Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terima Kasih, Lumba-lumba...

Kompas.com - 11/06/2013, 13:59 WIB

KETUT Ranti (38), ibu dua anak warga Desa Kalibukbuk, Kabupaten Buleleng, Bali, menjemput para tamu yang turun dari jukung seusai menyapa lumba-lumba di Pantai Binaria, Minggu (2/6/2013) pagi. Kedua tangannya menjinjing kotak kayu serupa nampan yang berisi kalung, gelang, dan giwang yang disebutnya sebagai suvenir. Cendera mata yang dimaksud berupa gelang dan kalung berhiaskan lumba-lumba.

"Souvenir, ma’am...! Souvenir, sir...!” teriak Ranti sambil berjalan di samping dua tamu asal Taiwan.

Ia coba merayu. Sayang, dua tamu itu tak terarik membelinya. Ranti pun segera mencari tamu lainnya.

Pergi Ranti, datanglah Ketut Sari (40), mendekati dua tamu Taiwan tadi dengan menjajakan barang serupa.

Hal serupa dilakukan perempuan-perempuan lainnya. Ini menjadi pemandangan pagi di sepanjang pantai setelah tamu menonton lumba-lumba. Selain itu, menjelang sore ketika tamu-tamu sekadar berjalan menikmati panorama pantai.

Namun, ini menjadi andalan Ranti dan Sari yang berdagang suvenir di sekitar Pantai Binaria selama sekitar 20 tahun. Perkembangan tamu yang datang dan tertarik melihat lumba-lumba di tengah laut setiap pagi menjadi motivasi kaum hawa berjualan aneka kalung, gelang, dan anting.

Jumlah pedagang suvenir pun menjamur dengan kotak yang isinya sama. Pendapatan para perempuan ini beragam setiap hari, mulai dari Rp 50.000 hingga lebih dari Rp 200.000 per hari. Bahkan, cuma tangan kosong alias apes per hari juga sering mereka alami.

Menjamurnya pedagang suvenir ini seiring menjamurnya jukung-jukung pengangkut tamu wisata lumba-lumba. Setiap pagi, jumlah jukung berangkat bisa mencapai 50 kapal. Jika musim ramai, seperti liburan sekolah atau musim liburan orang Eropa, jukung yang berbarengan menuju tengah laut bisa mencapai lebih dari 100 kapal.

Satu jukung maksimal memuat lima tamu dengan satu kapten (sebutan untuk pengendali kapal dan pendamping tamu). Pada musim ramai, sekitar 500 orang bisa beramai-ramai menyapa lumba-lumba sepanjang pukul 06.00-08.00.

Suasana masih remang-remang ketika sekitar pukul 05.00 para kapten kapal menyambut para wisatawan. Salah satunya Kadek Budiasa (31), warga Kalibukbuk yang telah sekitar 14 tahun menjadi kapten. Ini menjadi pekerjaan utamanya setiap pagi. Pada siang hari ia juga berupaya mencari tamu-tamu untuk keesokan harinya.

Ia mendapatkan komisi dari ketua organisasi (sebutan bagi para pemilik kapal) senilai Rp 40.000 per orang dari hitungan Rp 50.000 per orang karena Rp 10.000 diberikan kepada organisasi. Maksimal lima penumpang setiap pagi, Budiasa pun mengantongi Rp 200.000 per hari.

Andaikan penumpangnya berkenan diantar menuju taman laut dengan tambahan bayaran Rp 150.000 per kapal, ia mendapat tambahan pendapatan senilai Rp 80.000. Sebanyak Rp 20.000 disisihkan untuk membeli bensin 4 liter dan Rp 50.000 untuk organisasi.

"Ya, lumayan setiap harinya. Apalagi saya hanya lulusan SMP. Kapten kapal menjadi pekerjaan utama untuk menghidupi anak dan istri. Tanpa lumba-lumba, saya kerja apa?” ujar Budiasa.

Harga-harga itu sudah menjadi kesepakatan semua organisasi dan kapten. Jika ada kapten melanggar dengan menjual kurang dari Rp 50.000 per orang, sanksinya adalah skors selama satu bulan.

Bisnis langgeng

Organisasi pun bertambah, begitu pula jumlah jukung. Harga jukung belakangan ikut mahal. Satu jukung baru dihargai Rp 30 juta. Enam bulan lalu, harganya masih Rp 18 juta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com