Dinginnya udara Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, saat itu segera terusir oleh panas bara api dari tungku lokomotif kuno bernomor seri E 1060. Beberapa saat berselang, asap putih mulai keluar dari cerobong lokomotif.
Sementara itu, kabin masinis di lokomotif berumur 50 tahun tersebut segera penuh dengan asap hitam yang menyelip keluar dari celah pintu tungku pembakaran. Si Masinis, Bukhari yang bolak-balik ke kabin masinis, tidak bisa menghindari noda hitam partikel batubara yang menempel di sekujur tubuhnya.
”Beginilah kalau jadi masinis kereta uap. Kerjanya berat dan pasti kotor. Untuk memanasi ketel air, perlu waktu minimal 5 jam sebelum kereta dijalankan. Kalau waktu pemanasan kurang, tenaga uap yang dihasilkan juga berkurang,” kata Bukhari sambil tersenyum.
Waktu pemanasan ketel uap ini bisa bertambah bila ada banyak pipa pembakaran yang bocor lantaran besi keropos. Itu pun belum tentu bisa menghasilkan tekanan uap yang cukup untuk menggerakkan kereta. Bila tekanan tidak juga mencapai batas minimal, proses pemanasan ketel diakhiri tanpa sempat lokomotif ini beroperasi.
Kerja keras masinis lokomotif uap ini jauh lebih berat dari masinis kereta diesel. ”Kalau lokomotif diesel, pengendalian kereta banyak dilakukan dengan tombol-tombol. Masinisnya juga tidak menjadi hitam kena asap,” ujar Bukhari yang juga aktif mengemudikan lokomotif diesel sejak tahun 1986.
Sukarnya pemanasan ketel air pada lokomotif uap ini yang membuat lokomotif uap di masa lampau digunakan 24 jam. ”Kalaupun tidak dipakai untuk menarik kereta, harus ada petugas yang menunggui lokomotif agar ketel uap tetap panas,” papar Bukhari.
Kini, Bukhari memimpin dua pekerja saja yang memiliki kemampuan menangani Mak Itam. Dengan keterbatasan personel, mereka tidak mungkin menjaga tungku api mengebul sepanjang hari. Selain itu, dibutuhkan sekitar 1 ton batubara untuk sekali perjalanan singkat Mak Itam.
Masinis langka
Setelah era lokomotif uap surut, tidak banyak lagi masinis yang masih mewarisi kemampuan mengoperasikan lokomotif uap. Selain karena menuntut kerja berat, pengoperasian lokomotif uap memiliki risiko tinggi.
Kemampuan Bukhari mengoperasikan dan merawat lokomotif uap didasarkan pada pengamatan dan ketekunannya. Apalagi, dia baru bergabung dengan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) di Solok pada tahun 1983, setelah semua lokomotif uap ditarik dari Sumatera Barat.
”Waktu awal Mak Itam mau didatangkan lagi ke Sawahlunto, saya ditawari untuk menjalankannya karena tidak ada orang lain yang mau. Saya terima tawaran itu meskipun saya tidak tahu cara mengoperasikan lokomotif ini. Saya amati saja cara mengoperasikan lokomotif uap ini dari kawan di Ambarawa,” kata Bukhari.
Setelah mengetahui celah-celah untuk menjalankan kereta uap, Bukhari pun memberanikan diri untuk menjalankan kereta ini.