Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semalam di Baduy

Kompas.com - 07/07/2013, 12:52 WIB

Tapi ditolak polisi mengharuskan saya bergerak lagi menembus pekatnya malam di perkebunan sawit. Katanya kawasan itu rawan kejahatan, saya pasrah saja dan terus mengayuh. Sekitar lima kilometer berjalan, saya tiba di SPBU Desa Parung Sapi pukul 20.30. Keramahan petugas dan musala kecil SPBU itu cukuplah menjadi pelabuhan untuk meluruskan badan.

Tidur malam itu tak cukup nyenyak karena badan habis dikerubuti nyamuk. Baru pukul 03.00 saya bisa terlelap. Namun tidur singkat itu sudah cukup memulihkan badan untuk melanjutkan perjalanan. Segera saya benahi matras, sleeping bag, dan mengepaknya di sepeda. Pukul 6.30 saya tinggalkan SPBU Parung Sapi menyusuri aspal mulus ke arah Jasinga lalu berbelok kiri ke arah Haurgajrug.

Selepas Jasinga, jalan mulai mendaki menyusuri punggungan besar, terkadang turun ke lembah untuk berpindah punggungan. Puncak perbukitan menghijau di kejauhan. Langit biru cerah berlukiskan guratan awan putih tipis. Kesegaran pagi hari itu menambah semangat menekuni kontur bumi.

Haurgajrug terletak di dataran rendah yang dikelilingi perbukitan. Untuk mencapainya dan keluar dari sana pasti menghadapi tanjakan-tanjakan yang aduhai. Setidaknya dua atau tiga tanjakan sepanjang 1-2 kilometer membuat ban depan sepeda sampai terangkat-angkat, yaitu setelah Desa Cipanas dan menjelang masuk serta keluar dari Desa Muncang.

Lalu lalang kendaraan terhitung sedikit dengan interval 3-5 menit. Itupun kebanyakan yang lewat sepeda motor. Ada saatnya saya hanya ditemani nyanyian serangga hutan dan desau angin yang menyapu dedaunan. Di langit, lengkingan elang mengirim pesan soal keasrian hutan perbukitan di kawasan itu. Menyenangkan sekali bersepeda di kawasan ini.

Di simpang Cisimeut, saya berbelok kiri dan meluncur sepanjang tiga kilometer hingga sampai di Jembatan Kuning yang termasyhur dan menjadi pembuka cerita ini. Jembatan hanya bisa dilalui satu mobil dan hingga kini kondisinya masih terawat baik.

Tepat tengah hari saya sampai di puncak tanjakan Ciminyak dan berhenti untuk mendinginkan badan yang panas sekaligus memasak perbekalan. Saya sempatkan tiduran di tengah hutan, menikmati sejumput kemerdekaan. Sekitar satu jam berhenti, saya  lalu meluncur turun sampai di Desa Ciboleger, batas dunia luar dengan perkampungan Baduy.

Sepeda saya titipkan di sebuah warung di Terminal Ciboleger karena semua jenis kendaraan tidak boleh masuk perkampungan Baduy. Saya lalu menumpang di rumah Pak Sarip, warga asli Baduy yang tinggal di Kampung Kaduketug. Kebetulan ia tahu banyak dan bangga betul pada tradisi adat istiadat kaumnya. Siang itu mereka sedang gotong royong membangun imah Baduy (rumah Baduy) untuk seorang warga.

Maximilianus Agung Pribadi Memasak di jalan.
Rumah panggung Baduy dibangun 'melayang' dari tanah sekitar 30 cm atau sesuai kontur tanah. Kaki-kakinya beralaskan batu kali atau umpak sebagai pondasi. Ruangan beratapkan daun kirai (sejenis sagu) dan ijuk. Atap itu bisa bertahan delapan sampai sepuluh tahun jika bagian terluar dilapisi ijuk. Jika tidak, cukup empat-lima tahun karena ada sejenis ulat yang doyan melahap daun kirai kering. Biasanya tiap rumah terdiri dari beberapa kamar kecil dan satu ruangan besar yang jadi pusat kegiatan. Tidak ada jendela, tapi ruangan terasa adem karena celah-celah bambu. Hanya gelap tetap menghadirkan pengap di dalam kamar.

Di sela itu ngalor ngidul kami bercakap soal tradisi. Yang cukup menarik soal naluri dagang kaum tani Baduy.

"Perhitungan untung rugi selalu jadi pertimbangan dalam menggarap lahan tani. Walaupun tidak sekolah, orang Baduy selalu bisa memantau pasar, dari mulut ke mulut dan sekarang lewat pesbuk juga bisa," tutur Pak Sarip menggambarkan dekatnya mereka dengan internet.

Listrik memang tak boleh masuk, namun hp tetap bisa di-charge di Ciboleger. Rembesan budaya seperti itu terjadi di perbatasan, tapi sekarang sudah masuk ke perkampungan yang lebih jauh.

Gelap malam perlahan jatuh ke tanah. Lampu minyak mulai dinyalakan, menerangi  rumah berdinding dan lantai anyaman bambu. Dalam keremangan kami makan bersama dengan menu sederhana nasi, telur goreng, mi goreng, dan ikan asin. Para pengunjung ke Baduy yang menginap di rumah penduduk sebaiknya membawa bahan makanan, terutama lauk pauk agar bisa dimasak dan disantap bersama tuan rumah.

Maximilianus Agung Pribadi Daerah perbatasan.
Pak Sarip cerita, luas lahan Baduy 5.138 ha terbagi menjadi hutan lindung dengan luasan sekitar 2.500 ha, sisanya hutan garapan dan permukiman warga yang berjumlah 62 kampung, termasuk tiga kampung Baduy Dalam.

Karena keterbatasan lahan, para saudagar Baduy kini memperluas lahan pertaniannya dengan membeli tanah di pinggiran kawasan seharga  Rp 10.000-Rp 15.000 per meter persegi (pinggir jalan) dan Rp 7.000-Rp 8.000 di pelosok hutan. Penguasaan lahan menjadi salah satu cara alami warga Baduy bertahan menghadapi masalah perkembangan penduduk dan keterbatasan lahan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com