Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kala Beragam Rasa Bersenyawa

Kompas.com - 14/07/2013, 09:21 WIB
SUASANA pagi di pelosok Ciseeng, Bogor, nyaris selalu sama. Kabut menipis ketika sejumlah lelaki dan anak-anak turun ke sawah atau kali untuk berburu ikan-ikan liar semacam tawes, gabus, dan sili. Edi Petor (42) ada di antara mereka. Di pojok-pojok kali yang sebagian permukaannya tertutup rerumputan dan dedaunan pohon perdu, ia berburu gabus. ”Dari tahun 1985 sampai sekarang, kerjaan saya kayak gini, nyari gabus. Kalau nyari gabus itu dosa, mungkin saya orang yang paling banyak dosanya, ha-ha-ha,” ujarnya berseloroh.

Ikan-ikan yang berhasil ia tangkap sebagian dijual, sebagian dibawa pulang untuk lauk makan keluarganya. Di rumahnya yang berada di bibir rawa, istri Edi akan menggoreng atau membakar gabus tersebut. Kadang ia mengulek bumbu pecak yang terdiri dari cabai, temukunci, bawang merah, jahe, dan lengkuas.

Setelah bumbu yang semuanya mentah itu hancur, ia menyeduhnya dengan air panas dan memerciki air perasan jeruk limau. Bumbu itu kemudian disiramkan ke atas gabus bakar atau goreng. Meski sederhana, masakan itu cukup lezat. Kombinasi cabai, bawang, temukunci, jahe, lengkuas, dan jeruk limau menghasilkan cita rasa yang ramai. Ada pedas, gurih, sekaligus asam.

”Kalau udah ketemu gabus pecak, ada orang disamber geledek pun saya enggak peduli, ha-ha-ha,” kata Edi dengan dialek Betawi pinggiran yang kental, pertengahan Mei lalu.

Agus (46) yang tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan, juga tidak pernah bisa menjauh dari kali. Setiap ada waktu luang, ia langsung berangkat mancing ikan atau belut di situ-situ dan anak kali yang masih tersisa di kampungnya. Kadang kegiatannya memancing bisa makan waktu seharian.

Itulah yang membuat Mayati (43), istri Agus, nyapnyap (marah-marah) melulu. ”Kalau udah mancing, dia mah kagak tahu waktu. Dagang aja ditinggalin,” kata Mayati yang mewanti-wanti untuk dipanggil Mpok May saja, bukan Mpok Mayati, apalagi Mpok Mayat.

Meski sering sebal, Mpok May selalu menyambut manis suaminya yang baru pulang mancing atau ngubak (mencari ikan dengan tuba) di kali. Dua pekan lalu, ketika Agus membawa satu ember belut, ia langsung membersihkannya dan membakarnya utuh-utuh. Belut kemudian ia masak bumbu pecak. ”Rasanya sedep banget dah. Kapan-kapan saya bikinin yak,” ujar Mpok May yang sehari-hari berjualan nasi uduk.

Selain gabus, belut, dan tawes, orang Betawi biasa memecak apa saja, mulai dari tempe, oncom, ayam, hingga terung. Meski begitu, bahan yang dianggap paling lezat untuk dipecak tetap saja ikan gabus. ”Gabus mah kagak ada duanya dah. Dagingnya paling gurih,” kata Mpok May.

Begitulah, sawah, rawa, dan sungai menjadi bagian penting buat orang Betawi, setidaknya hingga tahun 1980-an ketika pembangunan belum segencar sekarang. Dari situlah sumber makanan utama mereka, yakni beras dan ikan air tawar, berasal. Karena beras tersedia dalam jumlah berlimpah, corak ragam makanan berbasis beras pun berkembang di Jakarta, mulai dari nasi uduk, nasi ulam, dodol, geplak, sagon, rangi, sampai tape uli.

”Nasi uduk udah ada sejak zaman dulu, baik di Betawi kota maupun pinggir. Lawan nasi uduk udah pasti semur jengkol. Daging kadang-kadang aja,” kata tokoh senior Betawi, Ridwan Saidi.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Ikan gabus rawa hasil tangkapan warga yang dijajakan di Jalan Raya Ciseeng, Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
Ikan tawar biasanya diolah jadi pecak, pucung, dan ikan asin. Willard A Hanna mencatat, para pemukim di pinggir Kali Ciliwung di zaman Sunda Kelapa juga suka membuat ikan asin dalam jumlah banyak untuk dijual kepada pedagang-pedagang asing yang datang (Hikayat Jakarta, 1988).

Orang Betawi memang sudah akrab dengan aneka ikan liar yang menghuni sawah, rawa, dan kali sejak dulu. Saking akrabnya, orang Betawi memberikan banyak istilah pada ikan yang sama. Gabus, misalnya, dibedakan namanya berdasarkan ukuran. ”Kalau ukurannya sejari tangan, disebut anak boncel, besaran sedikit disebut boncelan. Kalau panjangnya sekitar 15 sentimeter, disebut kocolan, lebih besar lagi baru disebut gabus,” kata Edi Petor.

Di daerah Pesanggrahan, Jakarta Selatan, ada satu lagi variasi nama gabus, yakni ganjilan. Sementara di Ciputat, gabus ukuran tertentu disebut jampilan. Untuk betok biasanya dikenal dua nama. Kalau ukurannya seibu jari, disebut betik, lebih besar dari itu disebut betok.

Di antara ikan liar yang ada di sungai-sungai di Jakarta, gabus tampaknya menempati posisi paling penting di kalangan orang Betawi pinggiran. Di beberapa kampung di Pamulang, misalnya, laki-laki yang hendak melamar perempuan wajib membawa sepasang ikan gabus. Tanpa membawa gabus, dia sama saja menganggap calon mempelai perempuan sudah tidak suci lagi. Orangtua calon mempelai perempuan pasti marah besar dan tak ragu membatalkan pernikahan.

