Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kala Beragam Makanan "Bertempur"

Kompas.com - 16/07/2013, 08:12 WIB
SEKARANG, mari kita lihat Jakarta masa kini yang tidak lagi dikepung hutan rimba, tetapi hutan beton—tempat beragam manusia tinggal. Pusat-pusat bisnis, apartemen, permukiman mewah, mal, ataupun jalan tol boleh jadi berdiri di atas bekas rawa atau sawah milik sejumlah orang Betawi.

Pusat bisnis, perkantoran, dan kedutaan di Kuningan, Jakarta Selatan, misalnya, hingga tahun 1980-an masih berupa daerah peternakan sapi perah yang dikelola ratusan orang Betawi. Sebagian dari mereka pindah ke Mampang, Jakarta Selatan, dan Pondok Rangon di pojok timur Jakarta. Saat ini tinggal lima peternak yang masih bertahan di kaki-kaki gedung pencakar langit Kuningan. Mereka jadi penanda bahwa peternakan di Kuningan pernah ada.

Penggusuran kampung Betawi menjadi cerita yang sejak awal mengiringi pembangunan kota Jakarta. Bernard RG Dorleans memperkirakan, pada periode 1970 hingga 1980-an ketika pembangunan besar-besaran dilakukan, sekitar 1 juta orang tergeser dari kampung-kampung di Jakarta ke permukiman-permukiman yang baru dibuka di daerah Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jakarta Batavia: Esai Sosio-Kultural, 2007).

Tergesernya orang Betawi dari Jakarta terlihat jelas dalam hasil Sensus Penduduk 2000. Di kawasan Condet yang pada tahun 1976 dicanangkan sebagai cagar budaya Betawi, jumlah etnis Betawi tinggal 1,5 persen dari keseluruhan jumlah penduduk. Wilayah yang masih dihuni oleh banyak orang Betawi tinggal Jakarta Pusat dan Barat sekitar 30 persen serta Kepulauan Seribu (80 persen). Orang Betawi justru mendominasi jumlah penduduk Kabupaten Bekasi hingga 50 persen dan Depok 34 persen (Kompas, 18/6/2005).

Secara keseluruhan, total jumlah orang Betawi yang tinggal di Jakarta tahun 2000 sebanyak 2.301.587 jiwa. Kurang sedikit dibandingkan dengan orang Betawi yang tinggal di Tangerang, Depok, dan Bekasi, yakni 2.339.083 jiwa. Sebagian dari mereka pindah ke daerah pinggiran, terutama pada periode 1970 hingga 1980-an ketika banyak penggusuran terjadi.

Sebagian dari mereka sudah pasti orang Betawi. Salah seorang di antaranya adalah orangtua Keristiawan yang digusur dari kawasan Tulodong dan pindah ke Ciledug, Tangerang.

Jumlah orang Betawi di Jakarta tahun 2000 tinggal 30 persen dari seluruh jumlah penduduk Jakarta. Angka ini menurun drastis dibandingkan dengan tahun 1930 di mana jumlah mereka mencapai 54 persen dari penduduk Jakarta. Orang Betawi harus menerima kenyataan sejak tahun 1961, jumlah pendatang, terutama dari daerah Sunda dan Jawa, lebih banyak daripada mereka.

Apa dampak dari minggirnya orang Betawi terhadap kuliner Betawi?

Ketika orang Betawi makin ke pinggir, makanannya pun ikut minggir. Menu gabus pucung dan gabus pecak, misalnya, sudah sangat sulit ditemukan bahkan di wilayah Betawi pinggir yang menjadi ”habitat” menu tersebut. Mengapa? Sebab, sawah dan rawa yang menjadi habitat gabus telah berubah jadi perumahan mewah, pabrik, atau mal. Sementara itu, sungai yang dulu berair coklat kini jadi comberan.

Menu lain yang nyaris punah adalah semur kerbau andil. Menu yang jadi hidangan andalan saat Lebaran itu lenyap seiring dengan lenyapnya tradisi patungan atau andilan membeli kerbau untuk disembelih satu-dua hari menjelang Lebaran. Firdaus, di Cakung, Jakarta Timur, menceritakan, daging kerbau itu dibagi rata sesuai uang andil yang disetorkan.

”Biasanya uang andil itu dicicil enam bulan. Saya dulu selalu ikut andilan. Sekarang udah enggak ada lagi. Orang Betawinya udah pada enggak ada, tercerai berai ke beberapa daerah,” ujar Firdaus.

Mpok May menambahkan, tradisi itu pernah dihidupkan lagi tahun lalu di beberapa kampung Betawi di Ciputat. ”Tapi peminatnya sedikit. Kebo-nya sekarang mahal banget, orang Betawinya kagak semuanya mau ikut. Jadi andilannya gede. Lha, mending beli daging sapi aja di supermarket yang harganya murahan,” kata Mpok May.

Menu Betawi lain yang tampaknya benar-benar lenyap dalam daftar menu Betawi adalah sayur bebanci. Menu itu mirip gulai dengan serutan kelapa muda di atasnya. Biasanya dimakan dengan ketupat.

