Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kala Beragam Makanan "Bertempur"

Kompas.com - 16/07/2013, 08:12 WIB

Generasi kedua pedagang warteg selanjutnya mengincar lokasi berdagang yang lebih ramai, seperti perempatan jalan dan pasar. Tahun 1990-an, bermunculan warteg di Jalan Palmerah, Pasar Senen, Tanah Abang, hingga mendekati kawasan ring satu di Kebon Sirih.

Lapo tuak juga masuk seiring dengan terbentuknya komunitas-komunitas Batak di Jakarta. B Ginting (50), pemilik lapo tuak di Cililitan, mengatakan, ”Di mana banyak orang Batak, di situlah lapo muncul. Sebab, lapo itu bukan hanya tempat makan, tapi juga tempat sosialisasi orang Batak,” katanya.

Tidak heran jika deretan lapo tuak kini hadir di Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur, di depan Kampung Mayasari yang dihuni orang Batak Toba, Karo, Pakpak, Mandailing, Simalungun, hingga Angkola. Aroma daging panggang dan alunan lagu Batak yang melankolis kini mewarnai kawasan itu sepanjang hari.

Semakin beragam imigran yang datang, semakin beragam pula makanan yang masuk ke Jakarta. Tidak heran jika sangat banyak makanan yang kini mengepung Jakarta, mulai dari nasi padang, pecel lele, sate madura, coto makassar, soto banjar, bahkan beberapa tahun terakhir ada yang menjual papeda-ikan kuning papua di Kelapa Gading. Makanan-makanan dari negeri seberang juga berlomba masuk ke Jakarta.

Setelah makanan Barat, seperti piza, burger, ayam goreng, dan donat, masuk ke Jakarta akhir tahun 1970-an hingga 1980-an, kini merangsek makanan-makanan Jepang dan Korea. Bahkan, restoran yang menjual masakan dari negeri tertutup seperti Korea Utara pun muncul di Jakarta. Namanya Restoran Pyongyang di Jalan Gandaria 58.

Jakarta benar-benar menjadi arena ”pertempuran” berbagai makanan. Dan, arena pertempuran paling seru ada di mal. Masuklah ke pusat makan dan jajan Eat & Eat di sejumlah mal di Jakarta, Anda akan menemukan tahu gejrot berebut pembeli dengan ramen korea.

Makanan Betawi tentu saja ikut dalam pertempuran tersebut. Warung-warung makan betawi tidak lagi hanya berlokasi di pinggir jalan, tetapi juga masuk ke mal-mal mewah, seperti Gandaria City, Senayan City, Mal Kelapa Gading, Grand Indonesia, dan Pacific Place. Bahkan, makanan Betawi juga dihidangkan di restoran mewah Tugu di Gedung Kunstkring, yang di zaman Belanda berfungsi sebagai gedung pusat seni.

Di restoran itu, tamu diajak mencicipi pengalaman makan malam tuan dan nyonya Belanda dengan menu rijsttafel betawi. Awal Juni, 12 sosialita Jakarta yang serba gemerlap duduk dilayani 14 pelayan. Para pelayan itu berbaris membawa nampan dan pikulan berisi aneka menu rijsttafel mulai dari nasi uduk, tempe kering, udang goreng, hingga sayur oyong.

”Ibu-ibu yang cantik silakan menikmati hidangan,” kata seorang pelayan ketika semua menu dihidangkan.

Para sosialita memandang semua menu itu dengan takjub. ”Kelihatannya enak. Sok atuh dituang,” katanya dalam bahasa Sunda.

Sosialita yang lain menimpali dengan bahasa Manado, ”Ayo jo, ngana yang makan dulu.”

Begitulah, beragam manusia, makanannya dari Sabang sampai Merauke, dari Tanah Abang sampai Rawabangke, berkumpul di Jakarta. Mereka bagai mozaik-mozaik yang membentuk wajah Indonesia. Tidak salah jika Lance Castles mengatakan, ”Tuhan sedang menciptakan Indonesia di Jakarta.” (Windoro Adi/Indira Permanasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com