Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/06/2013, 14:08 WIB
Oleh Budi Suwarna

Sepasang roti buaya mengiringi sepasang manusia yang baru saja mengikat janji sehidup semati. Begitulah, roti buaya wajib hadir dalam prosesi perkawinan adat Betawi. Pertanyaannya, mengapa harus buaya?

Pagi yang tenang awal Mei lalu di kompleks Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta tiba-tiba pecah oleh suara dar-der-dor petasan. Itulah tanda bahwa pengantin pria akan datang menemui pengantin wanita yang menanti di pelaminan. Pengantin pria bernama Hadits mengenakan baju pengantin Betawi berupa jubah, penutup kepala, dan kacamata hitam. Kedua telapak tangannya menangkup di dada, dan di ujung jarinya terselip sekuntum mawar merah.

Pengantin pria itu diiringi keluarga dan beberapa laki-laki yang berperan sebagai centeng. Di barisan berikutnya, dua anak muda berjalan membawa sepasang roti buaya berpita yang panjangnya sekitar satu meter. Rombongan itu bergerak perlahan seturut irama rebana.

Di depan pelaminan, tiba-tiba empat orang centeng mencegat dan membentak. ”Ade apaan tepak-tepok? Jauh-jauh Rawa Buaya lebih jauh Rawa Kemiri. Ini ade ape datang kemari?” teriak centeng dari pihak pengantin perempuan.

Pantun dibalas pantun. ”Kayu papan kayu kemiri, saya datang nganterian pengantin pria ke sini,” balas centeng pengantin pria.

”Enak amat mau duduk di pelaminan begitu aje. Langkahin dulu mayat gue.” Main pukul pun terjadi. Berbagai jurus silat dikeluarkan. Singkat cerita centeng pengantin pria menang. Tinggal satu syarat yang harus dipenuhi pengantin pria, yakni mengaji.

”Bang Hadits pasti bisa. Dia itu udah lewatin banyak pondok,” centengnya Hadits berkoar.

”Pondok pesantren maksudnye?”

”Bukan! Pondok Ranji, Pondok Indah, Pondok Kopi.”

Para tamu yang hadir pun tertawa. Prosesi palang pintu itu berakhir dan Hadits bisa duduk di pelaminan bersama istrinya, Intan.

Begitulah perkawinan adat Betawi. Prosesi palang pintu tidak selalu ada dalam perkawinan adat Betawi, tetapi sepasang roti buaya wajib ada. Apa maknanya?

Tokoh senior Betawi, Irwan Syafi’i (81), menjelaskan, roti buaya adalah simbol kesetiaan. Menurut cerita orang tua dulu, buaya itu dikenal hewan yang setia kepada pasangannya. ”Benar atau enggak, saya enggak tahu, kan, saya enggak pernah piara buaya.”

Selain kesetiaan, kata Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, roti buaya juga jadi simbol penjaga kehidupan. Orang takut mengganggu sumber air seperti kali dan rawa karena di sana ada buayanya.

Sejumlah sumber yang diwawancarai tidak bisa memastikan sejak kapan roti buaya hadir dalam prosesi perkawinan adat Betawi. ”Yang jelas sejak saya kecil, kawinan Betawi udah pakai roti buaya,” ujar Irwan yang lahir tahun 1932.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com