Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semalam di Baduy

Kompas.com - 07/07/2013, 12:52 WIB
KOMPAS.com - Ujung jembatan tak terlalu jauh di seberang sana. Bentangan besi penyangga warna kuning yang sangat simetris menciptakan kesan akan memasuki sebuah terowongan waktu. Di ujung sana mungkin belahan dunia lain atau satu titik lain di ruang waktu yang berbeda dari sini.

Imajinasi liar itu muncul berkelebat begitu saya sampai di ujung Jembatan Cipayeuh. Jembatan itu populer sebagai Jembatan Kuning karena seluruh rangka bajanya dicat kuning. Dibangun September 1986, jembatan yang melintas Sungai Cipayeuh di Desa Ciminyak, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten itu masih kokoh berdiri menjadi landmark pintu masuk ke perkampungan Baduy.

Sepi. Hanya terdengar gesekan daun padi yang tertiup angin. Persawahan di sekitar jembatan menghijau dan langit biru di atasnya diwarnai guratan awan tipis. Beberapa penduduk mencuci sepeda motor di sungai dekat jembatan. Saya minta tolong seseorang yang melintas untuk mengambil foto lalu melanjutkan perjalanan menuju Ciboleger, desa terakhir di batas perkampungan Baduy.

Karena dua orang teman batal pergi, seorang diri saja saya bersepeda ke Baduy yang gagasannya sudah lama timbul tenggelam dalam angan. Saya pilih jalur melewati Pamulang-Serpong-Rumpin-Lebakwangi-Jasinga-Cisimeut-Ciboleger. Biasanya saya main sepeda di kawasan Gunung Sindur, Ciseeng sampai Leuwiliang menyusuri punggungan sebelah timur Sungai Cisadane. Tapi kali ini saya pilih punggungan sebelah barat melalui Serpong-Rumpin yang sepertinya lebih tersembunyi dari keramaian. Saya mau mengintip dunia penambangan pasir dan batu di Sungai Cisadane.

Kamis (27/6/2013), tepat tengah hari bolong saya tinggalkan rumah yang nyaman di Kebayoran Lama. Dua bidadari kecil melepas dengan pelukan erat dan celoteh yang selalu membuat saya kangen mereka saat kami terpisah jarak.

Maximilianus Agung Pribadi Bersama suku Baduy.
Setelah melintasi jembatan Cisadane, jalan beton mulus hanya bertahan sampai Rumpin, tepatnya Desa Cicangkal. Selebihnya tidak ada lagi jalan, apalagi beton, yang tersisa hanya tanah kering, bebatuan, dan debu. Terguncang-guncang di atas sepeda besi Federal Mt Everest tahun 1995, saya harus lincah berseliweran disela truk-truk tronton pengangkut pasir dan bebatuan yang juga berjalan zigzag memilih jalan. Kerasnya dunia penambangan Cisadane mulai terasa.

Angin haluan menghadang, sesekali menerbangkan debu pasir yang pekat, berputar seperti puting beliung, membuat kayuhan terasa berat. Jalanan berkabut debu. Panas terik dan kering menyekat kerongkongan. Tapi tantangan ini tidaklah seberat kehidupan para pengangkut pasir ke atas truk yang disebut 'ganjur' atau batu koral yang disebut guracil (batunya).

Arya (25), warga Cipining yang sudah 10 tahun menjadi ganjur mengatakan, sebagian besar warga perkampungan di kawasan Rumpin menggantungkan hidupnya dari penambangan pasir dan batu. Sekali memuat pasir ke atas truk mereka diupah Rp 80.000, sedangkan kalau muatannya batu diupah Rp 100.000. "Sehari bisa memuat sampai enam truk kalau masih kuat. Biasanya rit berkurang sesuai umur," tuturnya sambil tersenyum.

Kenaikan harga bahan bakar minyak ikut mendongkrak harga material yang dikeruk dari daerah aliran sungai seperti pasir yang kini Rp 140.000 per kubik, bakal menjadi Rp 160.000-Rp 180.000 per kubik mulai tanggal 1 Juli. Lalu akankah para ganjur dan pengangkut guracil ikut menikmati kenaikan harga. "Itu mah tergantung bagaimana nanti rundingan sama tauke yang punya truk," tutur Arya, ayah dua anak.

Maximilianus Agung Pribadi Rumpin-Lebakwangi.
Di sepanjang jalur Rumpin-Lebakwangi banyak dijumpai pangkalan penumpukan pasir dan batu. Mungkin lebih banyak daripada di punggungan timur Cisadane yang berbatasan langsung dengan kawasan permukiman di Pamulang, Ciputat, dan sekitarnya.

Lalu lalang truk tronton bermuatan material itu membuat jalan yang terakhir dibeton tahun 2007 (menurut seorang petugas Dishub yang saya jumpai) hilang. Kondisi jalan jauh lebih parah daripada punggungan timur.

Jutaan kubik pasir dan batu yang digali dari perbukitan di sepanjang aliran Cisadane menopang pembangunan di kota-kota sekitarnya. Para penambang juga merasakan rezeki yang menetes dari sumber daya alam tersebut. Namun di saat yang sama, akibat penambangan besar-besaran, kerusakan DAS Cisadane tak terelakkan. Di musim hujan, sungai ini makin sering mengamuk dengan mengirim banjir bandang seperti yang merenggut jiwa seorang teman yang juga Kepala Komunikasi BPPN, Raymond van Beekum, saat berarung jeram di sungai itu September 2003.

***

Hangat mentari sore jatuh di punggung saat saya tiba di Lebakwangi. Jalanan melandai turun-naik bukit. Masih ada 16 kilometer lagi melintasi perkebunan sawit dan hutan jati menuju desa Bunar. Saat itu sudah pukul 17.00, tapi saya putuskan maju terus sampai ke pertigaan menuju Jasinga. Entah sudah berapa kilometer saya berjalan karena cyclocomputer rusak. Perkiraan saya sudah sekitar 60 kilometer dari Jakarta.

Maximilianus Agung Pribadi Makan malam.
Selepas desa Bunar, saya melintas di depan kantor polisi. Aha, kebetulan, saya pikir bisa istirahat di sana. Tapi ternyata petugas jaga menolak karena saya hanya membawa fotokopi KTP. Lelah, ngantuk, dan badan kotor berdebu, jengkel juga rasanya ditolak seperti itu. Bisa saja saya debat atau menghubungi teman-teman polisi Bogor, urusan pasti beres. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya diam saja lalu pamit. Membiarkan diri menjadi 'Mr Nobody' itu membantu saya menahan diri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com