Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Balong, Lumbung Pangan Priangan

Kompas.com - 27/07/2013, 12:36 WIB
Amut sareng Dulah keur arulin sisi kulahKeur maraban lauk ku bungkil suuk jeung huut (Amut dan Dulah sedang bermain di samping kolam,sedang memberi makan ikan dengan bungkil kacang tanah dan dedak halus)

Itulah syair kawih (lagu) anak-anak Sunda, syair kawih yang kini tidak pernah terdengar lagi. Padahal, tiga atau empat dekade lalu, anak-anak di Priangan Timur; Tasikmalaya, Garut, Ciamis, dan sekitarnya, biasa menyenandungkannya saat mereka berada di tepi kulah atau kolam tempat memelihara ikan.

Bercerita mengenai dua anak bernama Amut dan Dulah yang sedang bermain di tepi kolam, kawih tadi menunjukkan betapa akrab anak dengan kulah. Bungkil suuk adalah ampas kacang tanah yang digunakan sebagai bahan baku membuat oncom, sedangkan huut atau dedak halus adalah ampas padi yang sudah digiling. Kedua jenis ampas ini merupakan makanan ikan.

Kulah adalah kolam tempat memelihara ikan berukuran kecil yang biasa ada di belakang atau samping rumah-rumah penduduk Jawa Barat, khususnya di Priangan Timur. Adapun yang lebih luas dari kulah disebut balong, yang ukurannya bisa lebih luas dari luas rumah itu sendiri.

Di sebagian wilayah Priangan Timur, kulah atau balong tidak dapat dipisahkan dari warga. Di mana ada air mengalir atau ”air hidup”, maka pekarangan itu menjadi tempat terbaik membuat kulah atau balong.

Air yang mengalir adalah jaminan tumbuhnya ikan peliharaan di kulah atau balong. Seluruh permukaan kulah atau balong akan berwarna coklat bening dengan ikan yang tumbuh cepat di dalamnya.

Ikan-ikan segala ukuran itu lah yang berkeriapan di balong milik Acep Zamzam Noor (53), cucu pendiri Pondok Pesantren Cipasung, KH Ruhiat, di Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Balong yang terletak tepat di halaman belakang rumah itu diteduhi pohon rindang.

Dengan serok di tangan, Acep lantas menebar huut yang segera dilahap beragam ikan seperti mas, mujair, dan gurami.

Di dapur yang berbatasan langsung dengan balong, Acep menunjukkan cara membuat masakan khas pesantren deungeun santri alias DS. Ketika nasi liwet masih berair, Acep menaburkan oncom dan meletakkan ikan peda di atas campuran nasi oncom.

Begitu nasi liwet DS matang, Acep mengajak beberapa santri bersantap di tepi balong. Nasi DS terasa begitu nikmat dimakan hangat-hangat beralaskan selembar daun pisang utuh sambil menikmati gemericik air yang dialirkan dari sungai jernih di depan rumah ke balong milik Acep. ”Orang Sunda memang identik dengan budaya makan ikannya,” kata Acep.

Turun temurun

Kebiasaan warga memelihara ikan juga masih bisa dilacak di Desa Ciawi atau desa Pakemitan yang saling bertetangga di Kabupaten Tasikmalaya. Suami-istri, Ending Zainuddin dan Cucu, serta Agus dan Euis Holilah, adalah beberapa contoh saja. Persis di belakang rumah mereka, terdapat kulah seluas rumah. Di rumah Agus-Holilah, kulah atau balong bahkan ada di belakang dan depan rumah mereka karena air sungai mengalir deras tanpa pernah kering.

”Seingat saya, kakek saya sudah terbiasa memelihara ikan di kulah di belakang rumah, hanya untuk lauk-pauk saja,” kata Ending saat kami temui beberapa waktu lalu. ”Ini kebiasaan orang tua dan karuhun, saya tidak pernah menjual ikan peliharaan selain untuk menyantapnya,” ungkap Euis mengenai keberadaan kulah atau balong miliknya.

Ikan air tawar adalah menu utama masyarakat Priangan Timur. Bila balong mereka gunakan untuk mencari uang dengan menjual ikan kepada pedagang keliling menggunakan kojang, untuk lauk-pauk sehari-hari mereka memanfaatkan kulah yang lebih kecil. Caranya dengan menggunakan ayakan atau sair bongkok. Sementara mengambil ikan di balong yang lebih luas menggunakan alat memancing yang disebut useup dilengkapi jeujeur dengan umpan terkait di mata kail. Kalau dengan nguseup ikan sulit didapat, maka dilakukan nyirib atau ngecrik menggunakan jaring yang dianyam.