”Itu terjadi pada teman saya. Gara-gara lupa bawa gabus waktu lamaran, dia enggak jadi kawin,” kata Agus. Belajar dari situ, Agus membawa sepasang ikan gabus saat meminang istrinya, Mpok May, orang Pamulang.

Sampai tahun 1990-an, kali dan rawa di Jakarta menyediakan ikan liar dalam jumlah berlimpah, seperti gabus, tawes, baung, sili, mas, lele, belut, dan udang. Ada banyak teknik menangkap ikan yang digunakan orang Betawi, mulai dari mancing, neger, nyerok, ngurak, ngobor, ngebubu, nyetrum, sampai ngerogoh.

Firdaus (52) ingat betul, ketika remaja, hampir setiap hari dia ngurak (menangkap ikan dengan tuba) di kampungnya di Ujungmenteng, Cakung, Jakarta Timur. ”Sekali ngurak dapat ikan seember,” katanya.

Selain gabus, makhluk sungai yang mewarnai tradisi orang Betawi adalah buaya. Sosok buaya digunakan secara simbolis dalam bentuk roti buaya di acara perkawinan adat Betawi. Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, mengatakan, roti buaya adalah simbol kesetiaan dan kekuatan alam.

Begitulah, sungai menjadi pusat bagi kehidupan orang Betawi, setidaknya sampai tahun 1990-an. Di situ pula pernah berkembang kepercayaan bahwa sungai dihuni oleh kekuatan magis, seperti buaya buntung, buaya putih, dan buaya merah. Untuk menghormati kekuatan yang ada di alam, orang Betawi tempo dulu punya tradisi ngancak atau mempersembahkan sajen. Sebuah tradisi yang menurut antropolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Dadi Darmadi, muncul jauh sebelum Islam datang, bahkan Hindu/Buddha.

Chaerudin, pelestari Kali Pesanggrahan, mengatakan, tradisi ngancak merupakan kearifan nenek moyang agar bisa hidup selaras dengan alam. Karena itu, sajen biasanya ditempatkan di dekat kedung sungai, kebun, dan mata air. Isinya, antara lain, bubur merah-bubur putih, telur ayam kampung, teh pahit-teh manis, kopi pahit-kopi manis, lisong, ayam bakar, dan menyan.

Pada momen-momen tertentu, masyarakat menanam kepala kerbau atau kambing sebagai wujud penghormatan kepada alam. Tradisi tersebut, kata Chaerudin, mulai hilang di daerah Pesanggrahan dan sekitarnya sejak tahun 1978. Yang tersisa tinggal sedekah Bumi. Semua makanan yang ada dipersembahkan kepada alam di persimpangan jalan, kebun, dan mata air. Selebihnya dimakan bersama-sama oleh warga.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Perburuan ikan gabus di rawa sekitar Bendungan Jeletreng, Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
Sejarawan dari Komunitas Bambu, JJ Rizal, berpendapat, gaya hidup yang bertumpu pada sungai dan sawah merupakan satu tahapan evolusi yang telah dijalani orang Betawi. Gaya hidup seperti itu memiliki akar yang jauh.

Peradaban Betawi sendiri dibangun di atas sebuah dataran hasil endapan lumpur yang digelontorkan dari pegunungan di selatan hingga muara. Tanah endapan lumpur itu makin lama makin luas ke daerah muara. Bentuknya seperti kipas yang dialiri kali-kali besar, seperti Cisadane, Angke, Ciliwung, Bekasi, dan Citarum. Di situ juga tercipta daerah-daerah basah dan berawa-rawa. Jadi, siapa pun yang bermukim di kawasan itu tampaknya tidak akan bisa menghindar dari sungai, rawa, sawah, dan tentu saja hutan.

Susan Blackburn dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011) mengatakan, sejak zaman prasejarah, di mulut Kali Ciliwung telah ada permukiman manusia. Ini dibuktikan dengan temuan benda-benda arkeologis, seperti peralatan dari zaman Neolitikum, Perunggu, dan Besi.

Wilayah Kerajaan Tarumanegara yang ada pada abad ke-5 juga dibatasi dua kali, yakni Citarum di sebelah timur dan Cisadane di sebelah barat. Daerah selatannya dibatasi Kali Ciaruteun. Di wilayah itu mengalir sungai-sungai penting lainnya, seperti Ciliwung dan Bekasi.

Selanjutnya, pada abad ke-12, berdiri kota pelabuhan bernama Sunda Kelapa yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Letak pelabuhan itu tidak persis di tepi pantai, tetapi menjorok masuk ke muara Ciliwung. Pelabuhan yang menjadi salah satu pemain penting dalam jaring perdagangan Nusantara itu direbut Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Dia lantas membangun kota di tepi barat Kali Ciliwung.

Tahun 1619, Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta dan membangun kota Batavia. Batavia awalnya hanya sebuah benteng di muara Ciliwung dan kota di tepi barat dan timur Ciliwung. Untuk mengendalikan banjir limpasan sungai dan rawa yang mengelilingi kota, Coen menata kota mirip kota tiruan Belanda yang berkanal-kanal dan berparit. Itu sebabnya, Batavia pernah mendapat julukan ”Venesia dari Timur” (Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal, 2010).

Di daerah datar dengan banyak cekungan basah inilah, berbagai etnis dan ras melebur menjadi apa yang kita sebut sekarang sebagai Betawi. (Budi Suwarna/Iwan Santosa/Ahmad Arif)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com