Hari masih pagi, awal Juni lalu, ketika para penghuni tenda yang telah semalaman berkemah di kawasan Ranu Kumbolo beranjak. Sebagian pencinta alam atau mereka yang datang untuk sekadar mengisi libur itu kemudian meneruskan pendakian ke puncak Mahameru—sebutan bagi puncak Gunung Semeru yang menjulang gagah—dan sebagian lainnya turun menuju pintu gerbang pendakian di Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Meski hanya sesaat, bermalam di Ranu Kumbolo menjadi penghapus lelah yang mujarab sekaligus tempat mempersiapkan langkah berikutnya. Bagi sebagian besar pendaki, menginap di tepian danau yang berada pada elevasi 2.400 meter di atas permukaan laut itu seolah menjadi ”kewajiban”. Kurang afdal rasanya kalau tidak beristirahat di tempat itu.
Sayangnya, aktivitas ratusan orang yang berkumpul di sebuah tempat dalam satu waktu yang sama kerap menghasilkan persoalan, salah satunya sampah. Karena itu, beberapa kali petugas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) harus mengingatkan agar pendaki dan siapa saja yang ada di tempat itu membawa turun kembali sampah mereka, seperti botol air mineral dan plastik bungkus mi instan.
Belum lagi masalah perkembangan jumlah penduduk yang menuntut adanya permukiman bagi keluarga baru. Saat ini, tercatat ada sekitar 60 desa penyangga yang bermukim di sekitar kawasan TNBTS. Desa itu tersebar di empat wilayah administrasi, meliputi Kabupaten Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Bukan tidak mungkin 10-15 tahun lagi ribuan warga yang ada di desa-desa itu akan bertambah pesat.
Seperti taman nasional dan hutan lindung di daerah lain yang terancam kegiatan perambahan, masalah serupa juga bisa dialami TNBTS. Perambahan yang dilakukan masyarakat menjadi keniscayaan akibat interaksi langsung yang terjadi di antara keduanya.
Kepala TNBTS Ayu Dewi Utari mengatakan, perambahan wilayah taman nasional di daerahnya saat ini masih cukup kecil, hanya sekitar 1 persen dari luas wilayah. Perambahan terjadi di bekas lahan Perusahaan Umum (Perum) Perhutani yang dahulu merupakan hutan produksi, yang kemudian dialihkan menjadi kawasan konservasi.
”Perambahan biasanya ada di daerah sekitar itu. Mengapa demikian? Hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani biasanya diperkenankan untuk dikelola masyarakat dalam bentuk penanaman lahan di bawah tegakan. Jadi, mengubah pola pikir masyarakat, mengenalkan bahwa sekarang lahan ini tak boleh dikelola lagi karena telah menjadi kawasan konservasi, tidak mudah. Tidak bisa serta-merta,” ujarnya.
”Ada beberapa titik, tetapi apa pun itu akan mengganggu. Jika titik itu dibiarkan akan menjadi masif dan mengganggu kelestarian hayati di taman nasional bila tidak dicegah. Mengenai tindakan, begitu ada titik kami langsung preventif masuk sehingga tidak sampai meluas. Pendekatannya, kami langsung ke masyarakat, cek lapangan, ngobrol dengan mereka soal aturan, dan lainnya,” ujar Ayu.
Berbeda
Karena itu, Ayu sependapat bahwa salah satu cara untuk menjaga keberlangsungan TNBTS adalah melalui ekowisata. Taman nasional ini memiliki ekosistem spesifik yang berbeda dengan daerah lain. Bromo Tengger Semeru memiliki perubahan ekosistem yang luar biasa, mulai dari lautan pasir, savana, hingga hutan hujan.
Belum lagi kekayaan dari sisi flora dan fauna. Tidak heran kalau daerah ini sudah jadi magnet wisata sejak dahulu. Yang perlu dilakukan saat ini, tinggal mengemas dan memantapkan apa yang telah ada.
Sebagai gambaran, dalam rangka memantapkan itu, TNBTS kerap mengirimkan warga sekitar untuk studi banding ke daerah lain, terutama akhir-akhir ini. Salah satunya ke DI Yogyakarta guna mempelajari desa wisata. Dari situ diharapkan masyarakat bisa terberdayakan dan nantinya bisa bersimbiosis secara apik dengan alam.
Soal ekowisata, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Basah Hernowo berpendapat, manfaat yang diperoleh masyarakat akan jauh lebih besar bila ada ekowisata ketimbang bila mereka hanya mengandalkan pemanfaatan lahan berdasar kepentingan ekonomi. Selain sifatnya kontinu, kelestarian alam juga lebih terjaga jika melalui ekowisata.
”Pemanfaatan lahan berdasar kepentingan ekonomi ada keterbatasannya. Nilainya juga hanya segitu-segitu saja. Misalnya, petani punya lahan 2.500 meter persegi, kalau ditanami komoditas tertentu paling-paling hasil panenannya cuma berapa. Kalaupun harga komoditas yang ditanam saat itu naik, tetapi di sisi lain alamnya juga terganggu. Jadi lebih baik pemanfaatan sisi ekowisata,” katanya di pos pendakian Ranu Pani sebelum mendaki Semeru keesokan harinya.
Disinggung mengenai ekowisata yang bagaimana untuk wilayah TNBTS, Basah mengatakan, pihak taman nasional memiliki tugas melakukan konservasi, melindungi, dan mengawetkan. Yang berperan dalam ekowisata nantinya adalah masyarakat. Masyarakat harus bisa hidup harmonis dengan taman dan tidak merusaknya. Pihak taman hanya melakukan penataan, menjembatani apa saja yang diperlukan masyarakat.
”Kita akui bahwa saat ini sektor kehutanan hanya dapat anggaran Rp 46.000 per hektar per tahun. Ini sangat rendah dan tak mungkin buat kami untuk menjaga semua hutan. Jadi, dengan anggaran yang terbatas itu kita coba perbaiki. Partnership dengan masyarakat yang ada itu sangat penting,” tuturnya. (WER)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.