Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bunga Pagi-Sore dan Tongkat Bung Karno

Kompas.com - 13/06/2013, 10:17 WIB

PERGINYA Ketua MPR Taufiq Kiemas, Sabtu (8/6/2013) malam, seolah isyarat sejarah tentang Pancasila sebagai bunga pagi-sore. Bunga pagi-sore ialah bunga yang mekar di pagi hari dengan indah dan wangi semerbak dan menguncup layu di senja hari. Bunga indah yang dilupakan.

Almarhum Taufiq Kiemas meninggal setelah mengikuti peringatan Hari Kelahiran Pancasila, sekaligus peresmian Monumen Bung Karno di Ende pada 1 Juni 2013 bersama Wakil Presiden Boediono. Tokoh politik dan negarawan suami dari mantan Presiden Megawati Soekarnoputri itu kelelahan dan kemudian dirawat di Singapore General Hospital, Singapura. Di Ende, sebagaimana Bung Karno, mertuanya yang merenungkan dan menggali Pancasila, Taufiq Kiemas meneriakkan lagi, bangsa ini harus kembali ke empat pilar berbangsa: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Itu sebabnya kepergian Taufiq Kiemas seolah menggenapi isyarat zaman bahwa negeri ini benar-benar harus merenungkan kembali empat pilar berbangsa sebagaimana dahulu dirumuskan Bung Karno.

Lebih dari setahun lalu, 3 April 2012, kami menemukan fakta baru tentang Bung Karno. Founding father Indonesia yang karismatis itu ternyata memiliki dua tongkat yang menemaninya dalam pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda selama empat tahun di Ende, 1934- 1938. Bung Karno memiliki tongkat berkepala monyet dan tongkat berkepala rotan berpilin. Tongkat monyet kayu yang masih gilap itu berdiameter sekitar 3 sentimeter, hampir sama dengan tongkat berkepala rotan.

Syafruddin Pua Ita (30) alias Udin, juru pelihara situs bekas Rumah Pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, kota Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), bercerita tentang kedua tongkat itu. Tongkat monyet selalu dibawa Bung Karno saat pejuang kemerdekaan Indonesia itu berjalan-jalan dan bertemu dengan masyarakat di dalam kota. Saat ke luar kota, misalnya saat bersama konco-konconya penduduk Ende pesiar dan berenang di Sungai Nangaba, sekitar 8 kilometer dari kota Ende, Bung Karno selalu membawa tongkat berkepala rotan berpilin.

Rupanya timbul cerita di kalangan penduduk tua di sana perihal dua tongkat yang kini disimpan di museum Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende itu. ”Tongkat monyet itu dibawa Bung Karno kalau jalan- jalan di kota Ende. Saat bertemu dengan orang Belanda, dia mengacungkan gagang monyet itu. Belanda monyet!” kata Udin sambil tertawa. Sedangkan saat mengelilingi dan mengatur desa, Bung Karno menggunakan rotan yang berpilin. Konon rotan berpilin bermakna keharusan tetap merangkul dan menjalin persaudaraan dan ikatan kebangsaan. Menurut Udin, cerita itu didengarnya langsung dari orang-orang tua teman Bung Karno dulu.

Betapa eloknya warisan Bung Karno dengan dua tongkatnya yang dipajang di bufet kaca di rumah sederhana berukuran 9 x 12 meter itu. Dikucilkan dari masyarakat Hindia Belanda di Jawa dalam masa pergerakan di Bandung, Bung Karno ”terpenjara” di Pulau Flores bersama istrinya, Inggit Garnasih, putra angkat mereka, Ratna Djuami (Omi), serta mertua perempuan Bung Karno, Ny Amsi.

Kembang pagi-sore

Nasionalisme dan wacana kebangsaan di negeri ini seperti kembang pagi-sore, timbul-tenggelam, bagai datang dan perginya rombongan turis di situs-situs sejarah Bung Karno itu. Bersama kehadiran situs monumental Taman Pancasila (yang lalu diresmikan menjadi Monumen Bung Karno karya pematung Jakarta, Hanafi) serta situs Makam Ibu Amsi, semuanya di Ende, tiga peninggalan Bung Karno itu sebenarnya menjadi magnet wilayah Indonesia timur.

Saat menjenguk rumah Bung Karno yang terkunci pagarnya, serombongan turis dari Jakarta turun dengan bus besar mereka. Entah karena apa, atau karena tak mau menunggu Udin membuka pintu pagar dan pintu rumah itu, 15 turis tersebut hanya berfoto-foto di depan pagar dengan riuhnya. Sekejap kemudian mereka menghilang.

Memang ada usulan untuk Udin, petugas penjaga. Kalau saja Udin dan keluarga Bung Karno di Jakarta mengizinkan pengunjung membaca atau memfotokopi enam naskah sandiwara yang ditulis Bung Karno selama di pengasingan, pengunjung akan memperoleh kegirangan baru.

Naskah sandiwara yang sudah kumal dan berjamur itu selama ini hanya dipajang, tetapi tak boleh dibaca atau dikopi sama sekali. Andai teks sandiwara itu terbuka seperti Google, publik kemudian akan tahu gagasan nasionalisme dan uraian Bung Karno tentang perjuangan kemerdekaan di awal-awal masa kebangkitan bangsa Indonesia.

