Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemasaran Tenun Ikat Rote Ndao Tersendat

Kompas.com - 21/07/2013, 09:58 WIB
SEBANYAK 35 keluarga di Dusun Ndao, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, masing-masing memiliki kain sarung berkisar 50-100 lembar. Namun, kain tenun ikat ini tidak bisa dipasarkan ke luar Rote. Mereka kesulitan mendapatkan informasi tentang pemasaran.

Rumah tinggal penenun itu sangat sederhana. Jika musim hujan, atap rumah bocor sehingga air masuk sampai ke tempat tidur. Rumah itu sekaligus dijadikan tempat memasak sehingga seluruh ruangan yang berukuran 5 meter x 6 meter persegi itu pun penuh asap dan menjadi hitam. Kawasan itu digenangi air dan lumpur saat musim hujan.

Mereka semata-mata bergantung pada hasil membuat tenun ikat. Jika ada pembeli yang mampir, mereka berbahagia karena hasil tenunan laku terjual.

Stefanus Duli (54), warga Dusun Ndao di Ba’a, ibu kota Kabupaten Rote Ndao, beberapa saat lalu, mengatakan, memasarkan tenun ikat menjadi tugas kaum pria. Namun, membawa kain itu ke luar Rote memerlukan dana tak sedikit untuk ongkos angkut dan biaya penginapan.

Jika setiap kepala keluarga menyimpan 50-100 lembar kain tenun ikat, terdapat sekitar 1.750- 3.500 lembar kain di dusun itu. Produksi terus berjalan.

Tuntutan adat

Bahan baku untuk menenun, seperti benang dan pewarna, dibeli dengan dana dari kegiatan proyek padat karya serta dari penjualan tangkapan ikan, hasil kerajinan tangan berupa gelang dan cincin dari akar bahar, dan kulit penyu. Tradisi menenun kaum perempuan Ndao tidak bisa ditinggalkan karena merupakan tuntutan adat.

Di dusun itu, kain tenun dijual Rp 50.000-Rp 300.000 per lembar. Namun, paling satu bulan hanya dua lembar kain dari setiap keluarga yang laku dibeli. Sebagian besar kain tetap menumpuk di rumah.

Duli lalu memperkenalkan 75 lembar kain tenun ikat yang disimpan di dalam lemari keluarga. Kain itu ditenun anggota keluarganya di Pulau Ndao, lalu dikirim kepada Duli di Dusun Ndao, sementara sekitar 50 lembar lain dikirimkan ke anggota keluarga di Kupang.

”Jangankan di dusun ini, di Kupang saja, jarang laku. Padahal, kami sudah menyesuaikan kain itu sedemikian rupa agar layak dijadikan kemeja, rok, jas, dan pakaian lain,” kata Duli.

Hanya di Kupang ada kebijakan dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Kota Kupang, yaitu setiap pegawai negeri sipil (PNS) memakai baju dari tenun ikat pada hari tertentu. Namun, setiap PNS wajib mengenakan kain dengan motif dari daerah asal masing-masing. Untuk motif Rote Ndao, ada penenun asal Ndao yang berdiam di Kota Kupang.

Di Rote tidak ada kebijakan PNS mengenakan seragam tenun ikat itu. Kalaupun ada, biasanya diambil dari penenun di Kupang. Hasil kerajinan tenun ikat di Rote tidak diperhatikan sama sekali.

Ia mengatakan, penenun tidak mau apabila hasil tenunan itu diambil pengusaha dari Kupang dengan harga murah. Biasanya pemilik rumah cenderamata atau pedagang di Kupang meminta harga Rp 10.000-Rp 150.000 per lembar sarung. Harga itu dinilai terlalu murah sehingga ditolak.

”Biaya produksi satu kain saja Rp 200.000, yaitu untuk membeli benang, pewarna, alat tenun, dan fasilitas pendukung lain. Jumlah itu tidak termasuk tenaga penenun,” kata Duli.

Kelompok pun bubar

Ny Maria Nelo (43), penenun di Ndao, mengatakan, dusun itu pernah membentuk kelompok usaha tenun ikat, tetapi kemudian bubar karena tidak ada kerja sama antar-penenun. Beberapa penenun menginginkan agar uang hasil penjualan kain dan hasil karya sepenuhnya menjadi milik penenun. Penenun lain menghendaki uang itu menjadi milik kelompok.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA Tenun Ikat khas Pulau Inandao Kabupaten Rote Ndao, dipajang disamping rumah di desa wisata kampung Inandao, Baa, ibu kota Rote Ndao. Kampung ini selalu dikunjungi wisatawan, membeli tenun ikat khas Inandao dan berbagai cinderamata lainnya
Penenun tidak pernah mendapatkan bimbingan atau pembinaan dari pemerintah. Pembinaan lebih banyak diberikan kepada perajin anyaman topi tiilangga, topi khas Rote, dan perajin alat musik sasando. Sebab, tenun ikat dinilai mudah ditemukan di wilayah NTT.

Pemerintah Kabupaten Rote Ndao tidak memahami tenun ikat Ndao memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Keterampilan tenun ikat Ndao adalah warisan nenek moyang yang harus terus dilestarikan.

”Kalau Pemkab Rote Ndao menghendaki daerah itu menjadi pusat wisata, tenun ikat Ndao pun harus dilestarikan. Tamu ingin agar tenun ikat daerah ini pun diperkenalkan di luar NTT,” kata Nelo.

Direktur Yayasan Masyarakat Pinggiran NTT Marianus Minggo mengatakan, perhatian pemerintah terhadap kerajinan tenun ikat di 22 kabupaten/kota di NTT sangat terbatas. Keterlibatan pemerintah daerah hanya sebatas mengutus satu atau dua perajin yang ditunjuk begitu saja mengikuti pameran di luar NTT. Itu pun selalu atas undangan Kementerian Perindustrian atau Kementerian Perdagangan.

Potensi tenun ikat di NTT amat besar, tetapi manajemen pemasaran tidak jelas. Padahal, tenun ikat ini termasuk komoditas khas, unik, dan mudah diminati masyarakat, baik di NTT maupun di luar NTT.

Intervensi pemerintah terkait pemasaran ini sangat dibutuhkan. Minat menenun masyarakat NTT sangat tinggi dan merupakan potensi daerah. Selama ini, potensi tenun ikat hanya dibicarakan, tetapi belum ada upaya agar penenun bisa mendapatkan kesejahteraan dari kegiatan itu.

Menurut Marianus, harus ada kebijakan mewajibkan masyarakat mengenakan pakaian tradisional itu. Selain PNS dan pejabat, anak-anak sekolah pun wajib mengenakan seragam dari kain tradisional itu.

Ia mengatakan, ada sekitar 676 motif tenun ikat di NTT yang tersebar di 21 kabupaten/kota. Motif itu berbeda-beda dengan warna dasar berbeda pula. Namun, perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual masyarakat NTT belum ada. Sebagian motif tenun ikat NTT sudah ditiru di daerah lain.

Sampai kini, pemerintah tidak memiliki data jumlah tenun ikat yang diproduksi warga NTT setiap bulan. Namun, jumlahnya dipastikan puluhan ribu lembar per bulan. Ketua Rumah Produksi Tenun Ikat Kupang Ny Lusia Inandao mengatakan biasa mengambil hasil karya penenun dari Ndao dan daerah lain. Namun, sejak 2006 ia mulai membatasi pembelian dari perajin. (Kornelis Kewa Ama) 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com