Ngabedahkeun adalah cara menangkap ikan dengan membuang air kolam tempat memelihara ikan. Kebiasaan ini dilakukan jika menghadapi hajatan besar seperti khitanan atau menikahkan. Gelondongan bambu yang disebut kuluwung di mana penyekat bukunya sudah dijebol biasa diletakkan di dasar kolam. Tujuannya untuk dijadikan tempat persembunyian ikan sehingga saat ngabedahkeun tiba kuluwung itu tinggal diangkat. Ikan yang terperangkap di dalam kuluwung itu tidak bisa melarikan diri.

Memelihara ikan gurami wajib hukumnya, sebab ikan yang beratnya bisa mencapai 10 sampai 15 kilogram ini akan menjadi ”pajangan” wajib sahibul hajat. Pada masa lalu, setelah digoreng kering, gurami besar dihiasi sebagaimana kaum perempuan menghiasi kue bolu. Sekarang masyarakat tetap memelihara gurami baik untuk dikonsumsi maupun dijual.

Selain gurami, jenis ikan yang mereka pelihara antara lain ikan mas, nilem, sepat, rambak, tawes, nila, dan mujair. Belakangan ikan sepat, rambak, dan tawes sudah tidak dipelihara lagi. Ikan nila baru satu dekade lalu dipelihara dan dibudidayakan. Mujair biasa disebut ikan haram karena tanpa memelihara pun ia hidup dengan sendirinya sebagaimana jenis ikan yang lebih kecil seperti beunteur, burayak, berenyit, jeler, lele, dan betok. Sekarang masyarakat terbiasa memelihara lele dumbo, kakap tawar, dan patin, yang tidak termasuk ”ikan asli” Jawa Barat. Bukan untuk dimakan, tetapi untuk dijual.

Siap santap

Namanya juga untuk lauk-pauk, tidak sulit bagi masyarakat Jawa Barat mengolah ikan dari balong sehingga menjadi makanan siap santap. Pada masa lalu tatkala keletik (minyak goreng) masih dianggap barang mahal, ibu-ibu biasa mais atau membuat pepes ikan. Ikan yang telah diberi bumbu dibungkus daun pisang untuk kemudian dibubuy atau dibenamkan ke dalam bara api dari hawu (tungku). Untuk menjaga bara tetap menyala, biasa digunakan songsong untuk mengalirkan udara yang berasal dari tiupan mulut. Songsong terbuat dari buluh bambu sepanjang 30 sentimeter.

Sekarang tatkala hawu sudah tergeser kompor gas, kebiasaan mais sudah tidak ada lagi, tetapi ikan diseupan atau dikukus. Mau lebih praktis lagi, ikan digoreng saja. Selain dipais (dipepes) atau diseupan (dikukus), ketiadaan minyak goreng diakali dengan cara mindang, yakni merebus ikan menggunakan kastrol sampai kering tak berkuah dan tulang-belulang ikan benar-benar menjadi lunak.

KOMPAS/PRIYOMBODO Pepes Tahu, menu Warung Jeruk Ciamis, Jabar.
Ikan yang melimpah dari balong dan kadang tidak bisa dihabiskan sekali makan, biasa dikere atau dibuat dendeng dengan cara membelah tubuh ikan atau digugubar untuk kemudian menjemurnya di bawah panas matahari sampai ikan itu kering. Lauk kere dengan bumbu ketumbar mendominasi ini bisa tahan lama disimpan untuk digoreng di kemudian hari.

Yang khas dari masyarakat Sunda, menurut Acep, memang terletak pada makanan rakyatnya, termasuk olahan ikan yang sangat mudah dibuat. Kesederhanaan makanan rakyat ini merepresentasikan sifat rakyat Sunda yang spontan, jujur, ekspresif, dan tidak terbebani oleh norma-norma yang dipegang kaum feodal.

Budidaya ikan di Tasikmalaya sebenarnya sempat melimpah ruah dan terpusat di Singaparna. Namun, kini budidaya ikan di wilayah tersebut sudah banyak yang hancur karena kerusakan lingkungan akibat pertambangan pasir yang membabat habis perbukitan di sekitar Gunung Galunggung.

”Pemerintah sudah tidak punya wawasan tentang alam. Tidak mengambil inspirasi dari masa lalu, hanya tunduk pada keuntungan pribadi,” ujar Acep.

Balong dan kulah di tlatah Sunda menjadi salah satu indikator tentang kelestarian alam. Jika alam benar-benar telah rusak, balong dan kulah mungkin hanya tinggal kenangan, sama seperti nasib syair kawih Sunda tentang Amut dan Dulah.. (Pepih Nugraha dan Mawar Kusuma)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com