SEJAK fajar menyingsing, jubelan orang berpakaian adat Minangkabau memenuhi kediaman Sutan Riska Tuanku Kerajaan, penerus Kerajaan Kuto Basa di Nagari Sungai Rumbai, Kecamatan Sungai Rumbai, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Mereka adalah perwakilan penerus sejumlah kerajaan di Sumatera Barat yang menginduk pada Kerajaan Pagaruyung, termasuk sejumlah tokoh dari Jambi dan Riau. Hari itu, akhir Mei lalu, mereka mengikuti prosesi adat maungkai sumpah mambukak kabek atau membuka ikatan sumpah. Sumpah ini sempat membuat keturunan kaum dari Kerajaan Pagaruyung dan Kuto Basa tidak bisa saling mengunjungi selama lebih dari 300 tahun terakhir.
Ahli waris Kerajaan Pagaruyung, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung atau Raudha Tahaib, mengatakan, sumpah itu diucapkan kakak beradik Sutan Syah Alam dan Tuan Puti Reno Langguak yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung.
Perkiraan sumpah itu terucap pada masa Sultan Ahmad Rihayat Syah sekitar abad ke-17. Sumpah itu pertama kali diucapkan Syah Alam karena Puti Reno Langguak yang mengembara ke Kuto Basa menolak ketika diajak kembali ke Pagaruyung. Adapun Puti Reno Langguak terpaksa mengembara karena masygul mendapati dirinya dikucilkan dari wilayah kerajaan karena mengidap kusta.
Sumpah itu berbunyi: kalau adiak indak namuah pulang ka pagaruyuang, rupo sawah indak kamanjadi, taranak indak bakambang biak, ka ba ayam kuau, ka ba kambiang kijang, ka ba tabu manau. Katurunan disiko nan padusi pulang ka pagaruyuang, mati sakik paruik (kegagalan mengupayakan pertanian dan peternakan di Kuto Basa dan kematian bagi keturunan perempuan dari Kuto Basa jika berkunjung ke Pagaruyung).
Puti Reno Langguak kemudian membalasnya dengan ucapan, baitu juo sabaliknyo pado tuanko, kalau kasiko mati sakik paruik (ancaman kematian bila ada keturunan laki-laki dari Pagaruyung yang berkunjung ke Kuto Basa).
Berbalas pantun, menyalakan sedikit kemenyan sebagai wewangian semata, dan saling mencipratkan air dari ikatan dedaunan mengawali prosesi itu. Rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan ditanamnya sebuah kepala kerbau di Nagari Koto Basa. Dibuang pula peralatan untuk prosesi di Batang (Sungai) Baye di Nagari Koto Basa. Disusul ziarah kubur di wilayah nagari yang sama.
Selama prosesi, nyaris tidak ada perlakuan istimewa untuk pejabat pemerintah. Posisi duduk mereka dalam majelis, bahkan berbeda harkat kedudukan yang disimbolkan berada dalam jenjang panggung, lebih rendah dengan keluarga kerajaan.
Eksistensi Nusantara
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.