Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bongkahan Padat Industri Wisata Thailand

Kompas.com - 30/07/2013, 14:56 WIB
JARAK antara kediaman Anchalaa Siripanee dan tempat kami—belasan jurnalis dari Indonesia yang menginap di Hotel Pullman Bangkok, Thailand—hanya sekitar 7 kilometer. Namun, pada suatu pagi awal Mei itu, Anchalaa Siripanee yang memandu perjalanan wisata kami sudah harus berangkat sejak pukul 06.00.

Dia sampai di hotel sekitar setengah jam kemudian untuk memastikan jadwal kunjungan ke sejumlah obyek wisata dimulai tepat pukul 08.00. ”Jika saya berangkat dari rumah pukul 07.00, saya tidak akan bisa sampai di hotel ini pukul 08.00, paling cepat sekitar pukul 08.30,” kata Anchalaa.

Kemacetan di saat jam sibuk membuat Anchalaa mesti taat pada jadwal yang telah disusunnya. Dia berkali-kali mengingatkan soal rencana keberangkatan meskipun tetap saja kami baru mulai beranjak sekitar satu jam dari jadwal semula.

Pagi itu, atas undangan Michelin Indonesia, kami menuju Candi Wat Pho sebagai tempat persinggahan pertama. Lokasi wisata yang juga dikenal sebagai Temple of Reclining Buddha itu berisikan patung Buddha dalam kondisi berbaring.

Dengan tinggi sekitar 15 meter dan panjang sekitar 46 meter, patung itu kerap disalahartikan sebagai bentuk yang mewakili kondisi tidur. ”Padahal, itu bukan tidur, tetapi posisi Buddha tengah berbaring sebelum moksa,” kata Anchalaa.

Untuk masuk, para pengunjung harus melepas alas kaki dan mengenakan pakaian yang sopan dalam ukuran adat orang Timur. Beberapa wisatawan asing terlihat menaruh sejumlah uang logam ke dalam 108 wadah perunggu yang berjajar.

Berdasarkan keterangan dalam laman bangkok.com, Wat Pho merupakan perguruan tinggi pertama di Thailand dengan spesialisasi pada sastra, ilmu pengetahuan, dan agama, serta dengan predikat sebagai pusat pijat tradisional Thailand dengan sejumlah teknik untuk kesehatan dan pengobatan.

Hari itu, rencana kunjungan ke Gems Gallery di Bangkok yang menjual suvenir berupa batu permata terpaksa dibatalkan karena kemacetan lalu lintas. Karena itu, di tengah perjalanan, Anchalaa yang sudah menjadi pemandu wisata sejak tahun 1983 itu selalu mengingatkan tentang pentingnya mengikuti jadwal kunjungan.

Perjalanan akhirnya dilanjutkan ke arah pinggiran aliran Sungai Chao Phraya. Kami menyeberangi sungai terpanjang di Thailand yang bergolak itu dengan sejenis feri perahu yang bergantian mengantar dan menjemput wisatawan.

Tujuan kami adalah Candi Wat Arun atau Candi Fajar yang menjadi ikon Bangkok. Anchalaa menjelaskan, Wat Arun merupakan kawasan seperti pusat kehidupan, terutama sebelum Bangkok ditetapkan sebagai ibu kota negara sejak tahun 1782.

Tinggi candi yang mencapai 67 meter menjadikannya bangunan yang paling terlihat dari kejauhan, terutama pada masa lalu ketika di Bangkok belum banyak gedung pencakar langit. Saat itu, sejumlah wisatawan asyik mengabadikan candi yang dihiasi ornamen berupa mosaik atau pecahan porselen China tersebut.

Belanja

Masih di dalam kawasan candi itu, pengunjung dibawa masuk ke dalam pasar kaki lima penjual suvenir yang disebut Indo Market. Dinamakan begitu karena saking banyaknya pembeli asal Indonesia yang bertransaksi di dalamnya.

