Tapi ditolak polisi mengharuskan saya bergerak lagi menembus pekatnya malam di perkebunan sawit. Katanya kawasan itu rawan kejahatan, saya pasrah saja dan terus mengayuh. Sekitar lima kilometer berjalan, saya tiba di SPBU Desa Parung Sapi pukul 20.30. Keramahan petugas dan musala kecil SPBU itu cukuplah menjadi pelabuhan untuk meluruskan badan.
Tidur malam itu tak cukup nyenyak karena badan habis dikerubuti nyamuk. Baru pukul 03.00 saya bisa terlelap. Namun tidur singkat itu sudah cukup memulihkan badan untuk melanjutkan perjalanan. Segera saya benahi matras, sleeping bag, dan mengepaknya di sepeda. Pukul 6.30 saya tinggalkan SPBU Parung Sapi menyusuri aspal mulus ke arah Jasinga lalu berbelok kiri ke arah Haurgajrug.
Selepas Jasinga, jalan mulai mendaki menyusuri punggungan besar, terkadang turun ke lembah untuk berpindah punggungan. Puncak perbukitan menghijau di kejauhan. Langit biru cerah berlukiskan guratan awan putih tipis. Kesegaran pagi hari itu menambah semangat menekuni kontur bumi.
Haurgajrug terletak di dataran rendah yang dikelilingi perbukitan. Untuk mencapainya dan keluar dari sana pasti menghadapi tanjakan-tanjakan yang aduhai. Setidaknya dua atau tiga tanjakan sepanjang 1-2 kilometer membuat ban depan sepeda sampai terangkat-angkat, yaitu setelah Desa Cipanas dan menjelang masuk serta keluar dari Desa Muncang.
Lalu lalang kendaraan terhitung sedikit dengan interval 3-5 menit. Itupun kebanyakan yang lewat sepeda motor. Ada saatnya saya hanya ditemani nyanyian serangga hutan dan desau angin yang menyapu dedaunan. Di langit, lengkingan elang mengirim pesan soal keasrian hutan perbukitan di kawasan itu. Menyenangkan sekali bersepeda di kawasan ini.
Di simpang Cisimeut, saya berbelok kiri dan meluncur sepanjang tiga kilometer hingga sampai di Jembatan Kuning yang termasyhur dan menjadi pembuka cerita ini. Jembatan hanya bisa dilalui satu mobil dan hingga kini kondisinya masih terawat baik.
Tepat tengah hari saya sampai di puncak tanjakan Ciminyak dan berhenti untuk mendinginkan badan yang panas sekaligus memasak perbekalan. Saya sempatkan tiduran di tengah hutan, menikmati sejumput kemerdekaan. Sekitar satu jam berhenti, saya lalu meluncur turun sampai di Desa Ciboleger, batas dunia luar dengan perkampungan Baduy.
Sepeda saya titipkan di sebuah warung di Terminal Ciboleger karena semua jenis kendaraan tidak boleh masuk perkampungan Baduy. Saya lalu menumpang di rumah Pak Sarip, warga asli Baduy yang tinggal di Kampung Kaduketug. Kebetulan ia tahu banyak dan bangga betul pada tradisi adat istiadat kaumnya. Siang itu mereka sedang gotong royong membangun imah Baduy (rumah Baduy) untuk seorang warga.
Di sela itu ngalor ngidul kami bercakap soal tradisi. Yang cukup menarik soal naluri dagang kaum tani Baduy.
"Perhitungan untung rugi selalu jadi pertimbangan dalam menggarap lahan tani. Walaupun tidak sekolah, orang Baduy selalu bisa memantau pasar, dari mulut ke mulut dan sekarang lewat pesbuk juga bisa," tutur Pak Sarip menggambarkan dekatnya mereka dengan internet.
Listrik memang tak boleh masuk, namun hp tetap bisa di-charge di Ciboleger. Rembesan budaya seperti itu terjadi di perbatasan, tapi sekarang sudah masuk ke perkampungan yang lebih jauh.
Gelap malam perlahan jatuh ke tanah. Lampu minyak mulai dinyalakan, menerangi rumah berdinding dan lantai anyaman bambu. Dalam keremangan kami makan bersama dengan menu sederhana nasi, telur goreng, mi goreng, dan ikan asin. Para pengunjung ke Baduy yang menginap di rumah penduduk sebaiknya membawa bahan makanan, terutama lauk pauk agar bisa dimasak dan disantap bersama tuan rumah.
Karena keterbatasan lahan, para saudagar Baduy kini memperluas lahan pertaniannya dengan membeli tanah di pinggiran kawasan seharga Rp 10.000-Rp 15.000 per meter persegi (pinggir jalan) dan Rp 7.000-Rp 8.000 di pelosok hutan. Penguasaan lahan menjadi salah satu cara alami warga Baduy bertahan menghadapi masalah perkembangan penduduk dan keterbatasan lahan.