Oleh Ahmad Arif & Budi Suwarna
Perjalanan mengikuti Edi Petor (42) berburu ikan gabus ibarat ziarah ke Jakarta tempo doeloe. Kami menyusuri jalanan tanah, rawa-rawa, sawah, dan sungai yang airnya mengalir deras dan masih dihuni ikan gabus, belut, dan betok.
Matahari baru terbit, mengusir kabut di Ciseeng, Bogor. Edi Petor dan asistennya, Arif (38), menyiapkan peralatan berburu gabus berupa sebuah kotak baterai yang terhubung kabel ke tongkat kayu berujung besi. Ia mencoba tombol sakelar dan api pun memercik di ujung tongkat itu. ”Semua udah siap, kite berangkat sekarang,” kata Edi dengan logat Betawi kental.
Sejurus kemudian, Edi melaju di atas motor tua yang suara knalpotnya memekakkan telinga. Arif membonceng sambil membawa peralatan berburu ikan gabus (Channa striata) yang biasa hidup di rawa-rawa, sawah, dan sungai. Ikan jenis predator itu sulit dibudidayakan.
Motor itu bergerak menyusuri jalan-jalan kampung yang bermuara di Jalan Raya Ciseeng. Sepagi itu, jalan telah ramai. Truk, sepeda motor, dan mobil pribadi berlomba membelah jalan yang sempit. Di Desa Cidokom, Gunung Sindur, motor berbelok ke arah jalan berbatu yang diapit petak-petak sawah dan ladang yang baru saja diuruk untuk proyek perumahan.
Sepeda motor yang dikendarai Edi semakin jauh menyusuri jalanan tanah hingga ke ujung Desa Cidokom. Dia lalu memarkir kendaraannya di warung kopi langganan. Dari situ, dia berjalan kaki menyusuri pematang sawah yang tanaman padinya masih hijau.
Di ujung persawahan, Edi dan Arif tiba di tepi sungai yang airnya mengalir deras. Mereka turun dan membiarkan diri terendam air hingga pinggang. Edi mengamati air sungai yang mengalir tenang beberapa detik, lantas mulai mencelupkan tongkat setrumnya ke ceruk-ceruk di dinding sungai.
Namun, ikan gabus yang ia cari belum kelihatan. Baru pada penyetruman kelima, seekor ikan gabus kelojotan dan pingsan. Edi menyerok gabus sepanjang 15 cm dan memasukkan ke dalam jeriken berisi air yang dibawa Arif. ”Ikannya enggak boleh sampai mati. Kalau mati, enggak laku dijual,” kata Edi.
Hampir setengah jam, Edi dan Arif berendam di anak sungai itu. Baru dua ekor gabus ukuran kecil yang mereka peroleh. Mereka memutuskan berpindah ke sungai lain. Kami mengikuti keduanya yang berjalan beriringan menyusuri pematang sawah dan melompati saluran irigasi.
Begitu tiba di Bendungan Jeletreng, Desa Kaki Tapak, tiba-tiba, seorang lelaki paruh baya yang tengah menguras kolam ikan datang mendekat dan bertanya kepada kami. ”Mau ngukur tanah ya Pak? Emang kapan mau ngebangun?” katanya. Rupanya dia mengira kami pegawai perusahaan kontraktor yang telah memborong tanah di sana.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.