Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lovina, "Sarapan" Bersama Lumba-lumba

Kompas.com - 10/06/2013, 10:05 WIB

”Ngiring lunga ka Lovina yukti asri apik muah sutrepti,

Lovina ngulangunin ombake ring pesisir makidung....”

(Ayo pergi ke Lovina yang asri dan tertib. Ombaknya bergulung-gulung bak nyanyian di tepi pantai).

Lagu pop Bali ”Lovina” karya I Gde Dharna itu tak sekadar nyanyian. Kawasan Lovina di pesisir utara Bali itu memang memiliki keindahan pantai nan tenang, pemandangan bukit, serta ikan-ikan hias di taman lautnya. Ayu Sulistyowati

Lumba-lumba setiap pagi menari di lautan, kawasan Pantai Binaria, Desa Kalibukbuk, yang tiada duanya di Pulau Dewata. Pantai ini menjadi ikon utama pariwisata Kabupaten Buleleng. Hal itu dibuktikan dengan patung lumba-lumba yang diresmikan Gubernur Bali Ida Bagus Oka pada 24 Desember 1998.

Bagai merpati yang tak pernah ingkar janji, belasan lumba-lumba dengan kulit kehitaman muncul tenggelam menyapa wisatawan setiap pukul 06.0008.00. ”Mereka tak pernah tak muncul. Meski terkadang jauh dan cepat, dolphin (lumba-lumba) selalu menampakkan diri. Tak ada pawang yang mendatangkannya. Jadi, harus lincah mencari dan mengambil gambarnya,” ujar Kapten Kadek Budiasa, Minggu (2/6/2013), di atas kapal yang mengantarkan wisatawan ”memburu” lumba-lumba.

Sesekali Budiasa berteriak sambil menunjukkan kepada empat tamunya yang diantar untuk melihat lumba-lumba. Beberapa lumba-lumba tiba-tiba muncul tidak jauh dari kapal.

Atraksi wisata

Lumba-lumba ini pada awalnya ditemukan nelayan yang mencari ikan setiap hari sekitar tahun 1980. Mamalia laut, yang juga sering disebut warga sebagai ikan, ini dikenal bersahabat dengan manusia. Karena muncul setiap hari, warga sekitar Lovina pun menjadikannya sebagai atraksi kepada wisatawan yang menginap di kawasan itu. Pengelola penginapan selalu membangunkan tamunya sekitar pukul 05.00 untuk menjumpai lumba-lumba.

Deretan kapal wisata berbaris menunggu tamu datang. Setiap tamu mendapatkan pelampung sebelum menaiki kapal. Jika kegiatan melihat lumba-lumba itu dipesan melalui hotel, tarifnya Rp 120.000 per orang. Tamu yang datang langsung tanpa perantara hotel tetap dilayani dengan tarif lebih murah.

Setengah jam perjalanan ke tengah laut yang diduga lumba-lumba akan muncul, kapten akan mematikan mesin motor jukung. Tak lama, beberapa wisatawan akan berteriak, ”Look... look, dolphin... Oh, beautiful (lihat... lihat, lumba-lumba. Oh, cantiknya).” Mereka yang sebagian besar wisatawan mancanegara senang melihat lumba-lumba berenang meski hanya sekejap, menghilang, dan muncul lagi di tempat berbeda.

Kapten merupakan sebutan bagi pengantar tamu khusus untuk melihat lumba-lumba. Menjelang pukul 08.00, kapten menawarkan pemandangan lain sebelum kembali menuju pantai.

Taman laut menjadi pilihan setelah menyaksikan lumba-lumba. Keindahan alam bawah laut, batu karang, dan ikan hias merupakan sajian yang berbeda. Tarifnya Rp 150.000 per kapal untuk menyaksikan taman laut itu. Kapten selalu membekali diri dengan beberapa roti.

”Sobek kecil-kecil saja rotinya, lalu lempar. Ikan-ikan hias bakal muncul,” ujar Budiasa, menggunakan bahasa Inggris sederhana kepada tamu asingnya.

Air laut di kawasan itu cenderung kehijauan. Setelah roti ditebar, beragam ikan hias bermunculan. Sekitar pukul 09.00, tamu diantarkan pulang.

Cinta Indonesia

Asal-usul nama Lovina untuk kawasan wisata itu tidak ada referensi yang pasti. Konon, nama ini diberikan Raja Buleleng, yang juga seorang pujangga, Anak Agung Panji Tisna, seusai berkunjung ke India pada tahun 1950. Dia bercita-cita, tempat kelahirannya yang saat itu adalah ibu kota Bali ramai dikunjungi turis dari seluruh penjuru dunia. Lahirlah kata Lovina berbarengan dengan berdirinya pondokan (penginapan) milik Panji Tisna yang juga bernama Lovina pada tahun 1953.

I Gde Dharna, sastrawan dan pencipta lagu daerah Bali, membenarkan cerita itu. Ia adalah satu saksi hidup dari kisah itu. ”Lovina memang dimaksudkan agar Buleleng dikenal banyak orang. Saat itu belum ada temuan lumba-lumba. Murni alamnya memang indah sehingga beliau (Panji Tisna) serius untuk memajukan tanah kelahirannya,” ujarnya.

Lovina dimaknai sebagai gabungan kata love (cinta) dan ina (Indonesia), yaitu cinta Indonesia. Lewat rekan Panji Tisna dari luar negeri, Lovina menjadi dikenal. Tahun 1960, ibu kota Bali berpindah dari Singaraja (Kabupaten Buleleng) ke Denpasar. Gubernur Bali Ida Bagus Mantra melarang pemakaian kata Lovina karena bahasa Bali tak mengenal huruf ”v”. Pemerintah saat itu mengharuskan promosi pariwisata di kawasan itu bukan untuk Lovina, melainkan Buleleng.

Namun, Lovina tak bisa dilupakan. Wisatawan asing lebih mengenal Lovina, bukan Buleleng atau Singaraja. Pada 1980, Pemerintah Provinsi Bali membolehkan kembali pemakaian nama Lovina. Dharna pun menciptakan lagu berjudul Lovina untuk mengenang Panji Tisna.

Pada tahun 2012, wisatawan yang berkunjung ke Lovina tercatat 10.504 orang, yang terdiri dari 7.651 turis asing dan 2.853 wisatawan domestik. Puluhan hotel berbintang dan melati pun kini berjajar di kawasan itu.

Salah satu hotel, Melka Excelsior, memelihara lima lumba-lumba dan rutin menggelar atraksi.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng, Ketut Warkadea mengatakan, keberadaan lumba-lumba itu belum diteliti secara pasti. (Ayu Sulistyowati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com