Puluhan anak muda memenuhi dua lantai kafe di Jalan Setiabudi, Bandung. Dari pusat kota Bandung menuju Lembang, kafe ini berada di sisi kiri jalan, di sekitar Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung yang populer dengan nama NHI (dibaca En-hai).
Minuman ringan dan live music yang membuat tubuh bergoyang menjadi warna di tempat itu setiap malam. Namun, ada yang berbeda di kafe yang oleh pemiliknya diberi nama warung, yaitu Waroeng Setia Budi ini.
Alih-alih makanan Barat, seperti piza, nachos, atau kentang goreng, yang biasa menjadi cemilan di kafe, warung ini menyajikan menu tradisional, surabi. Ya, surabi, penganan zaman kakek moyang dulu.
Kue yang dalam bahasa Indonesia disebut serabi ini berbahan utama tepung beras dan santan, dicetak dalam wajan kecil dari tanah liat, dibakar dengan kayu atau batok kelapa. Cara memasak yang tradisional itu dipertahankan Waroeng Setia Budi. Pengunjung yang ingin melihat cara pembuatannya bisa melihatnya di bagian depan warung.
Buat yang ingin menerima lebih banyak kejutan, boleh memesan surabi yang disajikan dalam hotplate. Seperti penyajian steak, Surabi Ciken Stik Saos Blek Peper (namanya ditulis sesuai pelafalannya) adalah surabi yang diberi telur, bawang bombai, dan chicken katsu serta disiram saus lada hitam. Karena beralaskan piring besi panas dengan saus berwarna coklat, surabi pun mendidih ketika disajikan.
Menjebol pakem
Manajer Operasional Waroeng Setia Budi Hendra Permana tak menampik bahwa tempat yang dikelolanya bukanlah perintis surabi versi modern. Dia dan rekan bisnisnya hanya mengikuti selera anak muda Bandung yang tiba-tiba kembali menikmati santapan ”jadul” itu. Adalah Surabi Enhai yang pertama kali memodifikasi surabi sehingga kembali digilai anak muda Bandung.
”Kami mengikuti selera anak muda Bandung dengan menawarkan lebih banyak variasi rasa surabi. Kami meraih perhatian dengan lebih banyak pilihan menu surabi,” ujar Hendra.
Surabi bukan satu-satunya kudapan ”jadul” yang kembali digandrungi gara-gara kepiawaian penjaja kuliner mengutak-atik pakemnya. Rumus melabrak pakem malah sudah jadi jurus baku pebisnis kuliner sejak dulu. Tahun 1930, Bandung melahirkan kudapan baru bernama unik, colenak, hasil utak-atik peuyeum (tape) oleh Aki Murdi.
”Kemasannya diubah, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Modifikasi rasa selalu dilakukan dan hingga kini kami telah memunculkan tiga rasa colenak. Aki Mardi menghadirkan colenak klasik, yang mempertahankan cita rasa peuyeum asli dibakar dan gula kelapa cair. Ibu saya, Supiah (74), menghadirkan colenak rasa durian. Saya menambahinya dengan colenak rasa nangka,” ujar Bety.
Tidak aneh jika tumbuh kembang kuliner di Bandung selalu diwarnai kocok ulang dan pendobrakan pakem aneka kudapan tradisional. ”Aneka kreasi makanan semakin bermunculan setelah krisis moneter 1997 menghasilkan ledakan pebisnis kuliner Bandung. Segala jenis makanan lama diolah ulang dan makanan asing pun bermunculan,” ujar Ibrahim, warga penggiat Komunitas Kuliner Bandung.
Cemilan dari pinggir jalan, seperti cilok (aci dicolok) dan cireng (aci digoreng), bisa jadi contoh. Kalau cilok dulunya melulu aci tanpa isi, kini cilok diberi jeroan, seperti keju, daging ayam, dan kornet. Varian lainnya adalah cimol (dari ujaran aci di-gemol alias dikulum). Cimol disantap dengan beragam perasa dan saus, meninggalkan langgam cilok yang melulu berbumbu kacang.