Ikan-ikan yang berhasil ia tangkap sebagian dijual, sebagian dibawa pulang untuk lauk makan keluarganya. Di rumahnya yang berada di bibir rawa, istri Edi akan menggoreng atau membakar gabus tersebut. Kadang ia mengulek bumbu pecak yang terdiri dari cabai, temukunci, bawang merah, jahe, dan lengkuas.
Setelah bumbu yang semuanya mentah itu hancur, ia menyeduhnya dengan air panas dan memerciki air perasan jeruk limau. Bumbu itu kemudian disiramkan ke atas gabus bakar atau goreng. Meski sederhana, masakan itu cukup lezat. Kombinasi cabai, bawang, temukunci, jahe, lengkuas, dan jeruk limau menghasilkan cita rasa yang ramai. Ada pedas, gurih, sekaligus asam.
”Kalau udah ketemu gabus pecak, ada orang disamber geledek pun saya enggak peduli, ha-ha-ha,” kata Edi dengan dialek Betawi pinggiran yang kental, pertengahan Mei lalu.
Agus (46) yang tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan, juga tidak pernah bisa menjauh dari kali. Setiap ada waktu luang, ia langsung berangkat mancing ikan atau belut di situ-situ dan anak kali yang masih tersisa di kampungnya. Kadang kegiatannya memancing bisa makan waktu seharian.
Itulah yang membuat Mayati (43), istri Agus, nyapnyap (marah-marah) melulu. ”Kalau udah mancing, dia mah kagak tahu waktu. Dagang aja ditinggalin,” kata Mayati yang mewanti-wanti untuk dipanggil Mpok May saja, bukan Mpok Mayati, apalagi Mpok Mayat.
Meski sering sebal, Mpok May selalu menyambut manis suaminya yang baru pulang mancing atau ngubak (mencari ikan dengan tuba) di kali. Dua pekan lalu, ketika Agus membawa satu ember belut, ia langsung membersihkannya dan membakarnya utuh-utuh. Belut kemudian ia masak bumbu pecak. ”Rasanya sedep banget dah. Kapan-kapan saya bikinin yak,” ujar Mpok May yang sehari-hari berjualan nasi uduk.
Selain gabus, belut, dan tawes, orang Betawi biasa memecak apa saja, mulai dari tempe, oncom, ayam, hingga terung. Meski begitu, bahan yang dianggap paling lezat untuk dipecak tetap saja ikan gabus. ”Gabus mah kagak ada duanya dah. Dagingnya paling gurih,” kata Mpok May.
Begitulah, sawah, rawa, dan sungai menjadi bagian penting buat orang Betawi, setidaknya hingga tahun 1980-an ketika pembangunan belum segencar sekarang. Dari situlah sumber makanan utama mereka, yakni beras dan ikan air tawar, berasal. Karena beras tersedia dalam jumlah berlimpah, corak ragam makanan berbasis beras pun berkembang di Jakarta, mulai dari nasi uduk, nasi ulam, dodol, geplak, sagon, rangi, sampai tape uli.
”Nasi uduk udah ada sejak zaman dulu, baik di Betawi kota maupun pinggir. Lawan nasi uduk udah pasti semur jengkol. Daging kadang-kadang aja,” kata tokoh senior Betawi, Ridwan Saidi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.