Naskah itu, antara lain Dokter Setan, Kut Kut Bi, Aerodinamit, Anak Haram Jadah, Anak Iblis, dan sandiwara berdasarkan cerita rakyat Rendo Rate Rua, akan menjadi tapal penanda nasionalisme dari wilayah NTT. Adapun pergulatan perenungan hingga rumusan Pancasila oleh Bung Karno, yang konon renungannya terjadi di bawah pohon sukun di pinggir pantai Ende, layak dianggap sebagai mercusuar besar wilayah timur Indonesia.

Sekitar pukul lima sore ketika rombongan menteri yang kami ikuti meninggalkan lokasi situs pohon sukun, tempat Bung Karno sering berkontemplasi di pinggir pantai, kami memperoleh kejutan. Tidak ada orang di sana kecuali angin sejuk segar yang datang dari pantai. Mendadak terdengar suara di belakang kami, ”Sedang mencari Bung Karno, ya?”

Saya berbalik, dan seseorang dengan baju koko putih dan kopiah hitam tersenyum dengan misainya yang lebat. ”Bapak mencari Bung Karno?” katanya mengulang pertanyaannya lagi. Karena tidak mengenal sosok itu dan pertanyaan tamu yang mendadak muncul itu ”menembak” saya dengan dugaannya, saya pun menjawab dengan menembak balik dia. ”Maaf, kok, Bapak mengetahui kalau saya mencari Bung Karno...? Apa karena saya memegang daun sukun ini?”

Jawaban saya membuat orangtua itu merasa ”cocok” dan berhamburlah celotehnya. ”Nanti malam masih tinggal di Ende atau tidak? Jangan pulang dulu. Nanti malam saya ajak ketemu Bung Karno di sini kalau Bapak mau,” kata bapak tua itu tanpa ragu sedikit pun.

”Wah, menarik sekali. Masak sih ketemu Bung Karno di sini?” kata saya mengejar buntut cerita.

”Ooo, Bapak tidak tahu. Sering kali saya jumpa Bung Karno di sini. Maka, kalau Bapak belum pulang nanti malam, saya tunggu di sini di bawah pohon sukun, jumpa Bung Karno,” kata bapak tua itu tanpa memaksa.

Senja sudah gelap. Dan pilihan mengakhiri pertemuan yang mendebarkan itu harus segera saya ambil. ”Aduh, Bapak, terima kasih sekali Bapak menawari saya ke sini. Tapi saya harus melanjutkan jalan dengan rombongan saya. Saya mohon diri,” kata saya. Orang tua itu mengiyakan dan menyalami saya yang meninggalkan lapangan yang sunyi itu sambil menenteng selembar daun sukun.

Di rumah, istri dan anak saya bertanya tentang selembar daun sukun yang kini kering itu. Saya ceritakan lagi panjang lebar bahwa warga Ende di Pulau Flores punya memori indah dengan Bung Karno, antara lain lewat Pancasila dan pohon sukun. Saat dibuang di Ende, Bung Karno juga menjadi kawan anak-anak muda. Anak-anak sekolah diajarinya bermain sandiwara dan sejumlah naskah sandiwara Bung Karno dipentaskan pula di sebuah gedung sekolah di Ende.

Kian bangkrutnya wacana kebangsaan saat ini hanya sebagian kecil dari sejumlah besar masalah nasionalisme Indonesia yang saat ini benar-benar berada di ambang tapal batas. Berbagai konflik etnis, konflik politik terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah, konflik hak atas tanah ulayat, konflik perburuhan, konflik antaragama, dan berbagai masalah kemiskinan dan kemunduran bangsa Indonesia tak bisa lagi ditunda penanganannya. Jangan lagi dibelokkan hanya karena kepentingan politik praktis jangka pendek.

Bagi penduduk perbatasan Entikong di Kalimantan Barat, atau Temajuk di Kalimantan Timur, atau di Belu, Kabupaten Belu, perbatasan Timor Leste, dan lain-lain, nasionalisme dan kecintaan sebagian orang di sana kepada negara dan bangsa sudah merosot sebatas soal mengisi perut. Kartu tanda penduduk (KTP) dan paspor saja terbukti tidak memengaruhi tenaga kerja Indonesia yang terus berbondong menyusup secara ilegal ke Malaysia dan negeri lain untuk menyambung hidup. Bukan lagi ”sekadar” mencari penghidupan, tetapi justru hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Renungan tentang tongkat Bung Karno dan pohon sukun dari Ende di awal tulisan ini dimaksudkan untuk mencatat kembali, bagaimana dasar negara Pancasila dan negara-bangsa ini susah payah dibangun dan didirikan. Di sisi lain, semoga Ende di Pulau Flores itu, sebagaimana wilayah-wilayah lain di luar Jawa yang ”kerlap-kerlip” saking jauhnya, tetap menjadi perhatian dan agenda penyejahteraan masyarakatnya oleh pemerintah pusat yang lagi berkuasa ataupun para pemimpin berikutnya negeri ini. (Hariadi Saptono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com