Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/07/2013, 10:15 WIB
KETIKA manusia melebur, makanan mereka juga ikut lebur. Udaya Halim, pendiri Museum Benteng Heritage, mengungkapkan, secara umum, bumbu dasar Cina itu hanya bawang putih dan jahe. Di Nusantara, mereka kenal bawang merah dari pedagang-pedagang India. Sejak saat itu, keturunan migran Cina menambahkan bawang merah sebagai bumbu dasar Cina Peranakan. ”Kami menyebutnya bumbu cin,” kata Udaya yang jago masak itu.

Ia menyodorkan lontong sayur dan ayam suwir berwarna merah yang bumbu dasarnya cin. Masakan itu sedap nian.

Contoh makanan hasil persilangan lainnya, lanjut Udaya, adalah kecap. ”Kecap yang di tanah leluhur itu asin, di Jawa mendapat tambahan gula merah sehingga rasanya jadi manis.”

Karena proses akulturasi makanan bersifat timbal balik, banyak unsur makanan asing yang diserap penduduk lokal. Di antara bahan makanan yang paling banyak diserap adalah bahan makanan yang dibawa atau dikembangkan pendatang Cina, seperti taoge, taoco, kecap, kacang tanah, caisim, lobak, lokio, tahu, kailan, lengkeng, leci, mihun, dan bihun (D Lombard, 2008). Dari bahan-bahan itu, tercipta menu-menu yang dianggap khas Betawi, seperti asinan betawi, soto mi, laksa, hingga bubur ase alias bubur asinan semur.

Dari imigran Hadramaut, orang Betawi mengenal nasi kebuli dan makanan-makanan mengandung minyak samin. Uniknya, nasi kebuli yang mereka bawa ke Jakarta telah bercampur dengan cita rasa India. Pasalnya, sebelum masuk ke Indonesia, banyak imigran Hadramaut yang lebih dulu tinggal dan berdagang di India. Di Jakarta, nasi kebuli itu ”menjadi Betawi” setelah ditaburi bawang goreng dan emping.

Makanan hasil peleburan budaya itu selanjutnya menjadi milik bersama seluruh masyarakat di Betawi. Di beberapa daerah di Jakarta, nasi kebuli menjadi hidangan wajib di perayaan-perayaan Maulid Nabi dan acara-acara pengajian. Sementara itu, pindang serani menjadi makanan sehari-hari orang Betawi.

Pertengahan Juni lalu ketika bertandang ke rumah Hadidjah Usman (62) di Srengseng, Jakarta Barat, kami disuguhi masakan yang awalnya dianggap ”milik” orang-orang keturunan Portugis hitam di Tugu, Jakarta Utara.

Nama serani yang disematkan pada pindang berwarna kuning itu berasal dari kata Nasrani. Orang-orang Tugu yang Nasrani itu biasanya membuat dan menghidangkan pindang itu pada saat Natal, Tahun Baru, dan Paskah. Hadidjah mengaku tidak tahu pasti asal-usul pindang serani. ”Pokoknya enak, ya, kami makan,” katanya.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Warga memilih bacang yang hendak dibeli dari pedagang makanan kecil di kawasan Pasar Lama, Tangerang, Banten, Sabtu (11/5/2013). Saat ini, bacang yang menjadi bagian dari ritual masyarakat Tionghoa itu menjadi santapan sehari-hari warga.
Pada hari lain, ketika kami bertandang ke rumah Tjoa Keng Soen (65) yang terletak di Bebulak, Mauk, Tangerang, kami disuguhi nasi uduk lengkap dengan bawang goreng, kerupuk merah, dan sambal kacang.

”Meski kami orang keturunan, selera makannya mah sama aja sama orang Betawi lainnya. Paling sayur asem, nasi uduk, ama kerupuk. Kalau makanan Tionghoa seperti ikan ceng cuan mah kami masak kalau Imlek doang,” kata Tjoa dengan dialek Betawi pesisir.

Di Rumah Makan Abu Salim milik keluarga keturunan migran Hadramaut, kami menikmati nasi kebuli dengan kambing goreng dan acar ketimun, nanas, dan wortel bersaus sambal merah yang tampangnya lebih mirip asinan buah betawi. Tidak lupa ada taburan bawang goreng dan emping.

”Nasi kebuli di sini memang sudah disesuaikan dengan lidah orang Betawi. Di Hadramaut enggak ada yang seperti ini,” ujar Husein Alkaff, pengelola Rumah Makan Abu Salim, yang sehari-hari berbahasa Betawi dan Tegal.

Antropolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dadi Darmadi, menjelaskan, proses pertemuan cita rasa sejumlah budaya di atas piring biasanya memakan waktu lama, apalagi dalam kasus masakan Betawi yang mengandung jejak beragam unsur budaya. Ambil saja semangkuk laksa. Di dalamnya kita akan menemukan jejak cita rasa Melayu, Cina, sekaligus India.

”Peleburan unsur dua budaya saja makan waktu lama, apalagi peleburan lebih dari dua unsur budaya,” kata Dadi.

Dia yakin sekali, akulturasi di piring nasi akan terus terjadi di sebuah tempat yang sangat majemuk seperti Jakarta. Proses ini tidak akan bisa berhenti selama akulturasi manusianya juga tidak berhenti! (Budi Suwarna/Iwan Santosa/Ahmad Arif)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com