Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semalam di Baduy

Kompas.com - 07/07/2013, 12:52 WIB

Sayup-sayup saya dengar alunan  gamelan yang terdengar magis ditengah keheningan malam. Rupanya sekelompok warga tengah berlatih di rumah jaro (kepala kampung). Saya segera bergabung kesana. Terkantuk-kantuk saya selesaikan catatan ini ditemani musik gambang kromong yang membuai. Entah apa lagunya, tapi enak didengar, mungkin judulnya 'Semalam di Baduy'.

***

Kokok ayam jago dibalik dinding membangunkan saya dari tidur nyenyak. Sedetik lupa saya ada dimana. Langit-langit dan lantai anyaman bambu yang berderak saat diinjak mengembalikan ingatan saya sedang di Baduy Luar. Nyanyian jangkrik dan katak membelah sunyi. Di luar masih gelap dan dingin. Saya kebelet kencing tapi tak ada jamban di rumah itu. Jadi saya harus keluar berjalan ke arah pancuran di lembah. Bulan sepotong semangka menerangi tanah remang-remang keperakan.

Repot memang. Tapi hal yang sederhana soal buang air itu ampuh menjaga tradisi turun temurun kedekatan kaum Baduy dengan sungai atau sumber air. Warga Baduy tidak membangun jamban atau wc di rumah. Mereka membuang kotoran, mandi, mencuci baju dan peralatan dapur di pancuran atau di sungai.

Alasannya, seperti diungkapkan Pak Sarip, sederhana saja. Kotoran harus dibuang jauh dari rumah dan jangan sampai mengotori lingkungan kampung atau tetangga.

"Kalau membangun jamban, kita harus buat saluran pembuangan. Kotoran itu malah mengotori kampung lain yang posisinya lebih rendah," tuturnya. Lagi pula kebiasaan mendatangi pancuran secara alami menjaga kedekatan mereka pada sungai. 'Gunung ulah dibelah, lebak ulah dirusak". Semboyan itu dipegang teguh dalam keseharian orang Baduy.

Namun aturan tidak membangun jamban itu mulai cair di Baduy Luar. Dengan datangnya wisatawan ke kampung-kampung, beberapa warga membangun jamban di belakang rumahnya. Saat hujan atau saluran pembuangan tersumbat kerap mendatangkan masalah tersendiri. Menurut Pak Sarip, kokolot kampung sudah sering mengingatkan. Tapi arus zaman sepertinya tak terbendung soal yang satu itu.

Anak-anak Baduy tidak bersekolah. Tapi mereka pandai baca-tulis dan berhitung. Adat mengharuskan kalau mau sekolah, mereka keluar dari kampung dan tidak kembali lagi sekalipun ikatan kekerabatan tetap terjaga.

"Kalau sudah sekolah, akan banyak nilai yang berbenturan sama adat. Lagi pula mereka sekolah cukup lama, sampai 12 tahun, setelah selesai mereka tidak bisa kembali karena tidak ada pekerjaan yang cocok di kampung. Selama sekolah, mereka jauh dari tanah, jadi tidak bisa tani lagi, lalu mau kerja apa di kampung," cerita Pak Sarip.

Itoh, anak tertua Pak Sarip mengatakan, anak-anak belajar membaca secara alami dari lingkungannya. Mereka belajar membaca bersama teman atau anggota keluarga lainnya dengan mengenali huruf dan tulisan yang ada di kalender, karung beras, dan lain-lain. Belajar berhitung pun sama dan selebihnya bermain di alam bebas.

"Apalagi sudah ada hp sekarang, anak-anak lebih cepat bisa membaca," tutur Itoh yang bersama suaminya tinggal di rumah Pak Sarip.

Di keremangan pagi, Bu Sarip pulang dari kebun sambil menggendong kayu bakar, lalu mulai memasak. Beberapa warga Baduy Dalam, berjalan tanpa alas kaki, dengan ikat kepala putih sudah turun gunung. Mereka nongkrong di rumah-rumah warga, menunggu kedatangan pengunjung yang minta diantar keliling kampung. Di terminal Ciboleger juga banyak orang yang menawari jadi guide dadakan. Jadi cermat saja memilih guide kalau berkunjung ke Baduy. Soal tarif tergantung dari tawar menawar dan keikhlasan.

Maximilianus Agung Pribadi Jasinga.
Para petani Baduy sadar betul soal pasar. Makanya mereka bisa menawarkan produknya dengan harga yang layak, tidak terlalu merugi karena tahu harga pasaran atau produk yang sedang bagus harganya. Kalau tidak menanam sendiri, mereka membeli hasil kebun seperti cengkeh, beras, pisang, palawija dan sebagainya untuk dijual kembali dengan margin keuntungan yang lumayan.

Itulah yang Pak Sarip katakan soal bakat dagang orang Baduy. Dengan cara itu mereka bisa memutar modal dan membeli tanah dari keuntungan yang didapat. Tanah menjaga eksistensi mereka di atas lahan inti yang turun temurun mereka diami. Sekalipun harga tanah di kawasan sekitar Cisimeut dan Leuwidamar relatif murah, orang Jakarta jangan coba-coba beli karena pasti ditolak.

"Orang Jakarta biasanya bikin harga tanah melambung. Kalau sudah mahal, orang Baduy gak bisa beli tanah lagi atuh," tutur Pak Sarip sambil terkekeh.

Pukul 07.00 saya sudah di atas sepeda lagi. Mengayuh lagi membelah angin pagi menuju Rangkasbitung. Jalan langsung mendaki perbukitan meninggalkan kedamaian perkampungan Baduy. Dari Rangkasbitung, sengaja saya tak menumpang kereta tapi mengayuh terus menyusuri sejumlah kampung kecil yang selama ini hanya berupa noktah kecil di peta seperti Maja, Tenjo, Curug, Bitung, Cikupa, Tangerang sampai tiba di rumah bersama turunnya malam. (Maximilianus Agung Pribadi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com