Para penjual pada umumnya sudah sangat akrab dengan pembeli asal Indonesia. Ini membuat mereka kerap menggunakan bahasa Indonesia, bahkan mata uang rupiah pun laku dibelanjakan di pasar tersebut.

Baju, kaus, gantungan kunci, dan aneka barang pajangan dijajakan dalam pasar sempit yang membuat para pembelinya niscaya saling bersenggolan tatkala berjalan di kawasan itu. Seorang pedagang, Mhao (38), bahkan berulang kali menyatakan keseriusannya berjualan dengan bahasa Indonesia patah-patah. ”I don’t nipu, ya, karena banyak orang Indonesia belanja,” kata Mhao, yang sudah tujuh tahun berdagang aneka suvenir.

Adalah kegemaran sebagian besar turis asal Indonesia dalam hal berbelanja yang membuat pasar itu dinamakan Indo Market. Soni, pemandu wisata asal Indonesia yang hari itu menemani 16 tamunya dari Indonesia di Indo Market, berpendapat, mengunjungi tempat belanja adalah keharusan.

”Tamu dari Indonesia bisa marah jika tidak dikasih tempat belanja,” kata Soni. Kebiasaan membawa oleh-oleh bagi teman dan kerabat setiap habis mengunjungi suatu tempat yang dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia membuat belanja seperti keharusan.

Soni juga mencatat satu kebiasaan lain yang kerap dihadapinya saat memandu wisatawan asal Indonesia, yakni molor dari jadwal. ”Misalnya saja sudah oke satu jam, ternyata mundur jadi dua jam,” ujarnya.

Museum patung lilin Madame Tussauds dan MBK Shopping Center yang juga berada di Bangkok menjadi tujuan selanjutnya, tentu saja setelah makan siang di sebuah restoran dengan penyajian prasmanan. Kami, sekali lagi, bertemu dengan banyak wisatawan dari Indonesia.

Mereka antara lain berasal dari Medan, Jakarta, dan Bandung yang datang berombongan. Sebagian menggunakan jasa penyedia paket wisata dengan penerbangan promo, seperti salah seorang turis asal Medan yang membeli paket seharga Rp 3,5 juta untuk kunjungan empat hari.

KOMPAS/INGKI RINALDI Sejumlah perahu siap mengantarkan wisatawan melintasi Sungai Chao Phraya di Bangkok, Thailand, awal Mei lalu, guna mengunjungi Candi Wat Arun yang tampak dari kejauhan.
Pentas para penari Calypso Cabaret menjadi penutup kegiatan jalan-jalan yang sangat padat dan dilakukan sejak pagi hingga malam itu. Pertunjukan di Asiatique The Riverfront itu dibawakan sebagian penampil transjender dengan sebagian lakon yang ditunjukkan secara jenaka.

Penonton pentas itu merupakan wisatawan yang berasal dari sejumlah negara. Mereka terlihat antusias menanti giliran masuk untuk menonton pertunjukan tersebut.

Pemandu

Cenderung banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Thailand tidak lepas dari promosi yang gencar. Selain itu, kata Anchalaa, semua orang seperti diperbolehkan untuk memasuki wilayah Thailand.

Itu masih ditambah dengan biaya berwisata ke ”Negeri Gajah Putih” tersebut yang terbilang relatif murah. ”Karena itu, pada tahun 2012 tercatat lebih dari 20 juta wisatawan berkunjung ke Thailand sekalipun pada saat yang sama sedang terjadi krisis keuangan di sejumlah negara,” kata Anchalaa.

Jumlah kunjungan yang demikian besar tentu membutuhkan banyak pemandu wisata. Namun, menurut Anchalaa, hal itu tidak membuat standar perekrutan pemandu wisata berkurang. Justru syarat untuk menekuni profesi itu kini diperketat, yakni harus lulusan perguruan tinggi jurusan pariwisata. Sebelumnya, ujar Anchalaa, syaratnya hanya lulusan perguruan tinggi.

”Syarat lainnya, mereka yang jadi pemandu wisata ialah orang Thailand dan bisa baca tulis aksara Thai,” kata Anchalaa. (Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com