”Keplek ilat” adalah istilah masyarakat Solo untuk mengungkapkan kegemaran memanjakan lidah (ilat) dengan makan di warung atau rumah makan.

Pada pagi hari, keluarga Atik, misalnya, paling sering jajan di warung soto. ”Kalau malam paling sering bestik daging atau lidah sapi. Bisa juga bakmi atau capcay. Sekarang ini cuma jajan sate kambing yang jarang, mesti diet, jadi paling paling sekali sebulan,” ujar putri keempat dari lima bersaudara.

Rata-rata tiga kali dalam sepekan keluarga ini—terdiri dari ayah, ibu, kakak, adik, saudara ipar, dan keponakan—makan bersama di warung. Meski sama-sama masih tinggal di Solo, keluarga dengan anak-anak yang sudah dewasa ini sebenarnya tak lagi tinggal serumah. Tiap kali akan makan bersama, mereka berkencan berangkat bersama atau bertemu di tempat makan. ”Kalau makan ramai-ramai bisa pesan macam-macam, lalu saling icip,” ujar perempuan yang mempunyai kios batik di Pasar Klewer, Solo, ini.

Selain makan bersama di luar rumah, Atik juga tak jarang membeli masakan untuk dimakan bersama di rumah. ”Kalau dibawa pulang, biasanya jajan ayam bakar atau goreng, sate ayam, selat juga.”

Ketika Yubet (39) dan Nunik (35), dua saudara Atik yang kini tinggal di Jakarta, pulang ke Solo, acara jajan bersama di luar rumah yang biasanya tiga kali sepekan bisa meningkat jadi tiga kali sehari. ”Kalau pulang ke Solo, Nunik dan Yubet selalu bawa daftar panjang mau makan di mana saja. Tiap hari keliling.”

Anna (44), ibu dua anak yang juga seorang pengusaha di Solo, pun menobatkan dirinya ”jago” keplek ilat. Padahal, Anna terampil memasak. Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Begitu kedua anaknya berangkat sekolah, ia bersama suaminya pun berangkat sarapan di warung-warung favorit mereka. ”Tiap pagi, aku dan suami wajib jajan,” ujarnya disambung tawa berderai.

warung-baceman

Sujinten menunggu pelanggan di Warung Baceman Kepala Kambing di belakang Pasar Kolombo, Jalan Kaliurang, Yogyakarta. (Foto: Kompas/Totok Wijayanto)

Pada akhir pekan atau hari libur, barulah Anna membawa dua anaknya ikut ke rumah makan, baik untuk sarapan, makan siang, atau bisa juga makan malam. Menurut Anna, wajib buat orang Solo punya pengetahuan tentang tempat-tempat makan enak di kota mereka. ”Sudah turunan suka jajan. Bapak ibuku dulu juga begitu. Tiap hari libur sekolah, pagi-pagi kami sekeluarga pasti makan di luar,” ujarnya.

Sewa kulkas

Musim liburan di Solo bagi wong Solo, menjadi kesempatan berkeliling dari satu warung ke warung lain untuk memanjakan lidah. Berbeda dengan keluarga Suwarni Angesti Rahayu (61) atau Yayuk di Yogyakarta. Saat anak- anaknya pulang ke Yogya, ia justru harus menambah sewa lemari es harian.

Dua lemari es yang sudah ada di rumahnya tak akan cukup mewadahi bahan dan olahan masakan favorit masing-masing anggota keluarga yang ia masak sendiri di rumah. ”Masing- masing anak punya masakan favorit sendiri. Apalagi sekarang saya juga sudah punya dua menantu dan empat cucu. Tambah banyak macam masakan yang mesti dimasak,” ujar ibu empat anak ini.

Bagi Yayuk, kehangatan keluarga itu ada di meja makan di rumah. Sejak anak-anaknya kecil, ia membiasakan mereka makan bersama di rumah. ”Kalau ada kegiatan sekolah atau kuliah sampai sore, ya tetap pulang dulu ke rumah untuk makan siang,” ujar perempuan asli Yogya ini.

Yayuk juga membekali suaminya makanan dari rumah saat ke kantor. Seperti dirinya, sang suami juga jauh lebih suka bersantap masakan rumah. Perempuan yang juga aktivis lembaga swadaya masyarakat ini selalu menyiapkan masakan untuk keluarga sebelum ia keluar rumah.

”Dapur itu wilayah kekuasaan perempuan. Dapur harus selalu anget, artinya harus selalu ada masakan di rumah. Makan di rumah itu ba- gian dari menghormati perempuan,” ujar Yayuk menuturkan prinsip yang diajarkan orangtua padanya sejak kecil.

”Teman-teman saja juga begitu. Tersinggung rasanya istri atau ibu, kalau sudah disediakan di rumah, eh kok jajan,” ujarnya. Makan di luar rumah, menurut Yayuk, memang bukan sama sekali terlarang. Namun, bukan kebiasaan keluarga. Seingat Yayuk, terakhir kali keluarganya makan di luar rumah adalah saat perayaan Tahun Baru, lima bulan lalu.

Lebih hedonis

Pengajar pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, G Budi Subanar, berpendapat, rumah tangga di Solo dan Yogyakarta memang memiliki cara pandang berbeda soal kebiasaan makan di luar rumah. ”Di Yogya itu dikenal istilah ojo ninggal pawon anget,” kata Subanar.

Artinya, dapur yang ”hangat” oleh masakan di rumah janganlah ditinggalkan. ”Kalau rumah tangga asli Yogya, ada kebiasaan, sebelum pergi, mereka usahakan sudah makan dulu di rumah. Tidak ada budaya makan sekeluarga di luar rumah,” ujarnya menambahkan.

Banyaknya mahasiswa pendatang di Yogya memang mendorong berkembangnya pusat kuliner baru di kota itu. Kafe dan banyak tempat makan di Yogya dipadati anak muda, khususnya mahasiswa. Sebaliknya, di Solo, keluarga—dari kakek hingga cucu—yang bersama-sama bersantap di warung tenda pinggir jalan hingga rumah makan adalah pemandangan jamak.

brongkos

Brongkos Warung Ijo. (Foto: Kompas/Totok Wijayanto)

Bukan tanpa alasan bila dalam urusan jajan, Solo dan Yogya punya gaya berbeda. Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, punya penjelasan untuk itu. Pascaperang Jawa pada 1830, Solo mempunyai akses langsung ke Semarang. Ketika itu, Semarang adalah pelabuhan ekspor-impor dan pintu masuk kawasan pesisir ke pedalaman. Jalan kereta api pada masa itu menghubungkan Solo dan Semarang.

”Solo lebih urban, pendatang lebih banyak di Solo. Orang-orangnya juga punya diferensiasi profesi lebih beragam daripada di Yogya,” ujar Margana. Roda perekonomian di kota itu juga berputar lebih cepat karena pengaruh dinasti Mangkunegaran yang membangun perkebunan dan pabrik gula sejak 1870.

Pada masa itu, bangsawan dan priayi mendapat uang tunai dari menyewakan tanah dan cenderung bergaya hidup hedonis. ”Istana itu seperti kiblat. Apa yang dilakukan kaum bangsawan pasti disalin warganya. Termasuk dalam tradisi makan di luar yang disebut keplek ilat itu,” ujar Margana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com