Ada makanan yang hilang, ada makanan yang datang. Kaum pendatang yang mengadu nasib di Jakarta sebagian besar membawa serta makanannya. Mari kita lihat bagaimana warung tegal (warteg) bisa tersebar di hampir seluruh pelosok Jakarta.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO Pengunjung memadati tempat makan Urban Kitchen di Mal Central Park, Jakarta. Mal kini menjadi lahan pertarungan aneka jenis makanan.
Cerita dimulai tahun 1960-an ketika Jakarta mulai membangun. Saat itulah, buruh-buruh bangunan didatangkan dari sejumlah daerah di Jawa ke Jakarta. Bersamaan dengan mereka, datang pula pedagang nasi rames generasi pertama terutama dari Desa Sidokaton, Tegal. Mereka biasanya membuka warung darurat di sela-sela lokasi proyek atau pinggir jalan raya. Target pasar mereka sangat jelas: buruh proyek (Kompas, 19/2/1997).

Generasi kedua pedagang warteg selanjutnya mengincar lokasi berdagang yang lebih ramai, seperti perempatan jalan dan pasar. Tahun 1990-an, bermunculan warteg di Jalan Palmerah, Pasar Senen, Tanah Abang, hingga mendekati kawasan ring satu di Kebon Sirih.

Lapo tuak juga masuk seiring dengan terbentuknya komunitas-komunitas Batak di Jakarta. B Ginting (50), pemilik lapo tuak di Cililitan, mengatakan, ”Di mana banyak orang Batak, di situlah lapo muncul. Sebab, lapo itu bukan hanya tempat makan, tapi juga tempat sosialisasi orang Batak,” katanya.

Tidak heran jika deretan lapo tuak kini hadir di Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur, di depan Kampung Mayasari yang dihuni orang Batak Toba, Karo, Pakpak, Mandailing, Simalungun, hingga Angkola. Aroma daging panggang dan alunan lagu Batak yang melankolis kini mewarnai kawasan itu sepanjang hari.

Semakin beragam imigran yang datang, semakin beragam pula makanan yang masuk ke Jakarta. Tidak heran jika sangat banyak makanan yang kini mengepung Jakarta, mulai dari nasi padang, pecel lele, sate madura, coto makassar, soto banjar, bahkan beberapa tahun terakhir ada yang menjual papeda-ikan kuning papua di Kelapa Gading. Makanan-makanan dari negeri seberang juga berlomba masuk ke Jakarta.

Setelah makanan Barat, seperti piza, burger, ayam goreng, dan donat, masuk ke Jakarta akhir tahun 1970-an hingga 1980-an, kini merangsek makanan-makanan Jepang dan Korea. Bahkan, restoran yang menjual masakan dari negeri tertutup seperti Korea Utara pun muncul di Jakarta. Namanya Restoran Pyongyang di Jalan Gandaria 58.

Jakarta benar-benar menjadi arena ”pertempuran” berbagai makanan. Dan, arena pertempuran paling seru ada di mal. Masuklah ke pusat makan dan jajan Eat & Eat di sejumlah mal di Jakarta, Anda akan menemukan tahu gejrot berebut pembeli dengan ramen korea.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Warga memilih bacang yang hendak dibeli dari pedagang makanan kecil di kawasan Pasar Lama, Tangerang, Banten, Sabtu (11/5/2013). Saat ini, bacang yang menjadi bagian dari ritual masyarakat Tionghoa itu menjadi santapan sehari-hari warga.
Makanan Betawi tentu saja ikut dalam pertempuran tersebut. Warung-warung makan betawi tidak lagi hanya berlokasi di pinggir jalan, tetapi juga masuk ke mal-mal mewah, seperti Gandaria City, Senayan City, Mal Kelapa Gading, Grand Indonesia, dan Pacific Place. Bahkan, makanan Betawi juga dihidangkan di restoran mewah Tugu di Gedung Kunstkring, yang di zaman Belanda berfungsi sebagai gedung pusat seni.

Di restoran itu, tamu diajak mencicipi pengalaman makan malam tuan dan nyonya Belanda dengan menu rijsttafel betawi. Awal Juni, 12 sosialita Jakarta yang serba gemerlap duduk dilayani 14 pelayan. Para pelayan itu berbaris membawa nampan dan pikulan berisi aneka menu rijsttafel mulai dari nasi uduk, tempe kering, udang goreng, hingga sayur oyong.

”Ibu-ibu yang cantik silakan menikmati hidangan,” kata seorang pelayan ketika semua menu dihidangkan.

Para sosialita memandang semua menu itu dengan takjub. ”Kelihatannya enak. Sok atuh dituang,” katanya dalam bahasa Sunda.

Sosialita yang lain menimpali dengan bahasa Manado, ”Ayo jo, ngana yang makan dulu.”

Begitulah, beragam manusia, makanannya dari Sabang sampai Merauke, dari Tanah Abang sampai Rawabangke, berkumpul di Jakarta. Mereka bagai mozaik-mozaik yang membentuk wajah Indonesia. Tidak salah jika Lance Castles mengatakan, ”Tuhan sedang menciptakan Indonesia di Jakarta.” (Windoro Adi/Indira Permanasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com