Setampah besar nasi deungeun santri di dapur Acep Zamzam Noor (53) di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, merebakkan aroma oncom. Wujudnya khas, semua serba kecoklatan dan tercampur aduk satu sama lain.
”Karena orang Sunda suka meringkas, deungeun santri biasa disebut nasi DS. Ini istimewa karena lahir dari kebiasaan santri memasak. Zaman dulu, santri kan hanya mengaji, punya banyak waktu untuk memasak sendiri,” kata Acep, anak almarhum KH Ilyas Ruhiat dari Pondok Pesantren Cipasung, yang juga penyair terkenal itu.
Di tepi balongnya, Acep dan sejumlah santri duduk melingkar dan makan bersama dari tampah yang sama. Tangan Diwan Maldini (15), Muhammad Robbie (16), Hanudy Ramdani (15), Banan Syamsudin (13), dan Dindin Jadit (18) bergantian menjumput nasi DS.
Tiap santri sudah mencomot potongan ikan peda dan menaruhnya bersama sesendok sambal di pinggir tampah agar aman dari comotan tangan lainnya. Nasi yang disajikan adalah nasi liwet, padat menggumpal, sedikit gurih. Oncom memberi rasa segar, mengimbangi rasa asin ikan peda.
Diwan, Robbie, Hanudy, dan dua temannya tak banyak bicara. Mereka sibuk menyantap DS. ”Ini kami sekalian makan siang,” kata Diwan malu-malu.
Nasinya lelaki
Nasi liwet memang andalan untuk urusan kepraktisan hingga identik sebagai nasinya lelaki. Orang juga mengidentikkan nasi liwet dengan kastrol, periuk aluminium ”zadul” yang menjadi alat ”meramu” nasi liwet.
Seberapa merakyatnya nasi liwet bisa dilihat di sejumlah pinggiran kota di Jawa Barat. Pada masa setelah panen padi, masih banyak terlihat deretan orang duduk ditemani cangkul, linggis, dan kastrol. Merekalah para pekerja musiman yang coba mencari tambahan rezeki di kota.
”Kastrol itu barang wajib buat buruh musiman, sama pentingnya dengan cangkul dan linggis,” ujar Ending Zainuddin (62). Saat merantau jadi mandor buruh bangunan, Ending pun mengandalkan nasi liwet.
”Cara memasaknya paling gampang. Cukup dengan satu kastrol diisi beras dicampur garam secukupnya, minyak kelapa secukupnya, selembar daun salam, dan sebatang serai, lalu ditaruh di perapian. Lalu tinggal saja, asal jangan sampai hangus. Begitu matang, bakal siap disantap. Itu menu andalan waktu muda, saat saya jadi mandor buruh bangunan di Pangandaran,” kata Ending.
Acep menyebut nasi liwet adalah contoh sifat praktis orang Sunda, yang egaliter, spontan, dan apa adanya. ”Nasi liwet serupa dengan kebiasaan orang Sunda menyantap lalap. Orang Sunda spontan, memanfaatkan apa yang ada di alam, dan tidak suka berbelit-belit. Dalam cara bersantapnya pun seperti itu, praktis,” kata Acep.
Canggih
Di dapur rumahan, nasi liwet memang dimasak dengan cara yang lebih canggih, dengan beragam bumbu. Aam (62), warga Ciawi, Tasikmalaya, misalnya, punya ”takaran pakem” untuk meramu nasi liwet. Takarannya pun berdasarkan nomor kastrol, yang menunjukkan daya tampung kastrol itu, jauh berbeda dengan ”Ending yang ”serba secukupnya”. Nasi liwet ala Aam pun tak bisa dimasak hanya dengan satu periuk.
”Untuk kastrol nomor 6, berasnya dua kilogram, direndam air, lebihkan tinggi air satu setengah ruas jari dari permukaan beras. Lalu tumis bumbunya, yaitu irisan seperempat kilogram bawang merah, 1 ons cabai merah, dan 1 ons tomat. Tambahkan salam dan serai dalam tumisan. Masukkan bumbu tumisan dalam rendaman beras, tinggal dimasak. Jangan lupa imbuhkan garam,” kata Aam.
Di kalangan rumahan, para ibu seperti Aam malah sudah piawai memasak nasi liwet dengan rice cooker. ”Namun, lezatnya tidak pernah menyamai nasi liwet kastrol. Ada wangi yang khas ketika nasi liwet dimasak dengan kastrol, dengan memakai perapian,” kata Aam.
Versi rumit
Meski praktis dan senang untuk serba mudah dan cepat, bukan berarti kuliner Sunda tak mengenal aneka bumbu yang diolah rumit. Orang Sunda yang serba praktis juga piawai mengolah aneka ampas.
Sebut saja, galendo, alias olahan ampas minyak kelapa. Sempat disia-sia sebagai kotoran minyak kelapa, galendo kian diburu. ”Dulu, galendo hanya dimakan sebagai teman nasi,” kata H Endut Rohadi (60), yang memproduksi Galendo H Endut.
Olahan rumit lain adalah proses peragian bungkil atau ampas minyak kacang tanah dan ampas tahu menjadi oncom. Itulah bahan campuran deungeun santri atau DS lezat di tepi balong Acep. Saat dicampurkan dengan DS, oncom sepertinya sesederhana DS, padahal peragian oncom jauh lebih rumit.
”Bungkil harus direndam 12 jam, dicampur dengan ampas tahu, lalu dikukus, dan ditiriskan. Setelah dingin, baru bisa dicampur ragi tempe, dan diinapkan untuk proses peragiannya. Oncom kami menjadi bahan beragam masakan, mulai dari tutug oncom, DS, sampai combro,” kata Iwa Rustiwa, pembuat oncom di Ciawi.
Olahan berbagai bahan pangan, mulai dari yang ringkas sampai yang rumit, sama-sama menghasilkan kelezatan. Bau oncom dari DS itu, duh.... (Aryo Wisanggeni/Mawar Kusuma)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.